Aisyah, S.E (Aktivis Dakwah)
“Kalau tidak kerja ki’, tidak keren ki’, apalagi kalau sudah sekolah tinggi-tinggi.”
Ungkapan seperti ini sering kita dengar di masyarakat.
Tekanan sosial membuat banyak orang rela bertahan di pekerjaan dengan gaji kecil, bahkan tanpa gaji sekalipun, karena omongan tetangga lebih menakutkan daripada kenyataan pahit yang dialami.
Fenomena terbaru yang cukup mengejutkan datang dari Tiongkok. Seorang pria bahkan membayar untuk “pura-pura kerja” demi terlihat sibuk. Berdasarkan laporan CNBC (17/8/2025), sebuah perusahaan di Dongguan menyediakan kantor tiruan bagi orang-orang yang ingin terlihat bekerja. Salah satunya, Shui Zhou, pemuda 30 tahun yang bisnisnya gagal, rela membayar 30 yuan (sekitar Rp68.000) per hari hanya agar tidak dicap pengangguran.
Ironis, di tengah biaya hidup yang semakin tinggi, orang bukan lagi berjuang agar bisa digaji cukup, tapi sampai rela membayar agar terlihat bekerja.
Krisis Lapangan Kerja
Masalah ini bukan hanya terjadi di Tiongkok. Data World Bank mencatat tingkat pengangguran pemuda usia 15–24 tahun di Tiongkok terus meningkat sejak 2018 dan mencapai 15,23% pada 2024.
Di Indonesia, kondisi tak kalah memprihatinkan. Data BPS Februari 2025 menunjukkan angka pengangguran terbuka sebesar 4,76% atau 7,28 juta orang. Angka ini menunjukkan bahwa jutaan orang bukan tidak mau bekerja, tapi memang sulit mendapatkan pekerjaan. Faktanya, banyak perusahaan justru melakukan PHK massal, sementara daya beli masyarakat semakin rendah.
Studi Celios (2024) juga mengungkap bahwa kekayaan gabungan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 50 juta masyarakat. Jelas terlihat ketimpangan semakin dalam: yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Kapitalisme: Akar Masalah
Jika masalah ini terus berulang dari tahun ke tahun tanpa solusi nyata, maka jelas ada yang keliru dalam sistem yang kita pakai. Inilah wajah asli kapitalisme: sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat kebanyakan semakin tercekik.
Kapitalisme menempatkan asas manfaat dan untung-rugi sebagai tolok ukur. Setiap orang berlomba mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli halal-haram, baik-buruk, atau dampak sosialnya.
Job fair dibuka di berbagai daerah, namun pada saat yang sama PHK massal juga terjadi. Masyarakat didorong membuka usaha, tetapi daya beli rendah. Pengangguran pun terus bertambah, sementara negara hanya menjadikannya sebagai masalah tahunan tanpa solusi tuntas.
Islam Sebagai Solusi
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menghadirkan aturan yang bersumber dari Allah, bersifat mengikat, dan diterapkan negara untuk mengurus rakyatnya. Setidaknya ada tiga solusi Islam dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan:
1. Negara sebagai raa’in (pengurus rakyat).
Islam mendorong laki-laki bekerja sebagai kewajiban nafkah. Negara wajib menyediakan lapangan kerja yang layak. Bahkan, tanah yang ditelantarkan 3 tahun akan diambil alih negara dan diberikan kepada orang yang mau mengelolanya.
2. Pengelolaan kepemilikan umum.
Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud).
Artinya, sumber daya alam dan aset publik wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, misalnya penyediaan pendidikan murah bahkan gratis, yang tidak hanya melatih keahlian duniawi, tetapi juga membentuk ketakwaan individu.
3. Distribusi kekayaan yang adil.
Dalam Islam, harta tidak boleh berputar hanya di kalangan orang kaya. Mekanisme zakat, infak, sedekah, dan wakaf menjadi instrumen nyata untuk mendistribusikan kekayaan kepada fakir miskin dan golongan yang berhak.
Tiga solusi Islam tadi bukan sekadar teori, tapi sudah terbukti dalam sejarah peradaban Islam. Selama berabad-abad, sistem Islam mampu menjaga kesejahteraan rakyat, menyediakan lapangan kerja, dan mendistribusikan kekayaan secara adil.
Inilah bedanya dengan kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang. Islam menjadikan negara sebagai pengurus rakyat, bukan penjaga kepentingan pemilik modal. Seorang pemimpin sadar betul bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Karena itu, solusi untuk masalah pengangguran dan kemiskinan tidak akan pernah lahir dari tambal sulam kapitalisme. Solusi sejati hanya ada pada penerapan syariat Islam secara menyeluruh—bukan hanya pada ibadah ritual, tapi juga dalam mengatur urusan ekonomi, politik, dan kehidupan sosial.
Islam adalah sistem hidup yang sempurna, yang diturunkan Allah untuk manusia. Dan hanya dengan kembali kepada Islam, generasi muda akan terbebas dari jeratan pengangguran, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Wallahu a’lam bisshawab.