Fatherless; Luka Generasi Ketika Ayah Tak Lagi Hadir


author photo

25 Okt 2025 - 19.03 WIB




Oleh: Sarah Ainun

Fenomena “fatherless” atau ketiadaan peran ayah kini menjadi salah satu luka sosial paling serius di tengah masyarakat modern. Jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa figur ayah — bukan karena mereka yatim, tetapi karena sang ayah “hidup namun tak hadir.” 

Ia mungkin ada secara fisik, namun jiwanya absen dari kehidupan anak-anaknya. Ia pulang dengan tubuh lelah, pikiran kosong, dan waktu yang tersisa hanya untuk beristirahat, bukan mendengarkan cerita atau memberi nasihat.

Kondisi ini bukan sekadar cerita individu, melainkan potret sosial yang meluas. Data Dataloka.id (2024) mencatat, ada sekitar 15,9 juta anak di Indonesia yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, atau setara dengan 20,1 persen dari total anak di bawah usia 18 tahun—angka yang didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Antara News (2024) melaporkan hal senada: sekitar 20,9 persen anak Indonesia tidak memiliki figur ayah yang aktif dalam kehidupan mereka. Bahkan, sejumlah literatur lokal menyebut Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam hal tingginya angka fatherless (Kompas.id, 2022), meski data global yang terstandarisasi masih terbatas.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa istilah fatherless generation bukan sekadar jargon media, melainkan realitas sosial yang dialami banyak anak: tumbuh tanpa bimbingan, tanpa pelukan, tanpa sosok pelindung. Sebuah generasi yang kehilangan figur ayah, kehilangan arah.

Namun, di balik fenomena ini, ada pertanyaan besar yang perlu kita renungkan bersama: mengapa peran ayah kian menghilang di tengah keluarga modern? Apakah ini sekadar persoalan kesibukan pribadi, atau ada sistem kehidupan yang menciptakan keadaan semacam ini?

Bukan Sekadar Fenomena, Tapi Buah dari Sistem Kapitalistik-Sekuler

Banyak yang menganggap “fatherless” sebagai persoalan psikologis atau kegagalan keluarga. Padahal, fenomena ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem kehidupan yang salah arah — sistem kapitalistik-sekuler yang menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan, dan menyingkirkan peran spiritual serta nilai-nilai keluarga dari ruang publik.

Sistem kapitalisme menuntut manusia untuk bekerja tanpa henti, seolah nilai seseorang ditentukan dari seberapa besar penghasilannya. Laki-laki didorong untuk terus berkompetisi, meniti karier, mengejar target, dan membangun “kehidupan mapan”. Di balik layar kesibukan dan ambisi karier, sistem hidup yang kita anut diam-diam mencuri waktu keluarga.

Akibatnya, banyak ayah yang kelelahan menjadi “mesin ekonomi” tanpa sempat menjadi “pendidik keluarga”. Ia menanggung beban berat untuk mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi, di tengah harga pokok dan biaya pendidikan yang kian mencekik. Dalam sistem ekonomi seperti ini, waktu untuk mendidik anak menjadi kemewahan yang sulit dimiliki.

Kapitalisme juga menciptakan ilusi kesuksesan: bahwa pria yang ideal adalah yang sibuk, berpenghasilan tinggi, dan punya jabatan. Sementara urusan membimbing dan mengasuh anak dianggap tanggung jawab ibu semata. 

Pola pikir ini lahir dari sekularisme, yang memisahkan kehidupan keluarga dari nilai-nilai agama dan menempatkan nafkah hanya pada dimensi materi. Padahal, peran ayah sejati jauh melampaui itu — ia adalah qawwam, pelindung, pemimpin dan pembimbing moral dalam keluarga.

Generasi Fatherless: Luka Psikologis dan Sosial yang Nyata

Sejumlah penelitian dalam bidang psikologi perkembangan menunjukkan, peran ayah bukan sekadar pelengkap dalam keluarga, tetapi fondasi penting bagi tumbuh kembang anak. Kehadiran sosok ayah terbukti memainkan peran krusial dalam membentuk kestabilan emosi, kemampuan bersosialisasi, hingga capaian akademik. 

Sebaliknya, anak yang tumbuh tanpa figur ayah kerap menghadapi tingkat stres lebih tinggi, rentan terjerumus dalam perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja, perilaku seksual beeresiko, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, dan kesulitan menumbuhkan rasa percaya diri serta membangun identitas diri yang kokoh.

Anak laki-laki kehilangan teladan kepemimpinan, anak perempuan kehilangan rasa aman dan perlindungan. Mereka tumbuh tanpa contoh bagaimana seharusnya seorang pria memimpin, menuntun, mencintai, dan bertanggung jawab. Akibatnya, banyak generasi muda yang rapuh secara mental, mudah frustrasi, atau bahkan mencari figur pengganti di dunia maya yang semu.

Tak sedikit pula yang terjerumus pada gaya hidup bebas, karena kehilangan kontrol dan arahan moral dari sosok ayah. Fenomena broken home, pergaulan bebas, hingga meningkatnya angka kekerasan remaja, semuanya punya akar yang sama: keluarga kehilangan figur kepemimpinan sejati.

Yang lebih menyedihkan, di tengah semua itu, masyarakat justru menormalisasi keadaan ini. Kita terbiasa melihat ayah yang jarang di rumah, menganggapnya wajar demi “cari nafkah.” Kita lupa bahwa kehadiran ayah bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan perut, tetapi kebutuhan jiwa.

Hilangnya Fungsi Qawwam: Ketika Ayah Tak Lagi Jadi Pemimpin

Dalam pandangan Islam, ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah qawwam, pemimpin, penuntun dan penjaga keluarga. Sebagaimana firman Allah Swt.:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” (QS. An-Nisa: 34).

Ayah adalah tiang keluarga yang menegakkan keadilan, memberi rasa aman, dan menjadi teladan moral. Namun fungsi qawwam ini perlahan terkikis dalam sistem kapitalistik yang menempatkan laki-laki hanya sebagai alat produksi. Ia kehilangan makna kepemimpinan, karena seluruh energinya dihabiskan untuk bertahan hidup.

Ironisnya, banyak ayah yang merasa telah menjalankan kewajiban hanya dengan memberi uang, tanpa merasa perlu hadir dalam kehidupan anak. Padahal, anak tidak butuh kemewahan sebesar waktu. Seorang ayah yang hadir lima belas menit dengan cinta dan bimbingan lebih bermakna daripada ayah yang bekerja 15 jam tanpa pernah menatap mata anaknya.

Ketika qawwam hilang, keluarga kehilangan kompas. Ibu kelelahan menjadi satu-satunya pendidik, anak kehilangan arah, dan rumah kehilangan ruh kepemimpinan. Inilah krisis paling berbahaya dalam masyarakat modern — krisis peran ayah sebagai penjaga moral dan spiritual keluarga.

Islam Menawarkan Konstruksi Sosial yang Menyelamatkan

Islam bukan hanya memberi nasihat moral, tetapi juga menawarkan sistem hidup yang menata peran ayah, ibu, dan negara dalam bingkai yang harmonis.

Pertama, Islam menempatkan ayah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dan nafkah keluarga. Ia tidak hanya wajib memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga memimpin dengan hikmah. Kisah Lukman dalam Al-Qur’an menjadi teladan tentang bagaimana seorang ayah menanamkan tauhid, akhlak, dan kebijaksanaan kepada anak-anaknya.

“Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.” (QS. Lukman: 13).

Peran ayah bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi menumbuhkan kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral. Sementara ibu dalam Islam memiliki peran yang mulia sebagai pengasuh, pendidik, dan pengatur rumah tangga. Keduanya berjalan beriringan, saling melengkapi dalam membentuk generasi beriman dan berkepribadian kuat.

Kedua, negara dalam sistem Islam juga punya tanggung jawab besar. Negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat dengan kebijakan ekonomi yang adil.

Islam memerintahkan negara untuk membuka lapangan kerja, menetapkan upah yang layak, dan menyediakan kebutuhan dasar rakyat — sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Dengan jaminan itu, seorang ayah tidak harus bekerja lembur hingga larut malam demi bertahan hidup. Ia bisa menjalankan perannya sebagai qawwam dengan utuh: memberi nafkah, mendidik, dan melindungi keluarganya tanpa tekanan ekonomi yang melumpuhkan.

Ketiga, Islam memiliki sistem perwalian (wilayah) yang menjamin setiap anak tetap memiliki figur ayah. Jika seorang anak kehilangan ayah biologis, maka ada wali yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan perlindungan. Ini memastikan tidak ada anak yang tumbuh tanpa figur laki-laki yang membimbingnya.

Semua ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memperbaiki individu, tetapi juga membangun struktur sosial yang menjaga peran keluarga.

Kapitalisme vs Islam: Dua Pandangan Dunia yang Berbeda

Kapitalisme menilai keberhasilan keluarga dari kemampuan ekonomi. Islam menilai keberhasilan keluarga dari ketakwaan dan keutuhan peran. Dalam kapitalisme, anak adalah “tanggung jawab pribadi”. Dalam Islam, anak adalah amanah umat.

Kapitalisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga ayah kehilangan arah moral dan ibu kehilangan dukungan sosial. Islam justru mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan dalam satu sistem nilai. 

Dalam kapitalisme, waktu adalah uang. Dalam Islam, waktu adalah amanah. Dalam kapitalisme, peran ayah dipaksa tunduk pada pasar kerja. Dalam Islam, pasar kerja tunduk pada syariat yang menempatkan manusia di atas keuntungan.

Perbedaan pandangan dunia inilah yang menentukan arah peradaban. Maka, selama masyarakat masih hidup dalam sistem kapitalistik-sekuler, fenomena fatherless tidak akan pernah hilang. Ia akan terus muncul dalam wajah-wajah anak yang kehilangan cinta, dan dalam keluarga yang kehilangan arah.

Kembalilah pada Sistem Hidup yang Fitrah

Fenomena fatherless bukan sekadar krisis ayah, tapi krisis sistem. Ia adalah tanda bahwa manusia telah menjauh dari fitrahnya — menjadi hamba uang, bukan hamba Tuhan.

Solusinya bukan sekadar mengajak para ayah untuk lebih banyak di rumah, tapi mengubah sistem yang membuat mereka tak punya waktu untuk rumah. Bukan sekadar pelatihan parenting, tapi pembebasan keluarga dari belenggu ekonomi kapitalistik yang menindas.

Islam menawarkan jalan kembali — sistem yang menempatkan ayah dan ibu dalam peran mulia, dan negara sebagai penopang keluarga. Dalam sistem ini, ayah tidak hanya hadir di rumah, tapi juga hadir dalam hati anak-anaknya.

Karena sejatinya, peradaban besar dibangun bukan dari gedung tinggi atau angka ekonomi, melainkan dari keluarga yang utuh, dengan ayah yang memimpin dan ibu yang memelihara dalam ridha Allah.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT