Oleh : Suryani Rahmah, A.Md Far (Pemerhati Masyarakat)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program makan siang gratis Indonesia yang ditetapkan sebagai salah satu program prioritas nasional 2025-2029 di bawah pemerintahan saat ini. Program ini mulai berjalan secara bertahap sejak 6 Januari 2025 dengan alokasi anggaran sebesar Rp171 triliun.
Sejak Maret 2025, program MBG telah berjalan di 38 provinsi, menjangkau 2 juta penerima manfaat melalui 722 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Pemerintah menargetkan agar 32.000 SPPG dapat beroperasi hingga akhir 2025.
Berdasarkan data dari Badan Gizi Nasional (BGN), pada 2025, sebanyak 30.000 SPPG diperlukan untuk menjangkau 82,9 juta penerima manfaat MBG secara merata. Dari jumlah tersebut, 1.542 SPPG akan didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara 28.458 lainnya akan dibangun melalui skema kemitraan.
Tujuan utama program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui intervensi gizi yang menyeluruh dan berkelanjutan. Hal itu diimplementasikan dengan meningkatkan status gizi masyarakat, terutama anak-anak dan kelompok rentan, demi menciptakan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif menuju visi Indonesia Emas 2045.
Meski dirancang dengan klaim untuk meningkatkan gizi masyarakat, penerapan MBG menuai banyak kritik dan krisis kepercayaan, terutama karena menyebabkan keracunan massal. Selain itu program ini dinilai instan dan tanpa perhitungan matang khususnya penganggaran. Di tengah efisiensi anggaran nasional mampukah program ini menjadi wasilah menuju visi Indonesia Emas 2025 yang bisa membebaskan generasi dari ancaman stunting?
*Program MBG dari Bisnis hingga Nyawa Kritis*
Sejak Januari-September 2025 lebih dari 5.000 kasus keracunan MBG di sekolah terjadi di seluruh Indonesia. Dengan kasus serentak terbanyak terjadi pada 1.333 pelajar di Bandung Barat. Keracunan MBG juga terjadi pada 40 siswa di Sukoharjo Jawa Tengah. Bahkan di Cianjur Jawa Barat, kasus keracunan MBG menjadi kasus kejadian luar biasa (KLB) setelah tercatat 117 warga mengalami keracunan termasuk di dalamnya 79 siswa. Kasus keracunan MBG juga terjadi pada 186 siswa di Kupang Nusa Tenggara Timur.
Di Kalimantan Timur (Kaltim), sejumlah orang tua siswa di Balikpapan mengancam akan melakukan demo besar-besaran, terkait dengan maraknya kasus keracunan diduga akibat MBG. Di Samarinda terkait MBG juga pun menjadi sorotan setelah beredar informasi adanya dugaan makanan tak layak konsumsi. Sejumlah siswa SMA Negeri 13 Samarinda mengeluhkan jatah makan siang yang diduga sudah basi dan berbau tak sedap.
Banyaknya kekisruhan yang terjadi dalam penyelenggaraan MBG sejatinya menunjukkan bahwa problemnya bukan sekadar kesalahan teknis. Apabila ditelisik, industrialisasi, yakni kepentingan ekonomi dan bisnis korporasi yang dijadikan jiwa MBG, menjadi faktor pemicu pertama dan utama berbagai persoalan MBG, termasuk keracunan makanan. Tentu saja, ini karena industrialisasi adalah spirit sistem pangan dan gizi kapitalisme yang berlangsung di atas lanskap peradaban sekularisme dan dalam bingkai sistem ekonomi kapitalisme serta sistem politik demokrasi, yang mana nilai materi adalah satu-satunya nilai yang diakui.
Keberadaan spirit industrialisasi pangan dan gizi ini dipertegas oleh penilaian keberhasilan MBG dengan timbangan ekonomi pada saat terus berjatuhannya korban keracunan. Misalnya, membuka lapangan kerja, menyerap produksi pangan lokal, dan sebagainya. Keberadaan BGN sebagai vendor korporasi, mempertegas hal itu, di samping jaminan asuransi sebagai solusi.
Ini artinya peran negara dari sisi kontrol, pengawasan, dan penjamin gizi rakyat patut dipertanyakan. Sedangkan tiga tugas penting tersebut adalah wewenang dan kewajiban negara, lalu mengapa pemerintah malah membuka peluang pihak ketiga dalam menjalankan program ini.
Patut diduga ada bisnis gurih di balik program MBG, terutama kalangan pengusaha, baik dalam maupun luar negeri. Cina berinvestasi senilai US$10,07 M (Rp157 triliun) dan bantuan dana untuk program MBG. Diinisiasi Kadin, sekitar 20 perusahaan dari dua negara terlibat kerja sama di bidang manufaktur, kesehatan, hilirisasi, ketahanan pangan, dan keuangan.
Menteri BUMN pun menunjuk delapan perusahaan BUMN untuk berkolaborasi menyukseskan program MBG. Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengungkapkan 211 perusahaan berkomitmen untuk mengimpor sapi perah dan sapi pedaging untuk mendukung program MBG.
Tidak ketinggalan vendor-vendor katering turut berebut proyek basah. Kadin Indonesia membentuk Kantor Satgas MBG Gotong Royong.
Pada akhirnya, korporasi yang berorientasi bisnis mencengkeram dari hulu hingga hilir sistem pangan dan gizi.
Di saat yang sama, Presiden menyebut bahwa program MBG adalah investasi terbaik sebuah bangsa karena telah berhasil meningkatkan angka kehadiran siswa di sekolah serta prestasi belajar mereka. Juga diklaim menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru di sektor dapur umum dan melibatkan sekitar sejuta petani, nelayan, peternak, serta pelaku UMKM.
Nyatanya, fakta riil di lapangan tidak seindah apa yang tertulis di atas kertas laporan. Besarnya dana rakyat yang digelontorkan juga tidak sebanding dengan manfaat riil yang dihasilkan. Malah membuka celah bagi berbagai modus korupsi, manipulasi, dan terjadinya konflik kepentingan, bahkan mengancam kesehatan.
*Paradigma Riayah dalam Kepemimpinan Islam*
Kepemimpinan dalam sistem Khilafah berbeda jauh dengan kepemimpinan dalam sistem sekarang. Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitabnya berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2, dengan gamblang menjelaskan bahwa syariat Islam telah menetapkan fungsi kepemimpinan sebagai pengurus alias pelayan (raain) sekaligus pelindung umat (junnah).
Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan Khalifah tidak akan keluar dari koridor syariat dan karenanya mampu melahirkan kehidupan sejahtera, adil, dan penuh berkah. Dalam praktiknya, syariat Islam memiliki tata aturan yang komprehensif dalam mewujudkan hal tersebut. Mulai dari sistem politik pemerintahan yang menjaga seluruh hukum-hukum Allah, sistem ekonomi dan keuangan yang menyejahterakan, sistem pergaulan yang menjaga harkat dan martabat umat, sistem pendidikan yang melahirkan generasi saleh dan unggul, serta sistem sanksi yang mencegah kerusakan dan kezaliman di tengah umat, dll.
Adapun mekanisme praktis untuk menjamin kesejahteraan rakyat tersebut dikombinasikan antara pendekatan individual dan komunal. Islam mewajibkan para ayah dan wali bekerja mencari nafkah. Peran negara adalah menciptakan kondisi yang kondusif, termasuk membuka berbagai lapangan kerja seluas-luasnya otomatis akan sejalan dengan penerapan sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor ekonomi riil dan mengatur soal konsep kepemilikan. Adapun mereka yang lemah, akan ditopang oleh masyarakat yang kental dengan spirit sosial dan amar makruf nahi mungkar. Juga ditopang oleh negara yang siap merangkul dan mengangkat mereka dari penderitaan.
Dalam Islam, sumber-sumber kekayaan alam ditetapkan sebagai milik umat. Negara berkewajiban mengelolanya demi sebesar-besar kepentingan rakyat melalui mekanisme baitulmal yang dikenal kuat dan memiliki sumber-sumber pemasukan yang banyak dan berkelanjutan. Di luar hasil pengelolaan SDA, pos pemasukan negara jumlahnya sangat banyak. Misalnya, ada pos anfal, fai, ganimah, kharaj, khumus, jizyah, dll. Dari sini saja, bisa dibayangkan modal negara memakmurkan rakyat begitu melimpah ruah.
Wajar jika kehidupan masyarakat dalam naungan Khilafah begitu ideal dan mengagumkan. Bahkan, kehebatannya menjadi bahan pembicaraan dan role model bagi bangsa-bangsa yang lain sepanjang masa. Sungguh, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan benar-benar nyata dalam sistem kepemimpinan Islam.
Hal ini sesuai janji Allah ﷻ dalam QS Al-A’raf ayat 96 bagi mereka yang beriman:
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.”
Wallahu a’lam Bi Showab