Aceh sedang berdiri di persimpangan sejarahnya sendiri. Di tengah menurunnya alokasi dana pusat dan meningkatnya tekanan fiskal, publik mulai mempertanyakan arah dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah. Setiap tahun triliunan rupiah digelontorkan ke Aceh, namun kenyataan di lapangan tak banyak berubah. Pertumbuhan ekonomi stagnan, kemiskinan tak kunjung menurun, dan birokrasi justru semakin gemuk. Pertanyaan paling mendasar pun muncul: ke mana sebenarnya uang rakyat itu mengalir?
Pernyataan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bapak Purbaya, yang menegaskan bahwa daerah harus segera berbenah diri dari kebocoran anggaran, bukanlah pernyataan yang perlu disikapi defensif. Itu adalah peringatan moral dan administratif bagi setiap pemerintah daerah agar menata ulang sistem keuangannya secara jujur dan transparan. Dan Aceh, sebagai daerah dengan status keistimewaan dan kekhususan, seharusnya menjadi contoh — bukan pengecualian.
Terlebih lagi, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), secara terbuka menyatakan bahwa anggaran Aceh tahun ini terpangkas hingga 25% dari total alokasi sebelumnya. Bagi sebagian pihak, pemangkasan ini mungkin terasa berat. Namun bagi saya, ini momentum yang tepat untuk refleksi dan pembenahan. Selama dua dekade terakhir, kita terlalu lama bergantung pada kemurahan pusat tanpa pernah menata ulang sistem internal kita sendiri. Kini, saat aliran dana mulai menyempit, justru kesempatan emas muncul: menata ulang arah pembangunan dan menyingkirkan beban struktural yang tidak produktif.
Salah satu langkah penting yang patut dilakukan adalah rasionalisasi kelembagaan daerah. Realitasnya, terlalu banyak badan dan lembaga di Aceh yang beroperasi dengan anggaran besar, tetapi hasil kerjanya tidak sebanding. Beberapa di antaranya tumpang tindih fungsi dan terjebak dalam rutinitas seremonial tanpa inovasi. Dalam konteks ini, sudah saatnya dilakukan pelemburan (merger) kelembagaan, misalnya dengan menyatukan Badan Dayah, Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan Baitul Mal Aceh ke dalam satu Biro Keistimewaan dan Sosial Syariah di bawah koordinasi langsung Gubernur.
Peleburan ini bukanlah bentuk penghapusan nilai-nilai keistimewaan Aceh, tetapi upaya penataan kembali agar fungsi keistimewaan menjadi lebih efisien, terukur, dan berdampak langsung bagi rakyat. Keistimewaan bukan tentang banyaknya lembaga, melainkan tentang kemampuan menegakkan nilai-nilai Islam, adat, dan moral publik dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Apa gunanya memiliki banyak badan bila sekadar menjadi “penyerap anggaran tanpa arah”?
Aceh membutuhkan keberanian politik untuk memangkas apa yang tidak perlu, dan memperkuat yang benar-benar dibutuhkan. Reformasi kelembagaan adalah langkah awal untuk menghentikan kebocoran anggaran yang selama ini menjadi penyakit menahun. Penghematan bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga soal etika pengelolaan kekuasaan — bahwa setiap rupiah yang keluar harus membawa manfaat bagi rakyat, bukan bagi struktur birokrasi itu sendiri.
Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan “keistimewaan” untuk mempertahankan ketidakefisienan. Sebab, keistimewaan yang tidak dikelola dengan cerdas hanya akan menjadi beban sejarah. Aceh memerlukan kepemimpinan yang berani, bukan sekadar pandai menyampaikan pidato seremonial.
Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Keadilan yang paling utama adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Dan mungkin inilah waktunya Aceh menempatkan ulang dirinya — dengan jujur, berani, dan bertanggung jawab. Karena pembenahan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak agar Aceh tidak terus terperangkap dalam lingkaran alasan dan pemborosan.