Al-Aqsa di Ambang Runtuh: Terowongan, Politik, dan Tanggung Jawab Dunia


author photo

4 Nov 2025 - 10.14 WIB



Oleh: Sarah Ainun

Di jantung Kota Tua bumi Syam, Masjid Al-Aqsa—kiblat pertama umat Islam dan situs suci ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi—menghadapi ancaman nyata dari penggalian terowongan yang dilakukan secara sistematis di bawah kompleksnya.

Isu ini bukan kabar baru, namun setiap laporan terbaru menegaskan satu hal: fondasi Al-Aqsa kian rapuh. Menurut berbagai laporan, penggalian di sekitar kawasan itu telah dilakukan sejak pendudukan Israel atas wilayah Palestina yang saat ini disebut sebagai Yerusalem Timur pada tahun 1967. 

Kini, lebih dari seratus penggalian telah ditemukan, sebagian besar terkoneksi di bawah area Masjid Al-Aqsa dan kompleks Haram al-Sharif. Beberapa di antaranya bahkan sudah menembus lapisan tanah di bawah dinding masjid.

Sebagaimana laporan lokal dari Jerusalem Governorate (Oktober 2025) yang berjudul “warning against the continued Israeli excavation works … under Al-Aqsa Mosque …” Melaporkan terowongan-terowongan itu bukan sekadar lubang arkeologi. Banyak di antaranya menghubungkan area yang disebut “City of David” dengan lorong-lorong bawah tanah yang dulunya merupakan jalur air bersejarah. 

Lorong itu kini dikeringkan, dimodifikasi, dan dijadikan museum serta sinagoge bawah tanah—menyulap situs yang dulunya netral menjadi ruang yang sarat klaim politik dan simbol keagamaan.

Terowongan Politik di Bawah Masjid Suci

Israel menyebut proyek itu sebagai “penggalian arkeologis”, tetapi banyak pengamat internasional menilai, kegiatan tersebut tidak murni bersifat ilmiah. Di balik dalih pelestarian sejarah, ada agenda politik yang jauh lebih dalam.

Penggalian masif di bawah kawasan suci Islam menimbulkan risiko teknis serius terhadap struktur bangunan yang berdiri di atasnya. Setiap guncangan kecil, setiap retakan baru, bisa mempercepat keruntuhan sebagian fondasi. 

Laporan Al-Arabiya (Oktober 2025) yang berjudul “Israeli excavations around Al-Aqsa threaten partial mosque collapse” Laporan mutakhir yang memperingatkan potensi runtuhnya sebagian Masjid Al-Aqsa akibat penggalian di sekitarnya.

Tak sulit menebak ke mana arah proyek ini. Kawasan bawah tanah itu diubah menjadi jalur wisata sejarah Yahudi, sementara narasi arkeologinya secara perlahan menghapus jejak panjang peradaban Islam di bumi Syam (Palestina). 

Jika suatu hari retakan yang kini tampak di dinding dan halaman Masjid Al-Aqsa benar-benar menyebabkan bangunan itu runtuh, dunia mungkin akan disuguhi dalih “bencana alam” atau “kecelakaan teknis,” Padahal, di balik itu, proses penggalian dan penghancuran terus berjalan—terencana, sistematis, dan nyaris tanpa jeda.

Sejarah telah mengajarkan bahwa pendudukan fisik kerap disertai dengan pendudukan narasi. Ketika wilayah tidak bisa dihapus dari peta, maka sejarahnya yang dihapus dari ingatan. Dan di Masjid Al-Aqsa, alat penghapusnya bukan pena, melainkan sekop dan bor bawah tanah.

Masjid Al-Aqsa: Simbol Iman, Warisan Umat Manusia

Masjid Al-Aqsha bukan sekadar bangunan batu dan kubah perak. Ia adalah simbol iman, penghubung spiritual antara langit dan bumi. Dalam banyak hadits, Rasulullah saw. menegaskan keutamaannya: 

Masjid yang dahulu menjadi kiblat pertama kaum Muslimin dan saksi peristiwa agung Isra’ Mi’raj ini adalah tempat para nabi berkumpul dan salat bersama Rasul terakhir—simbol kesinambungan risalah langit. Karena itulah, Masjid Al-Aqsa bukan sekadar situs sejarah, melainkan bagian dari akidah yang wajib dijaga dan dibela oleh setiap umat Islam di seluruh dunia.

Upaya perusakan atau manipulasi terhadap Masjid Al-Aqsa bukan sekadar pelanggaran terhadap umat Islam, melainkan serangan terhadap makna spiritual dan peradaban itu sendiri. Setiap batu di kompleks suci itu bukan hanya menyimpan jejak sejarah Islam, tetapi juga kisah panjang kemanusiaan yang pernah bersujud kepada Tuhan yang satu.

Karena itu, keruntuhan satu batu di Al-Aqsa bukan hanya mengguncang akidah umat Islam, tetapi juga meretakkan fondasi moral dunia yang mengaku menjunjung keadilan dan warisan budaya. 

Dunia boleh diam, tetapi diam di hadapan kehancuran Al-Aqsa sama saja dengan menandatangani kehancuran nurani, warisan sejarah dan amanah yang harus dijaga bersama.

Menyusuri Jejak Kejahatan Warisan

Penggalian bawah tanah di Yerusalem Timur telah lama dikecam UNESCO dan berbagai badan arkeologi independen. Selain melanggar hukum internasional—karena dilakukan di wilayah yang berstatus occupied territory—penggalian itu juga merusak situs arkeologi multi-era yang seharusnya dilindungi.

Sayangnya, suara protes itu kerap tenggelam dalam kebisuan politik internasional. Banyak negara besar memilih diam karena pertimbangan diplomatik, sementara media global menyorot isu ini secara sporadis. 

Dunia tampak lebih cepat bereaksi terhadap keruntuhan candi kuno di tempat lain ketimbang terhadap ancaman nyata yang mengintai masjid suci di Palestina.

Padahal, tanda-tanda kerusakan sudah tampak jelas: dinding retak, lantai masjid bergelombang, dan laporan warga tentang getaran-getaran halus di bawah tanah setiap kali aktivitas penggalian dilakukan. Jika hal ini terus dibiarkan, kehancuran bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan waktu.

Antara Klaim Arkeologi dan Agenda Dominasi

Israel kerap menggunakan narasi “arkeologi” untuk melegitimasi penguasaan ruang di Masjid Al Aqsa. Namun, banyak ahli arkeologi internasional justru menilai pendekatan ini selektif dan ideologis. 

Temuan-temuan yang mendukung narasi sejarah Yahudi diekspos, sementara artefak yang menunjukkan kesinambungan era Bizantium, Islam, atau Ottoman diabaikan.

Dengan kata lain, penggalian di bawah Al-Aqsa bukan sekadar soal ilmu pengetahuan, tetapi juga proyek ideologis yang menata ulang narasi sejarah sesuai kepentingan politik modern. Dalam perspektif ini, setiap terowongan baru bukan hanya menembus tanah, tapi juga menembus integritas sejarah.

Kegagalan Dunia dan Kebisuan Politik

Masjid Al-Aqsa kini berdiri di tepi jurang fisik dan moral. Dunia melihatnya, namun memilih diam. Lembaga-lembaga internasional memang telah mengeluarkan resolusi—UNESCO, PBB, hingga OIC—tetapi semua berhenti di atas kertas.

Kebisuan global ini seolah menjadi lampu hijau bagi praktik penjajahan dan pendudukan yang terus meluas. Seolah-olah hukum internasional berlaku selektif, tergantung siapa pelakunya dan siapa korbannya. 

Seruan Syekh Ikrima Sabri, Imam Besar Masjid Al-Aqsha, kembali mengingatkan dunia akan kenyataan itu. Ia menegaskan bahwa Masjid Al-Aqsha sepenuhnya milik umat Islam dan memperingatkan bahwa kebisuan serta ketidakpedulian dunia Arab dan Islam hanya akan berujung pada bencana bagi situs suci tersebut.

Padahal, ancaman terhadap Al-Aqsha bukan hanya persoalan teologis umat Islam, tapi juga ujian moral bagi komunitas dunia: apakah dunia masih punya keberanian membela keadilan ketika pelakunya adalah sekutu politik negara-negara besar?

Menolak Lupa, Menolak Diam

Di tengah dunia yang cepat melupakan, menjaga ingatan adalah bentuk perlawanan paling damai. Ketika penggalian terus menelan lapisan tanah di bawah Al-Aqsa, jangan biarkan ia juga menelan kesadaran kita. 

Setiap foto, setiap laporan, setiap tulisan yang kita sebarkan tentang kondisi Al-Aqsa adalah bagian dari perlawanan terhadap upaya penghapusan sejarah.

Dunia pernah bersatu melindungi candi Angkor Wat di Kamboja, reruntuhan Palmyra di Suriah, dan situs kuno Machu Picchu di Peru. Mengapa tidak bisa bersatu untuk menyelamatkan Al-Aqsa—yang nilainya jauh melampaui sekadar batu dan kubah?

Menjaga Al-Aqsha, Menjaga Akidah dan Peradaban Islam

Menjaga Al-Aqsha bukan sekadar membela sebidang tanah di Palestina, tetapi mempertahankan denyut nadi peradaban Islam dan kesucian akidah umat. Di sanalah para nabi bersujud bersama Rasul terakhir, menandai kesinambungan risalah tauhid dari Adam hingga Muhammad ﷺ. 

Setiap batu dan lorongnya adalah saksi sejarah bahwa Islam pernah memimpin dunia dengan cahaya ilmu, keadilan, dan kemanusiaan. Maka ketika Al-Aqsa diusik, sejatinya yang diguncang bukan hanya tembok masjid, melainkan fondasi spiritual yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia.

Sejarah mencatat, sejak Khalifah Umar bin Khattab menolak shalat di dalam Gereja Makam Kudus demi menjaga kehormatan tempat ibadah lain, hingga masa Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah yang terus merawat Al-Aqsa sebagai simbol kejayaan Islam.

Penjagaan terhadap situs ini selalu menjadi wujud nyata dari keimanan dan tanggung jawab peradaban. Khilafah Islam bukan hanya sistem politik, tetapi benteng akidah yang memastikan Al-Aqsha berdiri tegak di atas nilai tauhid.

Karena itu, mengembalikan sistem politik Islam yang berlandaskan akidah Islam menjadi satu-satunya jalan untuk menyatukan pemikiran, perasaan, dan suara seluruh umat Islam di dunia dalam menghentikan penghancuran Masjid Al-Aqsha serta genosida brutal terhadap umat Muslim di Palestina. 

Hanya dengan kekuatan yang berpijak pada wahyu, umat ini mampu menegakkan kembali kehormatan agama, penjagaan terhadap akidah umat dan melindungi tempat sucinya. Sebagaimana firman Allah Swt:

"Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir." (QS. Al-Baqarah: 191)

Kini, ketika Al-Aqsha terancam runtuh oleh penggalian terowongan dan pendudukan yang semakin brutal, pertanyaannya: di manakah suara umat yang pernah menaklukkan dunia dengan ilmu dan keadilan itu? 

Diam terhadap penghancuran Al-Aqsha berarti membiarkan retak peradaban sendiri. Sebab menjaga Al-Aqsha bukan tugas satu bangsa atau satu lembaga, melainkan kewajiban seluruh umat Islam—sebuah amanah sejarah dan akidah yang tak boleh dilupakan hingga akhir zaman.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT