Oleh Ferdina Kurniawati 
Aktivis Dakwah Muslimah 
Banyaknya Tambang Liar, Bukti Aktivitas tambang batubara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menjadi sorotan publik. 
Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah titik di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) hingga Samarinda diduga menjadi lokasi penambangan liar. 
Aksi 'main serobot' para oknum penambang liar ini bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan daerah karena menurunkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Kaltim.
Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, terang-terangan mengungkap kekhawatiran.
Menurutnya, potensi kerugian negara akibat tambang ilegal sangat fantastis karena uangnya tidak kembali ke daerah.
"Banyak pendapatan yang seharusnya secara legal itu dikembalikan lagi ke Kaltim lewat DBH (Dana Bagi Hasil), tapi itu hilang akibat tambang ilegal," ucap Salehuddin, Senin (13/10/2025).
Legislator asal Kukar ini lantas juga tak bisa menyembunyikan bahwa ia menerima laporan warga yang resah.
Menurutnya, lokasi tambang-tambang liar yang kembali muncul di publik sudah tak lagi tersembunyi jauh di pelosok.(Tribunkaltim.co)
Salah Tata Kelola
Tidak habis pikir, mengapa tambang ilegal terus bermunculan  bahkan hingga harus merusak lingkungan. Bukankah hal ini menjadi masalah yang harus dipertanyakan yang keuntungannya pun tidak masuk pada kas negara.
Pemerintah juga menutup mata saat tambang tambang ini kerap mangkir dari kewajibannya membayar pajak. Di Kabupaten Timika misalnya  tempat PT Freeport menambang, rakyatnya masih saja diliputi kemiskinan, padahal sebagian besar pegawainya adalah anak bangsa. Artinya, sebenarnya kita berkemampuan untuk mengelola tambang secara mandiri.
Lantas, mengapa pemerintah malah mengizinkan kekayaannya dirampok asing? Akar persoalannya tidak lain adalah karena kesalahan tata kelola kekayaan alam dan energi di negeri ini. Pemerintah malah mengambil sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi, lalu memaksakan penerapannya ke seluruh rakyat. Inilah pangkal penderitaan kesengsaraan rakyat yang kian hari kian perih.
Sistem Kapitalisme
Sistem ekonomi kapitalisme telah mendogma para pemimpin untuk membebaskan kepemilikan harta. Siapa pun bisa akhirnya bisa memiliki apa pun selama mampu membelinya. SDA yang sejatinya milik rakyat ujungnya boleh dikuasai oleh siapa saja yang mampu membelinya. Jadilah kekayaan alam negeri ini, mulai dari barang tambang, energi, hingga hutan, hampir seluruhnya dikuasai pemilik modal.
Jika sudah begitu, harta hanya berputar pada segelintir elite dan menumpuk pada kelompok kapitalis, mulai dari pemilik modal, pengusaha, hingga pejabat pemilik konsesi tambang, hutan, tanah, dan kekayaan lainnya. Sungguh malang nasib rakyat yang jumlahnya mayoritas, mereka harus berebut sisa-sisa keserakahan kelompok elite tersebut.
Selain itu, peran negara dalam sistem kapitalisme amatlah minim. Mereka menyebut bahwa ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar bebas, padahal sejatinya hal tersebut adalah bentuk pengabaian negara terhadap nasib rakyatnya. Subsidi BBM, listrik, dan air yang mengalir pada rakyat, dianggap beban APBN, sedangkan subsidi mobil listrik yang mengalirkan keuntungan pada perusahaan asing, malah disebut subsidi produktif.
Negara kapitalis juga menumpukan pembiayaan negara pada pajak. Rakyat miskin yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja masih susah, malah disuruh membayar pajak. Sebaliknya, perusahaan besar yang meraup keuntungan melimpah dari “merampok harta rakyat” malah mendapat amnesti alias pengampunan pajak.
Walhasil, pemasukan negara amat sangat minim sehingga butuh suntikan dari luar atau utang. Jebakan utang luar negeri inilah yang makin memiskinkan negara sebab bunga dan pokoknya yang selangit terus menggerogoti APBN. Defisit APBN menjadikan layanan publik kian diserahkan pada swasta sehingga tata kelola negara makin lemah. Inilah bentuk hegemoni asing terhadap bangsa.
Sistem Demokrasi
Mengapa pemerintah begitu mudah terjebak dalam skema penjajahan ini? Selain akibat sistem ekonomi kapitalisme, semua itu tidak bisa dilepaskan dari sistem politik demokrasi. Kontestasi yang melibatkan pengusaha, menjadikan mandat kekuasaan bukan dari rakyat, melainkan dari pengusaha. Wajar jika pada akhirnya kebijakan yang lahir penuh dengan kepentingan pemilik modal. Perpanjangan izin tambang pada menjadi bukti yang sulit dibantah.
Selain kebijakan yang pro pengusaha, sistem politik demokrasi pun hanya melahirkan penguasa yang korup. Mental mereka meraih jabatan hanyalah untuk materi. Alhasil, sudahlah kebijakan yang ditetapkan bukan untuk kemaslahatan rakyat, pada tataran implementasinya pun penuh dengan korupsi. 
Demokrasi pula yang memperkuat posisi oligarki. Trias politika yang membagi-bagi kekuasaan, nyatanya hanya teori yang jauh dari kenyataan. Lihatlah betapa majelis tertinggi (Mahkamah Konstitusi) bisa begitu tunduk pada kepentingan eksekutif dan legislatif. Meloloskan batas usia capres-cawapres, misalnya, menjadi bukti kesekian mandulnya pembagian kekuasaan ala trias politika.
Tata Kelola Tambang Islam
Sebagai sebuah ideologi, Islam telah memiliki tata kelola yang khas mengenai pengelolaan SDA. Dalam Islam, air, hutan, dan energi adalah milik umum. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis tersebut telah dengan tegas menyampaikan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Pengelolaannya pun tidak boleh diserahkan ke swasta, melainkan harus sepenuhnya dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan publik.
Terkait barang tambang, telah dijelaskan oleh HR Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Saat itu, Abyad meminta kepada Rasulullah saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul pun membolehkannya. Namun, tidak lama kemudian, beliau diingatkan oleh sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan (bagaikan) air mengalir (ma’u al-‘idda).” Berkata (perawi), “Kemudian beliau saw. menarik kembali tambang tersebut.”
Pengelolaan negara yang mandiri atas SDA setidaknya memberikan dua keuntungan. Pertama, hasil pengelolaannya menjadi sumber pemasukan negara yang amat besar sehingga negara mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Kedua, negara bisa terbebas dari utang luar negeri yang amat menyandera kebijakan dalam negeri sehingga negara bisa terlepas dari campur tangan asing.
Kas negara (baitulmal) yang begitu besar dari pengelolaan SDA ini, bisa dialokasikan untuk biaya eksplorasi dan eksploitasi SDA. Mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan SDA.
Khalifah boleh dan bisa membagikan secara langsung hasil SDA yang siap dikonsumsi kepada rakyat, bisa juga dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Yang jelas, semua harus kembali kepada rakyat sebab pemilik hakiki SDA yang melimpah adalah rakyat.
Wallahu' alam bishawab