Ratna Munjiah (Pemerhati Sosial Masyarakat)
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar), Kalimantan Timur, memotivasi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) setempat untuk mengoptimalkan besarnya potensi zakat tahun ini yang mencapai Rp1,6 triliun, sehingga kreativitas pengumpulan diperlukan untuk mencapainya.   Berdasarkan laporan Baznas, zakat yang berhasil dihimpun Baznas Kukar hingga Juli 2025 senilai Rp7,5 miliar, masih banyak potensi yang bisa dikumpulkan. 
Sekretaris Daerah Kabupaten Kukar Sunggono mengatakan, zakat memiliki potensi luar biasa untuk membantu mengurangi kesenjangan sosial, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk untuk menurunkan angka kemiskinan, sehingga pihaknya komitmen mendorong optimalisasi pengumpulan dan pemanfaatan zakat.  
(https://pusaranmedia.com/read/42625/pemkab-kukar-dan-baznas-gelar-rakor-upz-optimalkan-penghimpunan-zakat-untuk-pengentasan-kemiskinan)
Memang benar zakat adalah salah satu upaya yang disyariatkan Islam untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial dan kemiskinan. Hanya saja, zakat bukanlah satu-satunya mekanisme untuk menyelesaikan semua problem tersebut. Negara juga harus optimal dalam pengurusan rakyat mulai dari menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, tersedianya lapangan kerja, pengelolaan SDA semata-mata untuk kesejahteraan rakyat.
Pandangan zakat dalam sistem kapitalis tentu berbeda dengan pandangan Islam. Zakat dalam sistem kapitalisme tidak akan bisa menjadi solusi permasalahan kemiskinan, justru hanya menjadi alat untuk menutupi buruknya pengelolaan negara kapitalis dalam menyejahterakan rakyatnya. Karena realitasnya sistem kapitalisme telah menciptakan kemiskinan struktural.
Islam menjelaskan bahwa zakat bukan untuk negara, melainkan hak delapan golongan yang telah ditentukan dalam al-Quran. Sebagaimana yang tertuang dalam 
Surat At-Taubah Ayat 60
۞ إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Ayat di atas menjelaskan bahwa zakat hanya diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan yang tidak memiliki apapun, kaum miskin yang tidak memiliki sesuatu yang mencukupi mereka dan menutupi kebutuhan mereka, para petugas yang sibuk mengumpulkannya, orang yang dilembutkan hatinya sehingga diharapkan keislamannya, atau diharapkan keimanannya bertambah kuat, atau orang yang diharapkan bermanfaat bagi kaum muslimin, atau kalian dapat menepis dengannya keburukan seseorang terhadap kaum muslimin, untuk membebaskan hamba sahaya dan budak-budak yang ingin menebus dirinya, orang-orang yang terkena tuntutan hutang dalam rangka memperbaiki persengketaan, atau orang yang terbebani oleh hutang-hutang yang tidak dipakai untuk kerusakan maupun di hambur-hamburkan, lalu mereka kesulitan untuk melunasinya, para pejuang di jalan Allah, serta musafir yang kehabisan bekal perjalanan. 
Pembagian ini adalah merupakan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT dan Allah SWT maha mengetahui maslahat hambaNya, Allah SWT maha bijaksana dalam pengaturan dan ajaran syariat-Nya.
Zakat dalam Islam memang menjadi salah satu pintu pemasukan selain pintu-pintu lainnya kharaz, ghanimah, Dharibah, dsb termasuk kekayaan dari kepemilikan umum SDAE yang dikelola oleh negara. Dan dengan pengelolaan yang baik maka SDAE yang Allah SWT sediakan tentu akan mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu.
Islam menetapkan  negara wajib untuk mengentaskan kemiskinan dengan menjamin kebutuhan pokok dan komunal masyarakat. Sebagaimana hadits yang mengatakan bahwa pemimpin memiliki kewajiban untuk mengurus rakyatnya.
"Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban. (HR Imam Bukhari).
Maka hanya dengan diterapkannya sistem Islam dalam kepemimpinan Islam dalam sebuah negara, syariat Islam bisa dijalankan secara Kaffah, kebutuhan rakyat akan terpenuhi secara maksimal karena pemimpin menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin yang sadar bahwa dipundaknya ada amanah yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Wallahua'lam