Belakangan, publik kembali dihebohkan oleh isu penguasaan sumber air oleh perusahaan air minum kemasan berskala nasional. Beberapa laporan menunjukkan adanya pengambilan air tanah dalam secara besar-besaran, yang menimbulkan keresahan di masyarakat sekitar sumber mata air. Kasus yang mencuat di Jawa Barat misalnya, menunjukkan bagaimana pengambilan air di wilayah pegunungan berpotensi menurunkan debit mata air dan merugikan warga sekitar.
Fenomena serupa tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga mulai tampak di Kalimantan Timur, termasuk wilayah Berau dan sekitarnya. Aktivitas eksploitasi air tanah dalam oleh industri air minum mengancam kelestarian akuifer dalam, menurunkan muka air tanah, serta berpotensi menyebabkan amblesan tanah (land subsidence). Masyarakat di sekitar area industri mulai merasakan dampaknya: mata air yang kering, debit sumur warga menurun, dan akses air bersih menjadi tidak merata.
Dampak Buruk (Dharar) dari Eksploitasi Air Tanah
Air tanah dalam tidak bisa diperbaharui secara cepat. Pengambilannya secara besar-besaran tanpa perhitungan ekologis dapat menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan. Setidaknya ada beberapa dampak dharar (kerugian besar) dari eksploitasi ini:
1.	Penurunan muka air tanah (groundwater depletion) yang menyebabkan sumur warga menjadi kering.
2.	Hilangnya sumber mata air alami di kawasan sekitar pabrik.
3.	Potensi amblesan tanah (land subsidence) yang bisa berdampak pada infrastruktur pemukiman.
4.	Ketimpangan akses air—masyarakat sekitar pabrik kesulitan air bersih, sementara korporasi menguasai sumber air utama.
5.	Krisis ekologis—hilangnya keseimbangan air tanah berdampak pada vegetasi, pertanian, dan habitat hewan.
Masalah ini diperparah oleh lemahnya regulasi terkait batas pemanfaatan sumber daya air (SDA). Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal SDA di bawah Kementerian PUPR hingga kini belum mampu menghentikan praktik kapitalisasi air, karena sistem pengelolaan yang lebih menguntungkan investor daripada rakyat.
Analisis: Ketika Air Dijadikan Komoditas, Rakyat Jadi Korban
Dalam sistem ekonomi berbasis keuntungan, air diperlakukan layaknya barang dagangan biasa, bukan sumber daya vital. Perusahaan memiliki akses legal untuk mengebor, menimbun, dan menjual air tanah dalam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem. Praktik seperti ini meniscayakan manipulasi produksi dan distribusi demi keuntungan semata.
Padahal, air bukan hasil karya manusia yang pantas dikomersialkan secara mutlak. Ia adalah anugerah Allah SWT, sumber kehidupan bagi seluruh makhluk. Ketika air diprivatisasi, maka hak hidup masyarakat kecil ikut terampas. Inilah bentuk ketidakadilan yang nyata dalam sistem pengelolaan sumber daya alam saat ini.
Pandangan Islam: Air adalah Milik Publik
Islam memiliki pandangan yang jelas dan tegas tentang pengelolaan sumber daya alam, termasuk air. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa air adalah milik publik yang tidak boleh dimiliki secara eksklusif oleh individu maupun korporasi. Negara berkewajiban mengelolanya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak.
Dalam sistem Islam, pengelolaan SDA dilakukan oleh negara (khilafah) melalui mekanisme yang adil dan transparan:
•	Negara menjaga keseimbangan ekosistem dengan membatasi eksploitasi air tanah dalam.
•	Negara menjamin ketersediaan air bersih untuk seluruh masyarakat secara merata.
•	Setiap pelaku usaha wajib mematuhi aturan syariah: tidak menimbulkan dharar (bahaya) bagi manusia maupun lingkungan.
•	Bisnis dalam Islam hanya dibenarkan selama tidak merusak sumber daya publik dan dijalankan dengan prinsip amanah dan kejujuran.
Jika prinsip ini ditegakkan, maka praktik privatisasi air dan kerusakan ekologis dapat dicegah sejak awal.
 Islam Sebagai Solusi Menyeluruh
Kasus penguasaan sumber air oleh korporasi hanyalah satu dari sekian banyak contoh krisis tata kelola sumber daya alam akibat hilangnya nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab. Islam, sebagai agama yang sempurna (kaffah), telah menetapkan sistem yang menyeluruh dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Allah ﷻ berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Rahmat Islam mencakup cara mengelola bumi dengan adil, menjaga sumber daya agar tidak rusak, dan memastikan semua orang mendapat hak yang sama atas air dan kehidupan.
Sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai Islam dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam. Karena hanya dengan penerapan prinsip rahmatan lil ‘alamin, keseimbangan ekologi, keadilan sosial, dan keberkahan hidup dapat benar-benar terwujud.