Pembangunan Kapitalistik Menyisakan Segudang Masalah: Kasus Whoosh dan Ilusi Kemajuan


author photo

4 Nov 2025 - 10.13 WIB


Oleh: Ernadaa R

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan Indonesia, kini justru menjadi simbol kebobrokan pembangunan kapitalistik. Di balik gemerlap rel dan beton yang membelah Jawa Barat, terkuak fakta dugaan mark up hingga tiga kali lipat dari biaya seharusnya. Mantan Menkopolhukam Mahfud MD secara terang menyebut: biaya per kilometer Whoosh mencapai 52 juta dolar AS—padahal di Cina hanya 17–18 juta dolar AS. Sebuah selisih fantastis yang menimbulkan tanda tanya besar: kemana uang rakyat mengalir?

Kecurigaan ini diperkuat oleh analisis ekonom Anthony Budiawan dari PEPS yang menilai potensi korupsi pada proyek ini bisa mencapai 40–50%. Bahkan Luhut Binsar Panjaitan, yang turut terlibat dalam proyek ini, mengakui bahwa proyek tersebut “sudah busuk sejak awal”. Ironisnya, jika tahu sejak awal busuk, mengapa tetap dilanjutkan? Jawabannya sederhana: karena sistem pembangunan yang dianut negeri ini bukan didasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan pada logika kapitalistik dan kepentingan oligarki.


Pemerintah berkilah, proyek Whoosh merupakan “investasi sosial” untuk mengurai kemacetan dan meningkatkan efisiensi transportasi. Namun kenyataannya, hanya segelintir masyarakat kelas menengah atas yang mampu membeli tiketnya. Sementara rakyat kecil yang setiap hari bergulat dengan macet dan biaya hidup tinggi tidak merasakan manfaatnya. Lebih parah lagi, rakyat justru dipaksa ikut menanggung utang proyek yang mencapai Rp 120 triliun dengan bunga sekitar Rp 2 triliun per tahun.

Inilah wajah asli pembangunan kapitalistik: proyek dirancang bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk memutar roda utang, investasi asing, dan keuntungan korporasi. Negara hanya menjadi fasilitator bagi kepentingan modal, bukan pelindung bagi rakyat.

Pemerintah bahkan rela memilih proposal Cina yang lebih mahal dengan bunga pinjaman tinggi, ketimbang tawaran Jepang yang jauh lebih ringan. Akibatnya, kini PT KAI menanggung utang USD 7,2 miliar kepada China Development Bank, dengan bunga ribawi yang mencekik. Dari proyek yang katanya B to B (business to business) tanpa APBN, kini berbalik: rakyatlah yang menanggung bebannya.


Akar Masalah: Paradigma Kapitalistik

Inilah buah dari paradigma pembangunan kapitalistik: pembangunan diukur dari pertumbuhan ekonomi, bukan kesejahteraan rakyat. Selama ada investasi masuk, proyek berjalan, dan infrastruktur berdiri, maka dianggap sukses meski di baliknya rakyat menjerit.

Sistem ini melahirkan lingkaran setan: utang–proyek–korupsi–utang baru. Setiap proyek menjadi lahan bancakan politik dan ekonomi. Menurut Rizal Ramli, mark up di proyek infrastruktur BUMN bisa mencapai 30%, sementara ongkos politik dalam demokrasi menuntut “balas budi” lewat proyek. Akibatnya, kebijakan publik disandera oleh kepentingan elit, bukan kepentingan umat.


Paradigma Pembangunan Islam

Islam menawarkan paradigma berbeda dalam memandang pembangunan. Dalam sistem Islam (Khilafah), pembangunan bukan alat akumulasi modal, tetapi sarana pelayanan kepada rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Amir (penguasa) yang mengurus banyak orang adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (Muttafaq ‘alayh)



Artinya, setiap proyek publik harus ditujukan untuk kemaslahatan umat, bukan keuntungan korporasi. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat—sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi—tanpa memungut laba. Semua fasilitas publik harus bersifat egaliter, gratis, dan bebas komersialisasi.

Dalam Islam, pembiayaan pembangunan tidak bersumber dari utang ribawi, tetapi dari pengelolaan kepemilikan umum seperti sumber daya alam, tambang, dan hutan. Dengan pengelolaan yang amanah, hasil kekayaan alam dapat mencukupi kebutuhan umat tanpa perlu menggadaikan kedaulatan pada negara pemberi pinjaman. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, utang ribawi dijadikan penarik penjajahan ekonomi.


Korupsi dan Kebobrokan Sistem

Islam juga menegaskan bahwa setiap pejabat yang berkhianat terhadap amanah rakyat akan mendapat hukuman berat. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sedangkan dia menipu mereka, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)



Namun dalam sistem demokrasi kapitalistik, korupsi justru menjadi bagian inheren dari mekanisme kekuasaan. Proyek infrastruktur yang seharusnya membawa manfaat publik malah berubah menjadi ladang gratifikasi, suap, dan mark up.

Maka, masalah Whoosh bukan sekadar soal dugaan korupsi atau salah kelola, tapi soal sistemik: produk dari paradigma pembangunan kapitalistik yang rakus dan menindas.


Selama negeri ini terus berpegang pada sistem kapitalisme-demokrasi, setiap pembangunan akan meninggalkan luka. Jalan tol, bandara, kereta cepat, hingga Ibu Kota baru hanya akan menjadi monumen kesenjangan—megah di atas penderitaan rakyat.

Sudah saatnya umat menyadari bahwa pembangunan sejati hanya bisa lahir dari sistem yang menjadikan amanah, keadilan, dan pelayanan rakyat sebagai fondasi bukan laba dan utang. Itulah sistem Islam yang ditegakkan dalam naungan Khilafah, yang menjamin setiap kebijakan didasarkan pada syariat Allah SWT demi kemaslahatan umat seluruhnya.


Kasus Whoosh adalah cermin dari wajah asli pembangunan kapitalistik: mahal, korup, dan menindas. Dari proyek ini kita belajar, pembangunan yang tidak berlandaskan pada nilai ilahiah hanya akan menghasilkan ketimpangan dan penderitaan. Islam datang bukan sekadar sebagai agama, tetapi sebagai sistem kehidupan yang menata6 seluruh aspek, termasuk pembangunan, agar benar-benar menyejahterakan rakyat dan menjaga amanah kekuasaan.

Wallahu'alam.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT