Oleh: dr. hj. Sulistiawati, MAP
Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi guru itu adalah tugas mulia sehingga mendapat predikat Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi ternyata nasib mereka tidak seperti apa yang disematkan, terutama bagi guru dengan status non ASN. Seperti polemik belum dibayarkannya gaji guru honorer non-database di Kabupaten Berau masih belum menemukan titik terang. Meski anggaran sudah disiapkan oleh pemerintah daerah, tapi ribuan tenaga pendidik itu belum bisa menerima hak mereka selama beberapa bulan karena terbentur persoalan administrasi dan regulasi.
Polemik ini muncul setelah Rancangan Peraturan Bupati (Raperbup) yang mengatur mekanisme pembayaran gaji guru non-database ditolak oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Akibatnya Pemkab Berau belum memiliki dasar hukum sah untuk menyalurkan gaji para guru non-database tersebut. Meski demikian, Bupati Berau, Sri Juniarsih, mengaku menaruh perhatian serius dan menegaskan pihaknya tengah melakukan pembahasan intensif untuk mencari formula yang paling tepat dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. https://harianborneopost.com/pemkab-berau-belum-temukan-formula-pembayaran-gaji-guru-honorer-non-database/
Persoalan guru honorer hampir merata di setiap daerah. Sebelumnya di Kubar yang memicu ratusan mogok mengajar dan demo. Pemberlakuan berbeda terhadap guru antar Pemprov dan Pemkab serta pusat seakan suatu kewajaran dalam administrasi atau aturan yang lahir. 
Tuntutan guru dipicu oleh belum dipenuhinya aspirasi mereka oleh pemerintah daerah. Para guru meminta adanya penyetaraan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dengan ASN struktural sesuai kelas jabatan. Selain itu, para guru juga menolak adanya pemotongan TPP dengan alasan apa pun. 
Mereka menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya soal kesejahteraan, tetapi juga pengakuan atas profesi guru sebagai tenaga ASN yang memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan. Aksi demo ini diharapkan segera mendapatkan respons dari pemerintah daerah, agar kegiatan belajar mengajar dapat kembali berjalan normal dan aspirasi guru bisa diakomodasi dengan adil. https://rri.co.id/daerah/1844850/tpp-jadi-alasan-guru-asn-kutai-barat-gelar-demo
Buah Kapitalistik Negara
Minimnya kesejahteraan guru honorer sejatinya bukan sekadar persoalan teknis anggaran, tapi berakar dari paradigma negara terhadap Pendidikan yakni kapitalis-sekuler. Dalam meningkatkan kesejahteraan guru negara kerap berdalih anggaran tidak cukup untuk menggaji guru secara layak. Potensi SDA yang besar seharusnya dikelola oleh negara dengan sebaik-baiknya dan mengembalikan keuntungannya kepada rakyat. Dengan demikian SDA yang besar akan menjadi modal utama pembangunan, juga menjadi sumber utama pendapatan negara. 
Namun, nyatanya pengelolaan SDA diserahkan kepada swasta dan asing. Negara kehilangan potensi pemasukan besar karena hanya berperan sebagai regulator dan penerima pajak. Akibatnya, anggaran negara kini justru bergantung pada pajak dan utang, dua sumber pemasukan yang justru membebani rakyat.
Dalam sistem sekuler kapitalistik, guru juga tidak ditempatkan sebagai pendidik generasi mulia, dengan peran strategisnya membangun peradaban tapi melainkan sekadar faktor produksi pencetak tenaga kerja, sehingga nilai jasa mereka diukur dengan untung dan rugi. Akibatnya kualitas pendidikan pun semakin rendah. Fenomena saat ini, kondisi anak didik banyak mengalami masalah sosial dan prilaku seperti bullying dan krisis karakter ataupun masalah akademis dan kognitif seperti literasi yang rendah, minimnya motivasi hingga gangguan mental.
Selain kondisi anak didik, kualitas pemimpin yang lahir dari system ini pun juga rendah. Banyak pemimpin tak memiliki kapasitas moral dan intelektual yang mumpuni untuk mengurus rakyat. Dalam system kapitalisme tanggung jawab pendidikan sering diabaikan negara karena hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Bukan menambah alokasi dana demi layanan pendidikan berkualitas, pemerintah malah melakukan efisiensi anggaran.
Nasib guru Tanggung Jawab Negara
Pendidikan adalah bagian dari hak rakyat dan periayahan negara bersifat komunal sehingga negara akan memenuhinya termasuk kualitas dan kesejahteraan guru. Negara bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya. Wajar sepanjang sejarah peradaban Islam, Khalifah selalu memberikan gaji yang sangat besar kepada guru mengingat peran besarnya sebagai ujung tombak peradaban.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. memberikan gaji sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikonversi dengan harga emas saat ini (nominal terendah 2 juta per gram), gaji tersebut setara dengan 30 juta per bulan.
Pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru bahkan lebih tinggi. Di dua madrasah yang beliau dirikan, yaitu Madrasah Suyufiyah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru berkisar antara 11 hingga 40 dinar. (Kisaran 22 juta hingga 80 juta).
Pada masa Khilafah Abbasiyah, para pengajar, fuqaha, dan ulama yang mengajar di berbagai universitas di Bagdad menerima gaji sebesar 300.000 dinar per tahun. 
Dengan demikian guru fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak generasi berkualitas tanpa dibebani dengan mencari penghasilan tambahan karena semua sarana dan prasaran serta akses yang dibutuhkan guru untuk meningkatkan kualitas dan kompetensinya sudah di jamin oleh khalifah.
Guru dalam Islam dimuliakan dan dihormati, negara wajib mensejahterahkan dan menghargai  peran mereka karena guru memiliki peran strategis dalam membangun peradaban, menanamkan keimanan, dan mendidik generasi penerus agar taat kepada Allah SWT. Guru memiliki peran vital dalam membina generasi, mencerdaskan bangsa, dan menjadi penyelamat dari kebodohan, yang pada akhirnya memajukan peradaban suatu bangsa. Ilmu yang diajarkan oleh guru akan menjadi cahaya bagi murid-muridnya, dan pahalanya akan terus mengalir (pahala jariyah).
Abu Muzaffar as Sam’ani dalam kitab Tafsir as Sam’ani menjelaskan bahwa Rasulullah sangat menghormati orang-orang yang memiliki ilmu. Bahkan saking cintanya Nabi kepada para ahli ilmu, beliau menyuruh mereka duduk di dekatnya, sehingga mereka dapat lebih mudah untuk belajar dan mengambil ilmu.
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR Muslim No. 1893). 
Dalam kitab Lubab al-Hadis oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dinyatakan, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barang siapa memuliakanku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah. Barang siapa memuliakan Allah, maka tempatnya di surga.”
Dalam hadist lain Rasul saw. bersabda, “Barang siapa yang mengajarkan satu ayat dari kitab Allah kepada seseorang, maka orang itu menjadi hamba baginya.” (HR Thabrani). Hamba yang dimaksud dalam hadis ini ialah orang yang harus mengabdi sepenuh hati terhadap guru.
Islam juga mendorong umatnya untuk belajar dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Bahkan, hal ini dianggap sebagai sedekah terbaik dan mendapatkan pahala besar di sisi Allah. Sabda Nabi ﷺ, “Sebaik-baik sedekah adalah seseorang muslim belajar ilmu, kemudian mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.”
Hanya Islam yang memiliki mekanisme terbaik untuk menyejahterakan guru sekaligus menghadirkan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat. Dari pengelolaan kekayaan alam hingga penetapan gaji berbasis jasa, semua dirancang untuk menempatkan guru pada posisi mulia dan menjaga keberlangsungan peradaban. Negara, dengan penuh tanggung jawab, memberikan penghargaan dan kesejahteraan yang layak kepada mereka sebagai bentuk pengakuan atas peran vitalnya dalam pendidikan dan pembentukan generasi emas yang gemilang, juga membawa umat dan negaranya menjadi umat terbaik dan negara besar dengan peradaban unggulnya. Wallahualam bissawab