Aceh — Dua dekade setelah senjata dibungkam dan perdamaian diteken di Helsinki, komitmen negara terhadap Aceh kembali dipertanyakan. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bukan sekadar arsip sejarah, melainkan perjanjian politik dan hukum yang mengikat negara hingga hari ini. Jumat (19 Desember 2025).
Namun di lapangan, implementasi MoU itu dinilai kian menjauh dari semangat awal perdamaian.
MoU Helsinki yang dimediasi langsung oleh Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia dan peraih Nobel Perdamaian menjadi fondasi berakhirnya konflik bersenjata puluhan tahun di Aceh. Kesepakatan tersebut secara tegas mengatur kekhususan Aceh, termasuk ruang gerak dalam hubungan luar negeri, penerimaan bantuan internasional, serta pengakuan identitas politik dan kultural daerah.
Dalam dokumen MoU, Aceh diberikan hak untuk:
Menggunakan simbol-simbol daerah seperti bendera, lambang, dan himne.
Menjalin hubungan dengan negara lain dan organisasi internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Menerima bantuan luar negeri secara langsung.
Difasilitasi bukan dihambat oleh Pemerintah Indonesia dalam kerja sama internasional.
Namun realitas hari ini justru menunjukkan gejala sebaliknya.
“Negara Jangan Pura-Pura Lupa”
Tgk Rabo, mantan kombatan GAM, dengan nada keras menegaskan bahwa MoU Helsinki bukan hadiah, melainkan hasil kompromi damai yang dibayar mahal oleh rakyat Aceh dengan darah dan penderitaan.
“Aceh punya MoU yang jelas dan sah. Republik Indonesia jangan pura-pura lupa. Presiden boleh berganti, tapi negara terikat oleh perjanjian,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa perdamaian Aceh bukan kemurahan hati pemerintah pusat, melainkan kontrak politik dua pihak yang disaksikan dunia internasional.
Bantuan Luar Negeri Dihambat, Rakyat Menanggung Akibat
Sorotan paling tajam diarahkan pada sikap pemerintah pusat yang dinilai kerap menghambat masuknya bantuan luar negeri ke Aceh, terutama saat bencana melanda wilayah pedalaman yang minim akses dan fasilitas.
“Jangan hambat bantuan luar negeri untuk Aceh. Kalau tidak sanggup menangani bencana, jangan berlagak sombong,” kata Tgk Rabo.
Menurutnya, sikap birokratis dan sentralistik justru berpotensi melanggar semangat MoU Helsinki, yang secara eksplisit mengamanatkan dukungan negara terhadap kerja sama internasional Aceh.
Ia bahkan menantang para pejabat pusat untuk turun langsung ke wilayah terdampak.
“Turun ke pedalaman. Menginap di sana. Lihat langsung penderitaan rakyat. Jangan cuma datang ke kota, foto-foto, lalu pulang,” ujarnya.
MoU Helsinki. Diakui di Kertas, Dipersempit di Praktik
Pernyataan ini membuka kembali diskursus lama yang tak pernah benar-benar selesai: apakah MoU Helsinki dijalankan secara utuh, atau hanya diakui sebatas simbol politik?
Sejumlah pengamat menilai bahwa pengerdilan kewenangan Aceh terutama dalam urusan hubungan luar negeri dan bantuan internasional berisiko merusak kepercayaan yang menjadi fondasi perdamaian.
MoU Helsinki tidak mengenal istilah “opsional” atau “disesuaikan kemudian.” Ia adalah kesepakatan final, mengikat, dan berjangka panjang.
Mengabaikannya, secara politik dan moral, berarti menggerus legitimasi perdamaian itu sendiri.
Peringatan dari Aceh
Pesan yang disampaikan para eks kombatan dan tokoh Aceh hari ini bukan ancaman, melainkan peringatan keras perdamaian tidak bertahan dengan ingatan selektif dan kebijakan setengah hati.
Aceh telah menepati bagiannya senjata diturunkan, konflik dihentikan. Kini giliran negara membuktikan bahwa MoU Helsinki bukan sekadar dokumen mati, melainkan janji yang dihormati.
Jika tidak, sejarah mencatat pengkhianatan terhadap perjanjian damai selalu dimulai dari pengabaian kecil yang dibiarkan berulang. (A1)