Penulis Oleh: Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Perayaan Imlek di negeri syariat menarik perhatian sejumlah pewarta. Yang menjadi pertanyaan mereka adalah bagaimana perayaan Imlek di provinsi yang menerapkan syariah Islam. Konon provinsi ini mendapat predikat intoleran. Namun fakta yang dijumpai di Aceh membungkam para penggiring opini menyesatkan tersebut. Komunitas Tionghoa tetap bisa menjalankan kehidupan sehari-hari secara normal. Bisnis mereka tidak terganggu, demikian pula dengan pendidikan dan ibadah mereka.
Namun ada beberapa hal yang harus digaris bawahi oleh umat Islam dalam mengapresiasi Imlek. Vice.com pada 2018 merilis berita seputar Imlek di Banda Aceh, yang menarik adalah ilustrasi gambar anggota pemain barongsai adalah 2 orang muslimah berkhimar. Tahun ini gambar tersebut di pajang di salah satu portal berita dengan narasi yang luar biasa toleran.
BBC Indonesia melaporkan situasi Imlek 2020, dimana salah satu pemuka masyarakat Tionghoa di Banda Aceh, menyampaikan bahwa para pemain atraksi barongsai bukan hanya berasal dari warga Tionghoa, tapi juga dari komunitas muslim. Menurutnya barongsai bukan sekadar ekspresi kebudayaan, atraksi ini sudah diperlombakan di Pekan Olahraga Nasional (PON) yang membuka kemungkinan warga non Tionghoa untuk menjadi pemain/atlit barongsai.
Imlek Budaya Atau Perayaan Agama ?
Pergantian tahun baru China disebut oleh Tionghoa Indonesia sebagai Imlek. Biasanya berlangsung selama 15 hari dan hari terakhir disebut Cap Go Meh atau hari penutup perayaan tahun baru. Guru Besar Studi China Universitas Indonesia, Hermina Sutami mengatakan dulunya perayaan ini dimaksudkan untuk menyambut awal musim semi. Terkait hal tersebut, mengutip buku "Hari-hari Raya Tionghoa" yang ditulis oleh Marcus A.S, dalam merayakan musim semi dahulu orang Tionghoa akan mengucapkan "Sin Cun Kiong Hi".
Semenjak kemunculan beberapa filsuf, perayaan Imlek dikaitkan oleh nilai-nilai moral dan keagamaan. Sejak saat itu hingga kini penyambutan perayaan Imlek juga melibatkan persembahan ritual. Para penganut Tridharma seperti Konghucu, Taoisme dan Buddha melakukan sembahyang sembari menyajikan makanan untuk tuhan yang disebut sebagai Thien (Tian). Kini negara Tongkok tidak menganut agama apapun, secara idiologi negara meraka menerapkan sistem sosialisme komunis yang tidak mengakui Tuhan. Namun Imlek ini terus dirayakan.
Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) untuk DKI Jakarta, Js. Liem Liliany Lontoh mengatakan tahun baru Imlek adalah hari raya bukan kebudayaan. Perayaan tahun baru Imlek dimulai pada masa Gus Dur, sehingga pada 2020, perayaan tersebut menjadi yang kedua puluh kali.
Imlek adalah upacara sembahyang ditujukan kepada Pencipta sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depanmendapat rezeki lebih banyak. Imlek juga bertujuan untuk menjamu leluhur dan sebagai sarana mempererat kekerabatan. Mereka pun mempersembahkan beberapa makanan kesukaan leluhur sebagai lambang kemakmuran, keselamatan dan kebahagiaan.
Mengapa Barongsai Selalu Mengiringi Imlek ?
Lion Dance (tarian singa) adalah tarian tradisional Tiongkok yang dipertunjukkan pada acara-acara besar seperti festival musim semi/Imlek. Di negeri kita tarian ini lebih populer dengan sebutan Barongsai. Dilansir dari China Highlights, menurut kepercayaan Tiongkok, singa menandakan keberanian, kekuatan, kebijaksanaan dan keunggulan. Maka ditarikanlah Barongsai untuk membawa keberuntungan dan mengusir roh-roh jahat. Karena Tiongkok meyakini adanya monster, hantu, roh jahat dan raksasa yang disebut Nian, akan takut dengan suara-suara gaduh. Barongsai ditarikan untuk membawa kemakmuran dan kebahagiaan.
Pandangan Khas Islam Terhadap Imlek
Salah satu fenomena akhir zaman, yang dialami umat Islam adalah membeo (Tasyabbuh) kepada orang kafir baik dalam hal tradisi kebiasaan khas mereka. Termasuk didalamnya terlibat dalam perayaan hari raya mereka. Sabda Rasulullah SAW, "Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan kaum sebelum kalian, sama persis sebagaimana jengkal tangan kanan dengan jengkal tangan kiri, hasta kanan dengan hasta kiri. Sampai andaikan mereka masuk ke liang biawak, kalian akan mengikutinya (HR. Bukhari 3456, Muslim 2669).
Dengan demikian, turut memeriahkan hari raya ini, apapun bentuknya, meskipun hanya memerahi depan rumah, berarti kita telah melanggar ancaman yang dinyatakan dalam hadist Ibu Umar r.a, Nabi SAW bersabada, "Siapa yang meniru kebiasaan suatu kaum maka dia termasuk dalam bagian kaum tersebut (HR. Abu Daud 4031 hadits sahih).
Selain itu, ikut dalam memeriahkan perayaan tradisi keagamaan orang kafir menandakan bahwa personal tersebut sejatinya belum sepenuhnya membenci kekufuran. Memeriahkan adalah aktivitas mendukung kekufuran. Karena itulah Allah menyebutkan bahwa diantara sikap ibadur rahman (hamba Allah yang sejati), mereka tidak menoleh sedikitpun dengan perayaan semacam ini. Allah SWT berfirman, "...Serta orang-orang yang tidak menyaksikan Az-Zur...(QS. Al-Furqan:72). Mujahid dalam tafsirnya mengatakan, Az Zur adalah hari raya orang musyrik.
Sebagai perbandingan, mari menyimak keterangan Anas bin Malik, ketika Nabi SAW tiba di Madinah. Penduduk Madinah kala itu sedang merayakan dua hari raya yaitu, Nairuz berupa perayaan tahun baru masyarakat Persia dan Mihrajan, yaitu perayaan menyambut musim panen. Penduduk Madinah merayakannya dengan bersenang-senang dan makan-makan. Tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan oleh Majusi, meski demikian Rasulullah SAW tetap melarangnya. Sebagai gantinya Allah berikan dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Hadharah dan Madaniyah
Generasi millenial seringkali dibuat bingung oleh bagaimana seharusnya memperlakukan segala sesuatu yang berasal dari kafir. Sehingga ada tudingan begini, "Pakai Hp, komputer, baju, sampe kompor dari China, pakai Tik Tok tapi ikut nimbrug di Imlek aja dilarang ?" atau "Rayain tahun baru masehi tidak boleh, Valentine ga boleh, ngucap Natal haram tapi pakai Facebook !".
Untuk itulah Islam memiliki konsep hadharah (peradaban/pandangan hidup) dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Hadharah bersifat khas sesuai dengan pandangan hidup tertentu. Misal Natal, Valentine, Imlek, Nyepi dan lain sebagainya. Sedangkan Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Terkadang madaniyah ini bersifat khas dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu (agama) seperti kalung salib, simbol-simbol yahudi, dan lain sebagainya, maka benda-benda yang demikian haram dipakai. Namun adakalanya madaniyah ini bersifat umum, universal serta tidak mengandung pemahaman apapun, seperti mobil, alat elektronik, ilmu pengetahuan dan sains teknologi dan lain sebagainya, silahkan digunakan.
Oleh karenanya madaniyah (benda) yang tidak di pengaruhi hadharah baik dari Barat atau Timur, silahkan digunakan karena tidak bertentangan dengan hadharah Islam. Hadharah barat tegak diatas asas pemisahan agama dengan kehidupan (sekulerisme), konsep kehidupannya hanya mashlahat (kepentingan/manfaat), sedangkan standar kebahagiaannya adalah bagaimana dapat meraih kebahagiaan jasadi termasuk pemenuhan berbagai materi kehidupannya.
Sebaliknya hadharah Islam berdiri diatas dasar keimanan kepada Allah SWT, standar perbuatannya halal dan haram. Sedangkan tujuan yang ingin diraih dari semua aktivitasnya adalah ridha Allah saja. Wajib bagi seorang muslim untuk mengikatkan semua perbuatannya dengan hukum-hukum Allah sebagai konsekuensi keimanannya.
Toleransi dalam Kacamata Islam
Islam memandang toleransi (tasamuh) sebagai memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menjalankan keyakinan agamanya. Toleransi bukan pluralisme (menganggap semua agama benar). Tasamuh justru mengajarkan kita untuk meyakini kebenaran hanya berasal dari Allah SWT. Tasamuh menghendaki pluralitas bukan pluralisme. Pluralisme mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan bahwa setiap orang bebas memeluk agama apa saja karena semua agama akan menghantarkan ke syurga, inilah yang menjadi keyakinan orang-orang liberal.
Islam Menjamin Non Muslim
Dalam Hadits, Rasulullah SAW yagn diriwayatkan oleh An-Nasa`i dari sahabat Abdullah bin Amr, "Barang siapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau syurga. Padahal sesungguhnya bau syurga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun".
Hadits ini menekankan pentingnya toleransi diarahkan kepada umat Islam untuk berlaku baik kepada non muslim yang telah membuat perdamaian dan kerjasama dengan kaum muslimin.