"

Pengarusan Moderasi Makna ‘Salih’


author photo

21 Okt 2024 - 14.26 WIB


Oleh : Maryanti 

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, indeks kerukunan umat beragama dan kesalehan sosial secara nasional meningkat pada tahun 2024, dibandingkan 2023. Dia mengatakan, penguatan kerukunan umat beragama mengalami peningkatan meskipun hanya 0,45 poin. Data yang dijabarkan Kementerian Agama RI, di masa kepemimpinan Yaqut sebagai Menteri Agama, indeks kerukunan umat beragama ini terus meningkat. Pada masa kepemimpinan Menag Yaqut, indeks kerukunan umat beragama terus mengalami kenaikan. Pada 2020, indeks ini berada di angka 67,46, kemudian naik menjadi 72,39 pada 2021, 73,09 pada 2022, dan mencapai 76,02 pada 2023. Pada 2024, indeks tersebut kembali meningkat menjadi 76,47. (JAKARTA, KOMPAS.com).Selain itu, indeks kesalehan sosial yang diukur melalui lima dimensi yakni; kepedulian sosial, relasi antar manusia, menjaga etika, melestarikan lingkungan, serta relasi dengan negara dan pemerintah juga mencatat tren peningkatan. Keterangan tersebut Menag sampaikan dalam pidatonya pada Religion Festival, eksibisi capaian Kemenag, di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu (9/10/2024). (Jakarta-Kemenag).
Naiknya Indeks kerukunan umat beragama  (IKUB) dan Indeks Kesalihan sosial harus ditelaah dengan mencermati indikator yang digunakan. Indikator IKUB adalah toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. indikator tsb  sejalan dengan prinsip moderasi beragama yang dijalankan saat ini.
Indeks kesalehan sosial diukur melalui lima dimensi yakni; kepedulian sosial, relasi antar manusia, menjaga etika, melestarikan lingkungan, serta relasi dengan negara dan pemerintah. Makna  salih yang selama ini kita pahami, yakni niat karena Allah dan sesuai dengan ketentuan syariat, didekonstruksi dalam pengukuran Indeks kesalehan Sosial(IKS). Makna salih diberikan pemaknaan baru dengan melekatkan tambahan kata “sosial”. Semua Indikatornya mengarah pada moderasi, karena yang diukur adalah parameter-parameter moderasi. Karakter sebagai muslim moderat inilah yang ditampakkan oleh IKUB dan IKS.
Sejatinya moderasi beragama merupakan proyek barat untuk deideologi Islam. Ide ini merupakan hasil rekomendasi Rand Corporation yang dipasarkan ke negeri-negeri Islam.  Targetnya adalah untuk mencegah kebangkitan Islam/ tegaknya khilafah. Karena Islam moderat yang mereka inginkan sebenarnya, menurut Janine A. Clark, adalah Islam yang menerima demokrasi. Sebaliknya, Islam radikal adalah Islam yang menolak demokrasi dan sekularisme. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender (Tazul Islam, Amina Khatun, Islamic Moderate in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships, International Journal of Nusantara Islam, Volume 03, No.2, 2015).
Moderasi beragama jika dibiarkan, akan mengakibatkan umat makin jauh dari agamanya. Jadi jelaslah, moderasi beragama dalam pandangan Islam adalah ide yang berbahaya, sehingga umat harus menolaknya.
Islam sudah memiliki aturan tertentu tentang toleransi, yaitu sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang jelas berbeda dengan standar global.  Tuntunan Islam tentang toleransi diantaranya ada pada Al Kafirun: 6  Islam juga sudah memiliki definisi salih , orang yang beribadah semata karena Allah  dan sesuai dengan akidah Islam dan dan aturannya berasal dari syariat Allah.
Kita bisa meneladani toleransi Khalifah Umar Bin Khattab r.a pada masa kepemimpinannya. Sejarawan, Maher Y Abu-Munshar, dalam bukunya, Islamic Jerussalem and Its Christian (2007) menjelaskan, pengaruh Umar bin Khattab dalam menstabilkan situasi wilayah yang dipimpinnya. Khalifah Umar dikenal sebagai pribadi yang bersahaja, meskipun begitu keras dan tegas dalam menghadapi kebatilan. Di sisi lain, ia bersikap lemah lembut terhadap kelompok-kelompok yang tidak diperlakukan adil, sekali pun berbeda agama.
Keadilan bahkan harus tegak berdiri walaupun dalam suasana perang. Maher menuturkan, kisah penaklukan Baitul Makdis (Yerusalem) pada tahun 16 Hijriyah sebagai salah satu contoh gemilang sikap Umar bin Khattab dalam menegakkan keadilan. Prinsip demikianlah yang mendasari hidupnya toleransi di Tanah Suci itu.
Semua bermula dari kesediaan Patriarch Sophronious, pemuka agama Kristen Ortodoks Yerusalem saat itu, untuk memberikan kunci kota kepada Khalifah Umar bin Khattab. Penyerahan kunci tersebut dilakukan tanpa paksaan, melainkan sebagai upaya diplomasi.
Sebagai balasannya, Khalifah Umar pun menawarkan perjanjian damai. Maka lahirlah deklarasi al-'Uhda al-'Umariyyah atau Jaminan Keamanan Khalifah atas Warga Aelia. Aelia merupakan nama yang diberikan kaum Kristen Ortodoks untuk wilayah Baitul Makdis saat itu. Kala itu, tanah suci ini sebenarnya sudah dalam genggaman pasukan Muslim. Umar memerintahkan mereka untuk menghormati hak-hak setiap warga sipil yang mereka jumpai di sana.
Khalifah Umar dan Patriarch Sophronious bertemu di Gereja Qiyâmah. Di sinilah perjanjian al-'Uhda al-'Umariyyah disepakati. Meskipun tampil sebagai penguasa, konsistensi Umar tetap terjaga dan menghormati pemuka agama Kristen Ortodoks itu sebagai pihak setara. (Republika.id)
Fakta sejarah di atas membuktikan toleransi sesuai dengan tuntunan Islam  sudah pernah diterapkan dan terbukti membawa stabilitas di masyarakat dunia.  Dan itu hanya dapat terwujud ketika khilafah tegak.
Dengan demikian kita harus bersama-sama berjuang untuk mewujudkan tegaknya kembali Khilafah.



​​​
Bagikan:
KOMENTAR