Kebijakan Pajak Kebijakan Zalim sistem Kapitalisme


author photo

6 Jan 2025 - 17.41 WIB



Oleh: Eka Susanti

Kembali kita diramaikan dengan keputusan para elite pemerintah terkhusus Indonesia, negeri tercinta. Menyoal tentang kebijakan barunya yakni kenaikan pajak (PPN 12%). Mengutip dari laman Tempo.Com (20/12/2024), terdapat puluhan masyarakat yang sudah melakukan aksi penyerahan petisi menolak kenaikan PPN 12% di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, pada hari kamis 12 Desember 2024. Selaku koordinator dari aksi tersebut, Risyad mengatakan jika masyarakat menolak kenaikan PPN ini karena hal ini akan menyengsarakan mereka, maka dari itu dia juga meminta agar pemerintah mencabut kebijakan ini. Kemudian dari laman CNBC Indonesia (20/08/2024), menurut Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, menurutnya kenaikan ini hanya akan menyengsarakan rakyat, namun tidak signifikan menambah penerimaan negara, "insentif diberikan kepada korporasi yang besar, sementara rakyat dibebani terus, ini sudah hampir pasti PPN naik menjadi 12%”. Berdasarkan laman Tirto.Id (12/12/2024), pajak di Indonesia sudah ada sejak masa lalu, bahkan sejak masa klasik atau masa kerajaan. Sejumlah prasasti menyebut mengenai penarikan pajak sendiri berasal dari masa kerajaan Hindu-Buddha. Dan sebenarnya rakyat tak henti didera sejumlah pajak, terkadang pungutan di tegah berbagai keterbatasan hidup berhasil menyulut perlawanan.

Institusi pemerintahan di dalam sistem kapitalisme saat ini tidak akan pernah memberikan jaminan dan ketenangan hidup kepada rakyatnya. Segala bentuk aturan kebijakan yang ditetapkan dapat diubah-ubah sesuai dengan kehendak dan kepentingan para penguasa korporat tanpa memperdulikan nasib rakyat. Hanya di dalam sistem kapitalisme ini, pajak dijadikan sebagai sumber pendapatan dan dana pembangunan yang diterapkan kepada semua golongan rakyat, hingga menjadi hal yang diwajibkan. Namun seringkali para kapitalis ini juga tidak berlaku adil. Negara tidak benar-benar menjadi regulator dan fasilitastor rakyat, melainkan sering tunduk dan berpihak kepada para pengusaha, dimana pengusaha bisa mendapatkan keringanan kebijakan, sementara rakyat yang lain semakin terbebani. Hal ini juga membuktikan bahwa negara juga tidak bisa mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, pada akhirnya negara hanya bisa meminta dan mencekik rakyat dengan meninggikan pajak. Sungguh benar-benar dzalim pemimpin negara yang menaganut sistem kapitalis saat ini. 

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Asy-Syura: 42).

Dalam hadits, “Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

"Akan ada pemimpin-pemimpin bodoh yang akan memerintah kamu, kamu akan mengenalinya dan kamu akan membenci mereka." (HR. Muslim).

Ciri lain dari pemimpin dzalim ini sendiri dapat kita saksikan dengan banyaknya perilaku korup dan merampok harta benda umat, dalam hadits disebutkan:
"Akan ada pemimpin yang tidak mengeluarkan lagi harta tersebut (untuk kebutuhan yang seharusnya), pada hal dia membutuhkannya." (HR. Bukhari).

Mari kita membandingkan dengan institusi negara dalam sistem ekonomi Islam (Khilafah), yang menurut sebagian masyarakat menjadi sistem yang mustahil dan kuno. Namun tidak memungkiri jika dikemudian hari, sistem ini juga yang akan memperbaiki semua keadaan rusak di seluruh dunia sekarang. Di dalam sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab sebagai ra’in (pemimpin) yang mengurus rakyatnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat berdasarkan dari Sang Pencipta, dan bukan berdasarkan dari hawa nafus belaka. Sehingga menjadikan rakyat dapat hidup dengan tentram. Sistem ekonomi Islam akan menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam negara sebagai milik umum dan wajib dikelola negara dimana hasilnya akan digunakan kembali hanya untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur hukum syara’. Sumber Daya Alam menjadi salah satu sumber pemasukan negara dalam pembangunan, dan jelas hasilnya kembali dapat dirasakan rakyat pula karena negara memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat setiap individunya.

Mengingat perkataan dari Ustazd Ismail Yusanto (Seorang Cendikiawan Muslim):
“Isi dunia ini Allah ciptakan ‘cukup’ untuk kehidupan seluruh manusia dimuka bumi, tapi ‘tidak akan pernah cukup’ untuk memuaskan satu manusia yang serakah”.

Dalam sistem ekonomi Islam kita mengenal istilah baitul-mal (penyimpanan kas negara) dan pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitul mal. Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara sedang kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya atau disebut dengan “Muqaddimah Ad-Dustur”. Jadi, pajak hanya akan ditarik dari warga negara muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu, semisal adanya bencana alam atau peperangan; atau ketika negara harus membayar gaji pegawainya, sedangkan harta di baitul-mal tidak ada. Dan jika masalahnya sudah teratasi, penarikan pajak harus segera dihentikan. Demikianlah sistem pajak di dalam Islam, tentu hal ini tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Dan sistem ini juga hanya bisa dijalankan dalam frame negara Islam pula (Khilafah), tentu tidak akan bisa di jalankan dalam frame negara Demokrasi-Kapitalis yang sekarang dengan beroperasi. 

Wallahua’lam…
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT