Aceh Utara – Kisruh penetapan empat pulau yang selama ini berada dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil kembali mencuat ke permukaan. Isu yang sempat memanas dua tahun lalu itu kini mengejutkan kembali Pemerintah Aceh dan masyarakatnya, setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerbitkan keputusan terbaru terkait status keempat pulau tersebut.
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, disebutkan bahwa keempat pulau tersebut kini masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Keputusan itu memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk dari mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pase, Umar alias Membe.
“Ini sungguh miris dan menjadi polemik besar yang sangat sensitif. Seharusnya Mendagri berpikir jernih, apalagi ini menyangkut batas wilayah. Jangan usik kami lagi setelah kami berdamai dan menjaga kedamaian cukup lama,” ujar Membe saat dimintai tanggapan, Sabtu (1/6/2025).
Ia menyayangkan pengambilan keputusan yang dinilainya sepihak, tanpa koordinasi yang terbuka antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumatera Utara.
“Dokumen-dokumen pendukung sudah kami serahkan, baik dari Pemerintah Aceh maupun Pemkab Aceh Singkil. Ada peta kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumut, Raja Inal Siregar, yang disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri tahun 1992. Termasuk peta koordinat yang jelas,” ungkapnya.
Menurut Membe, keputusan seperti ini seharusnya tidak diambil secara gegabah karena dapat memicu ketegangan baru antarwilayah. “Ini aneh. Mestinya ada koordinasi antara dua provinsi. Jangan main sikut dong,” tegasnya.
Ia juga meminta kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, untuk memberi kesempatan kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Muallem), agar bisa bertemu langsung dan menyampaikan persoalan ini secara terbuka.
“Lebih baik Presiden memberi ruang untuk berdialog, daripada ini menjadi konflik baru bagi generasi mendatang,” harapnya.
Lebih lanjut, Membe menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh sejak lama telah membangun infrastruktur dasar di pulau-pulau tersebut, mulai dari tugu koordinat, dermaga, rumah singgah, hingga mushala. Masyarakat juga menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial secara turun-temurun di wilayah tersebut.
“Pengalihan ini jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Ini bukan hanya soal batas, tapi soal identitas dan hak sejarah yang tidak boleh diabaikan,” pungkasnya.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Kemendagri maupun pihak Pemerintah Provinsi Aceh terkait langkah lanjutan atas keputusan tersebut.(M)