Jakarta – Ucapan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) yang menyinggung soal "kampungan atau preman" mendadak jadi viral. Entah bermaksud menyindir atau sekadar spontan, pernyataan itu justru berbalik arah. Sebab, kalau mau bicara soal kampungan, ada daftar panjang hal-hal "kampungan" yang lebih esensial daripada sekadar gaya bicara seseorang, Jum'at (14/3/2025).
*Mari kita bahas satu per satu.*
1. Kampungan Itu Ketika Militer Minta Diadili di Pengadilan Militer.
Kita sering mendengar kasus tentara melakukan tindak kriminal. Dari yang kecil seperti pemukulan, hingga yang besar seperti pembunuhan. Tapi ketika harus diadili, langsung berlindung di balik pengadilan militer.
Padahal, kalau tentara mengaku bagian dari rakyat, kenapa tidak mau diadili seperti rakyat biasa? Mengapa harus ada pengadilan khusus yang sering kali ujungnya lebih ringan dari pengadilan sipil? Kalau percaya diri tidak bersalah, kenapa takut diadili secara transparan?
2. Kampungan Itu Ketika Jenderal Hartanya Ratusan Miliar, tapi Prajuritnya Hidup Pas-pasan.
Ada fenomena menarik di negeri ini. Seorang jenderal bisa punya kekayaan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Padahal kalau dihitung gajinya, bahkan kalau tidak beli makanan dan minuman seumur hidup pun, tetap tidak nyambung dengan jumlah hartanya.
Tapi, ketika diminta transparansi, jawabannya pasti standar: hibah, warisan, hadiah, dan bla bla bla. Semua serba ajaib. Sementara itu, prajurit di lapangan harus berjuang dengan peralatan terbatas, mess yang mengenaskan, dan tunjangan yang entah kapan naiknya.
Jadi, siapa yang sebenarnya kampungan?
3. Kampungan Itu Ketika Dikit-dikit Baperan, Dikit-dikit Nuduh Agenda Asing
Rakyat kritik kebijakan militer? Langsung dituduh antek asing.
Ada yang protes pengadaan alutsista yang janggal? Langsung dicap bagian dari agenda global.
Padahal, rakyat bayar pajak, rakyat juga yang harusnya bisa mengawasi. Tapi giliran dikritik, bawaannya emosian, baperan, dan sibuk menyalahkan konspirasi luar negeri.
Katanya "bersama rakyat", kok dikritik rakyat malah baper?
4. Kampungan Itu Ketika Militer Maruk, Mau Semua Jabatan
Menjadi prajurit itu tugas mulia. Tapi kalau sudah jadi jenderal, kok maunya serakah?
Mau tetap di militer biar pangkatnya naik.
Mau masuk ke BUMN biar ada jabatan dan gaji tambahan.
Mau nyemplung ke dunia politik biar bisa lebih berkuasa.
Mau semua hal yang ada untungnya.
Lha, ini mau bela negara atau bela kantong pribadi?
5. Kampungan Itu Ketika Peraturan Tidak Cocok, Lalu Diubah Sesuka Hati
Negara ini punya aturan hukum. Tapi kalau ada aturan yang menghalangi kepentingan tertentu, tiba-tiba diubah begitu saja.
Misalnya, ada aturan yang membatasi masa jabatan, mendadak diusulkan revisi.
Ada aturan yang membatasi kewenangan, tiba-tiba dipelintir agar lebih fleksibel.
Ada aturan yang seharusnya melindungi rakyat, malah dimodifikasi agar lebih menguntungkan elite.
Aturan itu harusnya berlaku untuk semua, bukan hanya untuk yang punya akses ke kekuasaan.
*Bonus: Kampungan Itu Ketika TNI-Polri Dapat Hibah dari Oligarki Aseng*
Poin ini tak kalah menarik. Seharusnya semua kebutuhan militer dan kepolisian ditanggung oleh negara. Mulai dari markas, mess, hingga fasilitas lainnya.
Tapi anehnya, ada hibah-hibah mencurigakan dari oligarki. Bukannya merasa malu atau menolak, malah diterima dengan senang hati. Padahal, kalau institusi keamanan sudah "terima kasih" pada pemilik modal, apa jaminannya mereka tetap netral?
Belum cukup? Dana pensiun triliunan rupiah pun ikut diembat. Kalau saja dana itu digunakan untuk membangun mess dan markas, prajurit di lapangan pasti lebih sejahtera.
*Yang Kampungan Itu Bukan Rakyat, tapi Mereka yang Takut Dikritik*
Jadi, setelah membaca semua ini, masih mau mendebat siapa yang sebenarnya kampungan?
Kampungan bukan soal logat atau bahasa. Tapi soal mentalitas.
Kampungan bukan soal bicara keras atau pelan. Tapi soal integritas.
Kampungan bukan soal rakyat mengkritik. Tapi soal pejabat yang tidak bisa menerima kritik.
Jadi, sebelum sibuk menyebut orang lain "kampungan atau preman", coba lihat dulu ke cermin. (TIM/Red)