"

RS Arun Lhokseumawe: Kuburan Etika, Surga Bagi Yang Kebal Hukum?


author photo

1 Mei 2025 - 13.03 WIB


Lhokseumawe — Rumah Sakit Arun kembali menjadi potret buram wajah pelayanan publik di Aceh. Bukan karena prestasi medis, bukan karena layanan unggulan melainkan karena kisruh internal yang tak kunjung selesai dan aroma busuk korupsi yang masih tercium kuat di balik dinding-dindingnya. Lebih dari sekadar institusi kesehatan, RS Arun telah menjelma menjadi simbol kegagalan tata kelola, pembiaran sistematis, dan dugaan kuat kongkalikong kekuasaan.

Kasus korupsi yang menyeret mantan Direktur RS Arun, Hariadi, hingga ke balik jeruji besi adalah puncak gunung es dari masalah yang jauh lebih dalam. Meski Hariadi telah dihukum, ironi menyakitkan terjadi: para pihak yang turut menerima dan kemudian mengembalikan dana hasil korupsi, hingga kini tetap bekerja di posisinya masing-masing. Tak tersentuh hukum, tak terjamah sanksi. Lalu, di mana letak keadilan?

Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika dalam masa kepemimpinan Direktur Widia Siregar, persoalan serupa kembali mencuat. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan adanya kejanggalan serius. Namun respons dari otoritas hanya sebatas mengganti direktur, sementara para manajer dan pejabat yang turut bertanggung jawab tetap duduk manis di kursi empuk mereka nyaman, aman, dan nyaris tak tersentuh.

Semua ini terjadi di bawah pengawasan Kejaksaan Negeri Lhokseumawe. Tapi entah mengapa, pengawasan itu seperti hanya basa-basi. Alih-alih perbaikan, RS Arun tampak seperti dibiarkan karam dalam lumpur masalah. Situasi ini menciptakan kesan kuat bahwa ada kekuatan besar yang melindungi aktor-aktor bermasalah di dalam tubuh rumah sakit ini. Apakah ini murni kelalaian? Ataukah sebuah skenario pembiaran terstruktur yang disengaja?

Dugaan keterlibatan elite politik pun tak bisa diabaikan. Ada suara-suara yang menyebut bahwa keberlanjutan posisi para pejabat RS Arun yang bermasalah adalah bagian dari transaksi kekuasaan, bagian dari “bagi-bagi kue” jabatan yang menjadi praktik jamak dalam politik lokal. Jika benar, maka RS Arun bukan lagi sekadar rumah sakit melainkan ladang basah yang dipanen bersama oleh aktor-aktor politik tanpa rasa malu.

Ini adalah pelecehan terhadap nilai-nilai pelayanan publik. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Dan yang lebih menyedihkan, ini adalah pengabaian terhadap etika, moral, dan keadilan yang seharusnya menjadi fondasi setiap institusi milik negara.

Kini, saatnya publik angkat suara. Saatnya penegak hukum memperlihatkan taringnya bukan hanya kepada mereka yang lemah, tetapi juga kepada yang berlindung di balik kekuasaan. RS Arun harus dibersihkan dari praktik kotor. Bukan hanya direktur yang diganti, tapi seluruh sistem yang korup harus dibongkar hingga ke akarnya.

Jika tidak, maka RS Arun akan terus menjadi “kuburan etika” tempat di mana kebenaran dikubur hidup-hidup, dan keadilan dipasung oleh kepentingan.

Penulis: Agussalim
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT