"

Kritik Atas Ketidakadilan Ekologis di Aceh Barat Daya


author photo

30 Apr 2025 - 13.30 WIB


Dalam beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan dengan keluhan warga Desa Padang Baru, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, yang menyampaikan protes keras terhadap aktivitas truk pengangkut bijih besi milik PT Juya Aceh Mining. Truk-truk tersebut melintas setiap hari di jalan utama desa untuk membawa hasil tambang dari wilayah Babahrot ke Pelabuhan Susoh, sebelum akhirnya dikirim ke Morowali, Sulawesi Tengah. Aktivitas ini telah memicu kerusakan lingkungan, pencemaran udara, serta penurunan kualitas hidup warga yang tinggal di sepanjang jalur lintasan truk.

Keluhan warga tidak hanya bersifat reaktif, melainkan telah disampaikan berulang kali kepada pihak terkait. Seperti yang dilansir dari berbagai media lokal—Bimcmedia.com, TheAcehPost.com, Sarannews.net, dan Krusial.com—warga menuturkan bahwa aktivitas hauling bijih besi ini menyebabkan debu pekat yang menyelimuti rumah mereka, mengotori dagangan, serta mengganggu kesehatan pernapasan. Keluhan-keluhan tersebut menyiratkan realitas tragis di mana keuntungan ekonomi dari aktivitas pertambangan justru dibayar mahal oleh warga dalam bentuk polusi dan penurunan kualitas hidup. 

Dari informasi yang dihimpun, truk-truk pengangkut bijih besi beroperasi dari pagi hingga malam hari, dengan intensitas yang cukup tinggi. Dalam satu hari, puluhan truk melintas tanpa henti, menimbulkan gumpalan debu yang beterbangan di sepanjang jalan desa. Warga mengaku, dalam sehari hanya dilakukan penyemprotan air sebanyak dua kali oleh pihak perusahaan. Namun, kondisi jalan yang cepat kering membuat upaya itu tidak efektif dalam menekan jumlah debu yang timbul. Akibatnya, warga harus melakukan penyemprotan mandiri di halaman rumah mereka demi mengurangi paparan langsung debu kepada keluarga mereka.

Dampak dari aktivitas yang dilakukan pengelola tambang sangat nyata terhadap penurunan kualitas hidup masyarakat Desa Padang Baru, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Warga mengalami gangguan pernapasan seperti sesak dan batuk, bukan hanya itu, keselamatan dalam berkendara juga sangat mengkhawatirkan mengingat truk-truk tersebut melintas di jalan masyarakat yang notabenenya kecil. Para pedagang mengalami penurunan omzet karena dagangan mereka dianggap kotor dan tak layak  konsumsi. 
Jika dikaji lebih dalam permasalahan yang terjadi di Abdya ini merupakan pola dari ketidakadilan ekologis yang lebih luas. Ketidakadilan ekologis terjadi ketika kelompok-kelompok tertentu, terutama masyarakat miskin dan terpinggirkan, harus menanggung dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi yang mereka sendiri tidak nikmati manfaatnya. PT. Juya Aceh Mining memperoleh keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam, sedangkan masyarakat harus menanggung beban lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.

Ketimpangan ini tidak hanya dibiarkan tetapi seolah-olah disahkan secara diam-diam oleh negara. Minimnya pengawasan terhadap pelaksanaan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), serta tidak adanya respon dari pemerintah daerah, dan tidak terkontrolnya operasional truk-truk ini. Semuanya mengindikasikan adanya pembiaran struktural yang memperkuat dominasi ekonomi atas keselamatan dan kesejahteraan hidup rakyat.

Negara seharusnya menjadi pelindung hak-hak dasar warga negara, termasuk atas hak lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana dijamin dalam pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Namun dalam praktiknya, negara kerap kali tunduk pada logika pasar dan investasi.

Negara seringkali berpihak pada pemodal besar dengan alasan pembangunan ini untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja. Namun,  retorika pembangunan tersebut menjadi kosong ketika rakyat di sekitar proyek justru mengalami penderitaan dan kemunduran kualitas hidup. Pertanyaan mendasarnya adalah Pembangunan ini untuk siapa?

Jika pembangunan yang diklaim demi kemajuan justru menyengsarakan rakyat, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan kemunduran yang dibungkus dengan narasi kemajuan.

Sebagai mahasiswa, penulis tidak bisa hanya bertindak diam, isu ini bukan hanya milik warga Desa Padang Baru, tetapi milik semua rakyat yang berhak atas kehidupan yang sehat dan layak. Mahasiswa harus mendorong transparansi pelaksanaan dan pengawasan AMDAL, mendesak evaluasi operasional perusahaan tambang, dan menuntut kebijakan perlindungan yang berpihak pada rakyat.

Apa yang terjadi di Aceh Barat Daya adalah refleksi kegagalan sistemik dalam mengelola pembangunan secara adil dan berkelanjutan. Ketika rakyat kecil harus menyiram jalan demi bertahan hidup, sementara perusahaan leluasa mengangkut kekayaan alam, maka jelas ada yang timpang dalam praktik kebijakan publik kita.

Penulis adalah: Amirudin
Bagikan:
KOMENTAR