Kebijakan Populis, Bukan Solusi Tuntas Problem Pendidikan


author photo

12 Mei 2025 - 21.31 WIB




Oleh: Dian Mutmainnah, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampis)

Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Presiden RI Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) untuk perbaikan pendidikan di negeri ini. Program tersebut adalah rehabilitasi sekolah, digitalisasi pendidikan, bantuan bagi guru honorer, serta bantuan dana pendidikan bagi guru.

Menariknya, Presiden Prabowo Subianto, menyoroti minimnya fasilitas pendidikan di sekolah saat memberikan sambutan dalam acara Peringatan Hari Pendidikan Nasional di SD Negeri Cimahpar 5, Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/5/2025). Prabowo menyebutkan sekolah di daerah kini hanya memiliki satu toilet untuk siswa sekaligus guru. Padahal, sekolah tersebut mendapatkan alokasi anggaran yang disebut tidak sedikit.

Tidak bisa dipungkiri selama ini realitanya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia menemui banyak masalah yang sangat memprihatinkan baik dari sisi sarana maupun prasarana. Banyak bangunan sekolah yang tidak layak karena mengalami kerusakan, banyak pula sekolah yang tidak memiliki fasilitas pendukung pendidikan, seperti perpustakaan.

Belum lagi ketersediaan laboratorium, ruang komputer, akses internet, dan musola. Bahkan, fasilitas urgen seperti toilet jumlahnya minim, banyak sekolah yang hanya memiliki satu toilet sebagaimana yang dikeluhkan Prabowo disalah satu sekolah tersebut. Pada faktanya banyak sekolah yang demikian baik di daerah perkotaan terlebih di pelosok.

Selain itu, permasalahan anggaran seperti Ketimpangan alokasi anggaran dan adanya kebocoran/korupsi berdampak pada gaji guru yang tidak layak termasuk gaji honorer yang rendah. guru dianggap sebagai pekerja dengan beban yang banyak jauh dari sejahtera dan berdampak pada buruknya bangunan sekolah. Hal ini sangat berpengaruh pada rendahnya kualitas anak didik yang dihasilkan. 

Para guru menghadapi kondisi dilematis ketika berhubungan dengan kebutuhan ekonomi dan rumitnya administrasi menjadi guru profesional. Tidak salah jika ada narasi, “Menjadi guru tidak mudah. Tugasnya serius, gajinya bercanda.” Kesenjangan kesejahteraan guru sangat tampak antara guru pegawai negeri dengan guru honorer, padahal mereka sama-sama memiliki tugas berat mendidik generasi. Apalagi bagi guru yang mengabdi di pelosok negeri, mereka kurang mendapatkan perhatian dari negara dan pemerintah setempat.

Semua itu adalah dampak kebijakan yang berlandaskan kapitalisme termasuk dalam bidang Pendidikan. Dalam sistem kapitalisme, dimana peran negara sangat sedikit, tidak akan mungkin membuat perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kapitalisasi pendidikan menyebabkan negara berlepas tangan dari penyelenggaraan pendidikan, mencukupkan apa yang sudah disediakan swasta. Sehingga sarana prasarana yang disediakan pun minimalis sesuai anggaran yang ada.

Belum lagi persoalan anggaran. Sistem ekonomi kapitalis membuat negara kesulitan menyediakan anggaran, bahkan menjadikan utang sebagai jalan untuk mendapatkan anggaran pembangunan padahal Indonesia begitu kaya dengan segala SDA. Tingginya korupsi dalam bidang pendikan makin membuat minimnya dana yang tersedia.

Adapun empat kebijakan PHTC yang digulirkan, program ini masih jauh panggang dari api. Misalnya pada program perbaikan sekolah, antara jumlah sekolah yang membutuhkan perbaikan dengan yang diperbaiki tidak seimbang. Sekolah yang masih antre untuk diperbaiki, besar kemungkinan tahun depan kerusakannya akan makin parah. Sedangkan jumlah sekolah yang mengalami kerusakan akan terus bertambah seiring dengan pemakaian gedung.

Adapun program bantuan untuk guru honorer masih jauh dari kriteria layak. Banyak guru yang mendapatkan gaji Rp300 ribu per bulan, dengan tambahan Rp300 ribu menjadi Rp600 ribu. Jumlah ini masih jauh dari mencukupi, apalagi jika guru tersebut menjadi tulang punggung keluarga belum lagi mereka yang hidup di rantau.

Kebijakan pemerintah tidak didesain untuk menyelesaikan masalah secara komprehensif sehingga benar-benar tuntas, tetapi hanya bersifat tambal sulam yang secara hitung-hitungan matematis saja memang tidak solutif. Kebijakan juga tidak ditujukan untuk menuntaskan masalah dari akarnya, tetapi hanya pencitraan demi memperoleh apresiasi dan dukungan dari rakyat di tengah kubangan masalah yang demikian dalam sehingga rawan menurunkan kepercayaan masyarakat.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok rakyat yang wajib dijamin oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Negara harus memastikan bahwa hak ini benar-benar terpenuhi di seluruh penjuru negeri. Sementara itu, infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan adalah kewajiban negara sebagai penyelenggara sehingga negara juga memastikan bahwa di setiap wilayah negeri terdapat sarana dan prasarana yang memadai agar hak pendidikan setiap anak dapat terpenuhi dengan baik.

Dalam Islam, negara sangat memperhatikan sektor pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi dan dinikmati setiap anak. Ini karena pendidikan adalah bidang strategis yang akan berpengaruh terhadap kejayaan bangsa dan negara. Sangat wajar pada masa peradaban Islam jejak pendidikan Islam sangat mentereng dan diakui sebagai pendidikan terbaik di pentas global.

Negara tidak boleh berlepas tangan dalam urusan pendidikan. Dalam sistem Islam yang kaffah, guru diposisikan sebagai sosok mulia yang sangat dihormati. Mereka mendapatkan penghidupan yang layak, baik dari sisi gaji, fasilitas, maupun perlindungan sosial. Negara wajib menyediakan anggaran besar untuk pendidikan, tanpa bergantung pada utang luar negeri atau swasta. Seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan gratis, berkualitas, dan merata.

Islam juga memiliki sistem pengelolaan sumber daya yang adil dan efektif. Sumber-sumber kekayaan alam (seperti tambang, hutan, dan energi) dikelola negara untuk kepentingan rakyat, termasuk membiayai sektor pendidikan. Tidak ada swastanisasi sektor vital. Tidak ada anggaran “bocor” karena sistem Islam mencegah korupsi dengan akidah, hukuman yang tegas, serta pemimpin yang bertakwa.

Dalam konteks manajemen guru, Islam menjamin kesejahteraan mereka sejak awal, bukan hanya ketika mereka tua. Rasulullah ﷺ bahkan memberikan gaji bagi para pengajar Al-Qur’an sejak masa awal Islam. Dalam Khilafah Islam, para guru mendapatkan posisi terhormat sehingga mereka bisa fokus mendidik tanpa harus berpikir tentang makan besok.

Negara menyediakan sarana dan fasilitas penunjang pendidikan secara merata, semisal perpustakaan, laboratorium, gedung sekolah, dan kampus. Dengan fasilitas memadai, setiap peserta didik dapat melakukan pembelajaran dengan baik serta memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik, kimia serta penemuan, inovasi, dan lain-lain sehingga di tengah umat lahir sekelompok mujtahid, penemu, dan inovator.

Islam menetapkan pembiayaan pendidikan diberikan secara gratis. Pembiayaan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi ditanggung negara melalui pengelolaan baitulmal. Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum), yaitu SDA, termasuk pertambangan, dapat diambil untuk membiayai sektor pendidikan.

Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, kewajiban pembiayaan tersebut dibebankan kepada kaum muslim hingga terpenuhi. Ini karena hak mendapatkan layanan pendidikan tidak ditentukan berdasarkan ada tidaknya harta, tetapi kewajiban negara atas kemaslahatan yang harus dipenuhinya kepada rakyat (Disarikan dari kitab Nizham al-Iqtishadiy fil Islam hlm. 537—538yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah

Oleh sebab itu, sudah saatnya kita beralih pada sistem alternatif yang terbukti adil, mulia, dan seimbang, yakni sistem Islam kafah. Islam tidak hanya menawarkan solusi spiritual, tetapi juga sistemis dan menyeluruh. Saatnya pendidikan dikelola dengan paradigma ibadah dan pelayanan, bukan komoditas dan investasi.

Kita boleh berharap pada perubahan regulasi, tetapi selama sistem kapitalisme masih bercokol, perubahan itu akan bersifat tambal sulam. Sementara itu, Islam menawarkan solusi dari akarnya. Ini bukan mimpi, melainkan keniscayaan jika umat menyadari dan bergerak bersama untuk menerapkan Islam secara kaffah. 

Wallahu'alam bishawab.
Bagikan:
KOMENTAR