Oleh: Cindy Chantika, S.Si (Aktivis Dakwah Kampus)
Kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan kerap menghantui para generasi muda. Ini karena Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP).
Menurut Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2023 (9,13 tahun), capaian ini baru sedikit melampaui target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang ditetapkan sebesar 9,18 tahun.
Bukan hanya itu, Berdasarkan data yang dihimpun tahun 2024, mayoritas penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun memiliki ijazah SMA atau sederajat sekitar 30,85 persen. Sementara itu, hanya 10,2 persen dari penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi.
Lebih mirisnya lagi beberapa wilayah di Indonesia mengalami ketimpangan pendidikan seperti terlihat di DKI Jakarta yang paling tinggi, rata-rata lama sekolahnya adalah 11,5 tahun, artinya ini SMA belum lulus.
Sementara, rata-rata yang paling rendah ada di Provinsi Papua Pegunungan hanya mencapai 5,1 tahun atau jenjang SD saja tidak lulus.
Sungguh buram potret pendidikan saat ini bukan?
Masalah pendidikan ini, pemerintah berupaya Untuk memberikan pelayanan pendidikan yang merata dengan menjalankan program pendukung, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah, perluasan akses perguruan tinggi negeri, bantuan sosial, penguatan pendidikan vokasi, sekolah gratis, sekolah rakyat, dan sebagainya. Meski demikian, upaya tersebut belum bisa mengatasi kesenjangan dan ketimpangan pendidikan di negeri ini.
Beberapa alasan mengapa kesenjangan pendidikan belum teratasi dengan baik, dimulai dari ekonomi masyarakat yang sulit Tidak bisa dimungkiri, kemiskinan merupakan salah satu faktor penghalang bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Ada yang putus sekolah karena tidak sanggup menanggung biaya pendidikan yang kian mahal. Ada pula yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya karena ingin fokus membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
keterbatasan akses pendidikan juga menambah hal ini, karena infrastruktur publik yang tidak memadai. Kondisi ini biasanya dialami sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal. Sudah banyak kita saksikan kisah-kisah miris anak-anak pedalaman atau terpencil yang harus menyeberangi jembatan tali dan mengarungi derasnya aliran sungai hanya untuk bersekolah. Kadang kala mereka juga harus berdamai dengan jalan-jalan rusak dan kendaraan yang tidak layak agar bisa sekolah. Keadaan dan medan yang sulit inilah yang kerap menjadi alasan anak-anak tidak lagi melanjutkan sekolah.
Sarana dan fasilitas pendidikan juga yang tidak layak. Kemendikdasmen beberapa waktu lalu berencana akan merenovasi kurang lebih 10.000 sekolah rusak di seluruh Indonesia. Data BPS 2024 menyebut hampir 49% bangunan sekolah dasar mengalami kerusakan. Kondisi sekolah rusak, atap berlubang, serta ruang kelas dengan meja dan kursi yang jauh dari kata layak kerap mewarnai berita pendidikan dari tahun ke tahun. Ini baru bangunan fisik dasar sekolah, belum lagi kita bicara fasilitas penunjang lainnya seperti laboratorium, internet, ruang komputer, dan lainnya.
Berbagai faktor keterbatasan yang melatarbelakangi kesenjangan pendidikan saat ini tidak terlepas dari sistem pendidikan kapitalistik yang menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas sehingga akses pendidikan bergantung pada keadaan ekonomi. Tidak salah jika muncul narasi “Pendidikan ibarat barang mahal. Orang miskin dilarang sekolah.”
Ketimpangan akses pendidikan ini memunculkan kesenjangan nyata. Sebagai contoh, jika ingin mendapat fasilitas bagus dan memadai, harus bersekolah di sekolah yang berbiaya mahal. Namun, jika ingin mendapat akses dan layanan sekolah gratis, maka harus siap menerima fasilitas seadanya.
Yah begitulah ceritanya!
Justru hal ini sangat bertolak belakang ketika Islam mengatur sektor pendidikan
Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan dasar sehingga menjadi hak setiap warga negara. Pandangan ini berangkat dari kesadaran akidah dan ketaatan terhadap perintah menuntut ilmu.
Negara harus memenuhi kebutuhan tersebut dengan pelayanan yang maksimal. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”
Infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan memang kewajiban negara sebagai penyelenggara sehingga negara juga memastikan bahwa di setiap wilayah negeri terdapat sarana dan prasarana yang memadai agar hak pendidikan setiap anak dapat terpenuhi dengan baik.
Inilah alasan negara islam sangat memperhatikan sektor pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi dan dinikmati setiap anak. Ini karena pendidikan adalah gerbong utama lahirnya peradaban unggul. Sangat wajar pada masa peradaban Islam jejak pendidikan Islam sangat mentereng dan diakui sebagai pendidikan terbaik di pentas global.
Layanan pendidikan bisa terselenggara gratis berkat penerapan sistem ekonomi Islam yang mengelola berbagai sumber pemasukan negara seperti fai dan kharaj, usyur, ganimah, jizyah, dan harta kepemilikan umum di baitulmal sehingga bisa menyediakan anggaran yang besar untuk menyediakan berbagai sarana prasarana pendidikan.
Negara juga memotivasi kaum muslim yang kaya agar menginfakkan hartanya untuk keperluan pendidikan. Jika dana baitulmal dan infak kaum muslim tidak cukup, sedangkan ada kebutuhan yang urgen untuk pendidikan, misalnya membayar gaji pengajar, negara akan memungut pajak (dharibah) secara temporer (sementara) dari warga muslim laki-laki yang kaya untuk menutup kebutuhan dana. Dengan demikian, selalu ada dana untuk kebutuhan pendidikan.
Pengaturan dalam negara islam telah terbukti berhasil mewujudkan pendidikan gratis berkualitas terbaik sepanjang masa peradaban Islam. Misalnya yang terwujud dalam Khilafah Utsmaniyah. Ergin Osman, dalam bukunya Sejarah Pendidikan Turki (1977) menulis betapa pentingnya mendidik semua tingkatan masyarakat bagi pemerintahan Utsmaniyah. Sultan Muhammad al-Fatih menyediakan pendanaan khusus bagi sekolah sehingga bisa memastikan bahwa tidak ada individu yang terselip dari jaring untuk mendapatkan hak pendidikan. Sultan menetapkan protokol khusus untuk pendidikan dasar, yaitu bebas biaya. Uang saku harian, baju, kemeja, celana, sabuk, sepatu, dan topi didistribusikan pada semua anak. Mereka juga diberi makanan dan perjalanan liburan setiap tahun sekali (Media Umat, 25-8-2020).
negara juga akan membangun infrastruktur publik yang merata di seluruh wilayah hingga ke pelosok negeri. Jika infrastruktur publik sudah tersedia dan memadai, tidak akan ada kisah sedih anak-anak sekolah menyeberang sungai deras dengan seutas tali panjang sebagai jembatan mereka.
Sepanjang masa kepemimpinan negara islam, para khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang diperlukan. Pada setiap sekolah tinggi dilengkapi dengan fasilitas memadai seperti auditorium, gedung pertemuan, asrama mahasiswa, perumahan dosen dan ulama, dan sebagainya. Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, dan ruang makan, bahkan taman rekreasi.
Beginilah potret pendidikan seharusnya yang layak diterapkan di dunia.
Wallahu alam Bishowab