Keanehan ini mendorong wartawan untuk menelusuri kebenaran dokumen yang beredar. Saat dihubungi, pimpinan PKBM Tunas Harapan dengan tegas menyatakan:
“Itu ijazah dikeluarkan oleh PKBM Budi, bukan dari PKBM Tunas Harapan,” ujarnya kepada media ini melalui sambungan WhatsApp.
Lebih lanjut ia membeberkan fakta mengejutkan pada 2019, hanya PKBM Tunas Harapan yang memiliki akreditasi, sehingga namanya dicatut di ijazah yang diterbitkan PKBM Budi. Menurutnya, hal ini terjadi atas mekanisme yang, katanya, “disetujui” pihak Dinas Pendidikan PK Aceh Utara.
“Memang waktu itu nama PKBM kami dipakai. Soal mekanismenya, saya sendiri tidak tahu detail. Pernah ada orang dari luar Aceh datang bertanya ke sini, tapi saya minta mereka langsung hubungi PKBM Budi,” ungkapnya.
Pertanyaannya kini kian tajam
Bagaimana mungkin lembaga non-akreditasi meminjam nama lembaga lain untuk menerbitkan ijazah resmi?
Apakah praktik pinjam nama seperti ini legal?
Mengapa Dinas Pendidikan seolah membiarkan praktik yang berpotensi melahirkan ijazah abal-abal?
Dan yang paling mencengangkan bagaimana nasib ijazah yang kini mengantarkan penerimanya duduk di kursi parlemen?
Kasus ini pernah mencuat beberapa tahun lalu, namun kembali tenggelam tanpa kejelasan. Kini, publik menuntut transparansi. Apakah ini sekadar kelalaian administratif atau justru permainan gelap di balik layar pendidikan non-formal?
Skandal ini mengendap bak api dalam sekam. Dan sampai hari ini, satu hal yang jelas ada nama yang dicatut, ada mekanisme yang janggal, dan ada pejabat publik yang menikmati hasilnya.(A1)
