Gedung Maut Pondok Pesantren, Jaminan Fasilitas Pendidikan Dipertanyakan


author photo

9 Okt 2025 - 12.08 WIB




Oleh : Juliana Najma (Pegiat Literasi)

Gedung lantai 4 pondok pesantren (Ponpes) Al Khaziny di Buduran, Sidoarjo, ambruk, Senin (29/9) saat santri sedang melaksanakan sholat ashar berjamaah di lantai 2. Bangunan tersebut runtuh hingga ke lantai dasar akibat pondasi dan struktur atap yang diduga tidak kuat menahan beban cor-coran yang saat itu sedang dalam tahap pengerjaan pembangunan.

Proses evakuasi masih terus berlangsung. Hingga Minggu, (05/10) 60 persen lebih reruntuhan dan puing bangunan sudah berhasil diangkat dan dibersihkan. Tim BNPB melaporkan terdapat sekitar 170-an korban, 67 orang diantaranya meninggal dunia (07/10/2025).

Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen TNI Budi Irawan mengatakan, diduga masih ada korban yang tertimbun reruntuhan. Meski demikian, data tersebut belum valid sampai seluruh proses evakuasi bangunan rata dengan tanah. “Nanti akan terbukti akurat apabila seluruh pembersihan telah selesai dan mencapai titik tanah lantai dasar sebagai akhir dari pencarian kita,” jelas Budi, dikutip dari detikNews, (05/10/2025).

Ponpes Dipandang sebagai Anak Tiri dalam Sistem Pendidikan Nasional?

Menteri agama RI, Nasaruddin Umar yang juga turut hadir di lokasi evakuasi menegaskan Kementerian Agama (Kemenag) akan mengevaluasi kelayakan semua bangunan ponpes dan rumah ibadah, agar peristiwa serupa tidak terjadi di tempat lain. Pasalnya kasus Sidoarjo ini bukanlah yang pertama, sebelumnya berbagai laporan tentang tidak layaknya bangun ponpes juga bermunculan dari sejumlah daerah. Seperti ambruknya tembok bak penampungan air di Ponpes Darussalam, Gontor, Magelang dan menimpa santri. Empat orang dilaporkan meninggal dunia, sementara belasan lainnya luka-luka. 

Menurut data Kemenag, terdapat lebih dari 42 ribu pesantren di Indonesia, tetapi alokasi bantuan sarana dan prasarana sangat terbatas. Basnang Said, Direktur Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag mengungkapkan, “tahun ini saja tidak sampai 100 pesantren yang mendapatkannya”, dia mengakui keterbatasan anggaran membatasi ruang gerak lembaganya.

Sekali tiga uang dengan Basnang Said, Muhammad Arrofiq, Ketua Yayasan ponpes Mazro’atul Ulum, Purworejo, juga menuturkan, “Bantuan pemerintah ada, tapi itu tidak semua pondok pesantren bisa mengakses dan tidak bisa menutupi semua kebutuhan juga.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, dana bantuan pemerintahan biasanya berupa hibah yang sifatnya stimulan. Belum lagi, persaingan mengkases bantuan pemerintahpun menjadi tantangan tersendiri.

Keterbatasan anggaran ini membuat mayoritas ponpes bergantung pada dana swadaya yang umumnya bersumber dari wali santri, donatur, dan para pengasuh. Center Indonesian Policy Studies (CIPS), Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya mampu menutup sekitar 7 persen kebutuhan anggaran ponpes. Lebih dari 90 persen sisanya bergantung pada dana swadaya. Minimnya sokongan negara yang membuat Ubaid Matraji, Koordinator Jaringan dan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI), menilai pesantren sebagai sekolah swasta kerap diperlakukan sebagai anak tiri dalam sistem pendidikan nasional.

Pesantren besar biasanya masih bisa mengandalkan iuran lebih tinggi dari wali santri. Sebaliknya, pesantren kecil kerap enggan membebani orang tua sehingga bergantung pada infak, jariyah, atau bantuan sporadis dari donatur. Kondisi ini akhirnya menciptakan kesenjangan dan menempatkan pendidikan sebagai komoditas komersil. 

Tidak hanya sampai disitu, minimnya pengawasan negara terhadap standar bangunan pesantren juga menjadi masalah lain yang dihadapi santri di ponpes. Meskipun pemerintah telah membuat regulasi dalam UU No. 28 Tahun 2002 dan PP No. 36 Tahun 2005, namun penerapannya di lapangan sering jauh berbeda. Agaknya standar yang diberikan tetap bergantung pada sumber pendanaan yang tersedia. Kondisi ini kian menunjukkan bahwa di dalam sistem saat ini hak dasar santri atas ruang belajar yang aman dan nyaman bukanlah prioritas negara. 

Fasilitas Pendidikan dalam Sistem Islam

Islam memiliki tujuan politik di bidang pendidikan yaitu memelihara akal manusia sebagai mana yang dijelaskan di dalam Al-Quran surah Az-Zumar ayat 9, “….apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.”

Islam juga memandang pendidikan sebagai wasilah mendapatkan ilmu. Dengan ilmu manusia akan terhindar dari kebodohan, dengan ilmu pula manusia dapat melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia. 

Berdasarkan pandangan Islam yg khas terhadap pendidikan inilah, sistem Islam melalui negara memberikan perhatian dan tanggung jawab yang serius terhadap pendidikan. Hal ini langsung dicontohkan oleh Rasulullah, pada saat menjabat sebagai kepala negara Islam di Madinah. Para tahanan pada perang Badar diminta untuk mengajari kaum muslimin baca tulis sebagai tebusan mereka. Tindakan ini bukan semata dari kebaikan beliau secara personal. Namun, mengandung makna politis adanya prioritas negara dalam memerhatikan pendidikan.

Pendidikan di dalam sistem Islam dipandang sebagai kebutuhan dasar publik bukan barang komersil apalagi kebutuhan tersier. Dalam sistem Islam semua manusia diwajibkan menjadi orang yang berilmu. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Muqadimmah Dustur pasal 173, “negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.”

Untuk mewujudkan sistem pendidikan yang disebutkan di atas, tentu diperlukan dukungan dana yang besar. Sehingga sistem pendidikan Islam akan didukung oleh sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam sumber keuangan negara berpusat pada sistem Baitul Mal. Baitul Mal ini memiliki tiga pos pendapatan : pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Masing-masing pos memiliki sumber dana dan alokasi dananya masing-masing.

Adapun untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, negara dapat mengalokasikan dana dari pos kepemilikan umum untuk biaya sarana dan prasarana pendidikan. Sehingga negara bisa membangun gedung kampus, berikut perpustakaan, laboratorium, aula, klinik, asrama siswa, dan fasilitas pendidikan yang lainnya. Bahkan negara juga bisa memberi beasiswa tanpa syarat, baik dari keluarga miskin atau kaya, berprestasi atau biasa saja, semua akan mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan gratis. 

Sumber pendanaan yang kokoh dan stabil dalam baitul mal jelas akan mampu menunjang independensi pendidikan agar sesuai syariat islam. Mekanisme ini terbukti telah mampu melahirkan orang-orang yang berilmu dengan kepribadian Islam. Sejarah mencatat sepanjang sistem Islam diterapkan selama 1300 tahun (622M-1924M), banyak sekali lahir ilmuwan-ilmuwan, para pemikir, para ulama, para politikus, yang bekerja siang malam membangun kapasitas keilmuan untuk umat. Bukankah pendidikan seperti ini yang sangat umat idam-idamkan sekarang? Wallahu’alam bishawab.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT