Ngeri, Kohabitasi Berujung Mutilasi


author photo

7 Okt 2025 - 10.38 WIB



Oleh: dr. Hj.Sulistiawati, MAP

Trend yang merusak generasi
Kasus pembunuhan di sertai mutilasi terjadi pada Minggu (31/8) sekitar pukul 02.00 WIB di sebuah rumah indekos di RT 01/ RW 01 Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya Jawa Timur. Pelaku dan korban Alvi dan TAS telah berpacaran selama 5 tahun dan tinggal bersama di rumah tersebut . Sebelumnya potongan jenazah korban dibuang di kawasan Pacet, Mojokerto. potongan-potongan tubuh korban tersebar di jurang jalur Mojokerto-Batu. Untuk menghilangkan jejak, pelaku sengaja membuangnya ke jurang dengan cara disebarkan. Pelakunya adalah pacarnya sendiri yang telah hidup bersama layaknya suami istri,  karena alasan kesal tidak dibukakan pintu kos dan kesal karena tuntutan ekonomi dari korban. https://news.detik.com/berita/d-8101159/kronologi-alvi-mutilasi-pacar-hingga-ratusan-potong-sempat-cekcok.,

Kisah mutilasi ini tentu bukan hanya satu tapi masih banyak lagi kasus yang serupa, menyisakan catatan fakta bahwa tren kehidupan bebas generasi muda, yaitu living together atau kohabitasi atau kumpul kebo di mana  tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan, kini semakin banyak menjadi opsi yang dipilih oleh generasi muda. Alasannya beragam diantaranya ingin lebih mengenal pasangan sebelum resmi menikah, tingginya biaya pernikahan, ebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius, hingga pertimbangan praktis seperti efisiensi biaya hidup.

Tren kohabitasi

Praktik kohabitasi atau living together atau  dulu masyarakat kenal dengan kumpul “kebo”telah  menjadi fenomena demografi yang semakin umum terjadi di kota-kota besar di Indonesia, merupakan kondisi ketika pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.

Generasi muda mulai mengalami pergeseran pandangan terhadap relasi dan pernikahan. Seiring perubahan zaman, pernikahan dianggap sebagai institusi normatif dengan regulasi yang kompleks. Di sisi lain, mereka melihat kohabitasi sebagai hubungan yang murni, refleksi dari cinta dan daya tarik mutualisme. Dalam teorinya tentang “Second Demographic Transition” (SDT), Ron Lesthaeghe, profesor demografi dan sains sosial dari Belgia, mengajukan pandangan bahwa pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai bentuk persatuan konvensional yang berdasar pada norma dan nilai sosial. Sebagai gantinya, kohabitasi kini menjadi bentuk baru pembentukan keluarga.

Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh The Conversation Indonesia, Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan temuan menarik dari hasil analisisnya terhadap data Pendataan Keluarga 2021 (PK 2021) yang dikeluarkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Berdasarkan data tersebut, ia menemukan bahwa sekitar 0,6 persen penduduk di Kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan praktik kohabitasi. Dari populasi pasangan kohabitasi yang tercatat, 1,9 persen diantaranya sedang hamil saat survei dilakukan, sementara 24,3 persen yang melakukan praktik ini ditemukan berusia di bawah 30 tahun. Tak hanya itu, sebagian besar (83,7 persen) memiliki tingkat pendidikan SMA atau lebih rendah, dengan 11,6 persen tidak memiliki pekerjaan dan 53,5 persen lainnya bekerja di sektor informal.

Lebih lanjut, berdasarkan data PK 21, pasangan yang menjalani kohabitasi juga cenderung menghadapi berbagai konflik dalam hubungan mereka. Sebanyak 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62 persen mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pergeseran nilai dan norma sosial

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengamati bahwa praktik kohabitasi kini semakin lazim terjadi di wilayah perkotaan, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Ia mengaitkan fenomena tersebut dengan adanya pergeseran nilai dan norma sosial, di mana pernikahan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan mutlak.

Fenomena kohabitasi juga mencerminkan pengaruh global yang semakin dominan. Menurut beliau bahwa budaya Barat, yang lebih permisif terhadap relasi di luar pernikahan, ikut mempengaruhi cara pandang generasi muda Indonesia. Inilah yang kemudian perlahan diadopsi oleh sebagian masyarakat terutama di wilayah perkotaan yang memiliki kemudahan akses informasi baik melalui media global ataupun bersinggungan langsung dengan kultur luar.

Sementara Peneliti Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menyebut pasangan yang memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis dan sosial yang saling terkait. Secara psikologis, kohabitasi dilihat sebagai cara untuk menguji kecocokan sebelum menikah, memenuhi kebutuhan akan kedekatan emosional, atau menghindari tekanan pernikahan. Sedanngkan  dari sisi sosial, tingginya biaya pernikahan, ketidakstabilan ekonomi, serta pengaruh nilai-nilai individualistik dan egaliter—khususnya di kalangan generasi muda perkotaan—mendorong kohabitasi sebagai pilihan yang dianggap lebih realistis.

Ia menambahkan, dalam masyarakat yang masih memegang nilai tradisional seperti Indonesia, pasangan kohabitasi juga bisa menghadapi tekanan sosial, stigma, dan konflik dengan keluarga, yang berdampak pada kesehatan mental. Ketiadaan perlindungan hukum juga membuat pelaku kohabitasi lebih rentan terhadap kerugian emosional dan ekonomi jika hubungan berakhir secara tidak baik.

Liberalisasi pergaulan

Kohabitasi atau kumpul kebo marak dilakukan generasi muda dan menjadi gaya hidup kekinian, yang lahir dari gaya hidup sekuler liberal demi kesenangan sesaat bersama pasangan tidak halal. Yang penting senang, yang penting keinginan biologis terpenuhi. Mereka tidak lagi peduli halal haram. pasangan-pasangan ini hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sah bahkan sampai bertahun-tahun. Tak lagi mengindahkan norma masyarakat maupun syariat (Islam). 

Faktor ekonomi juga berperan. Demi mendapatkan materi, misal tempat tinggal, barang branded dan kekinian, gadget, dan aneka gaya hidup lainnya, sebagian generasi muda  rela melepaskan kehormatannya dengan hidup bersama pacarnya. Sekularisme menjadikan mereka jauh dari aturan agama yang shahih, tidak takut dosa besar dan azab dari Allah Taala hingga nekat melakukan zina.

Kerusakan ini diperparah oleh masyarakat yang kian individualis. Setiap orang sibuk dengan kepentingannya sendiri, acuh tak acuh pada masalah orang lain. Pacaran seolah-olah sudah menjadi hal lumrah urusan individu. Tak jarang muncul anggapan, dosa ditanggung masing-masing, jadi tidak perlu mengurusi dosa orang lain. Akibatnya, amar makruf nahi mungkar tidak berjalan semestinya. Kemaksiatan pun kian subur, karena tidak ada yang menegur dan menasihati. Apalagi pada beberapa kasus,  ada warga masyarakat  beramar makruf nahi mungkar justru dipidanakan. Sedangkan pelaku maksiat malah bebas. Kondisi ini menyebabkan kohabitasi makin marak.

Negara sekuler liberal

Dalam konteks hukum Indonesia, kohabitasi menjadi tindak pidana dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) melalui Pasal 412. Tetapi, Undang-Undang KUHP ini sama sekali tidak menjerat pelaku kumpul kebo, kecuali jika pihak yang mengadukan adalah orang yang paling terdampak, yaitu orang tua, anak, istri, dan suami.

Pengaturan media sangat longgar sehingga pornografi tersebar luas tanpa negara berusaha untuk melarangnya. Media-media baik audiovisual misal music, film dan drama atau cetak justru mempromosikan zina.. Promosi zina ini justru mendapat perlindungan dari negara atas nama hak asasi manusia (HAM) dan karya seni. Media juga mempertontonkan konten kekerasan. Tidak hanya film kekerasan bagi orang dewasa, konten kekerasan juga masuk di gim daring untuk anak-anak.

Pada aspek preventif, negara juga gagal menyiapkan generasi yang bertakwa. Arah dan kurikulum pendidikan makin sekuler sehingga hasilnya adalah generasi sekuler. Meski ada pendidikan agama di sekolah, tapi durasinya makin minim dan materinya makin moderat, jauh dari gambaran Islam kafah yang Rasulullah saw. perintahkan. Akibatnya, pendidikan gagal menyiapkan benteng kepribadian bagi anak sebagai perisai dari gempuran pemikiran sekuler yang rusak, zina merajalela. Perzinaan justru menjadi bisnis yang mendatangkan keuntungan. Praktik prostitusi, online maupun offline, marak. Istilah ani-ani digunakan, seolah-olah lebih halus, elegan, dan terhormat daripada simpanan. Ini merupakan bentuk dukungan pada praktik zina.

Sementara itu, dakwah Islam kafah yang menyasar generasi muda dilarang dan dituduh sebagai gerakan radikal. Aktivisnya dikriminalisasi dan jemaahnya diberangus. Lantas, siapa lagi yang akan amar makruf nahi mungkar terhadap kemaksiatan? Jadilah pergaulan generasi makin liberal.

Sistem Islam Menghapus Zina.

Islam bukan hanya sekedar agama tapi juga system sosial yang paripurna. System ini akan tegak ddengan pilar ketawaan individu sebagai benteng awal bagi seseorang agar mampu bertindak sesuai tujuan penciptaan. Seseorang akan menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Islam seperti pacaran dan membunuh. Pilar kedua Adalah kontrol masyarakat terhadap pergaulan bebas, aktif mengingatkan dan mencegah kemungkaran. Masyarakat juga disuasanakan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar sehingga tidak sampai terjadi aktivitas kumpul kebo/kohabitasi.

Pilar terpenting Adalah Negara harus menerapkan sistem Islam secara kafah. Negara berperan aktif membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, menerapkan sistem pergaulan Islam, serta melaksanakan sistem sanksi Islam pada pelaku jarimah (pelanggaran terhadap hukum syariat). 

Negara dalam sistem Islam berperan sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Imam (kepala negara) itu laksana penggembala dan ia penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.”(HR Bukhari).

Juga sabda beliau saw.,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alaih dll.)

Khilafah juga akan menerapkan sistem pergaulan Islam yang meliputi kewajiban menutup aurat bagi laki-laki maupun perempuan, larangan mendekati zina, larangan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan nonmahram), larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dengan perempuan nonmahram), dan larangan zina. Islam memposisikan zina sebagai hal yang haram, bahkan pelakunya akan mendapatkan dosa besar. Allah Taala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا ٣٢
“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.”(QS Al-Isra’ [17]: 32).
Qadi hisbah akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan syariat ini. 
firman Allah Taala,
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍۖ وَّلَا
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali.” (QS An-Nur [24]: 2).

Juga hadis sabda Rasulullah saw. dari ‘Ubadah bin ash-Shamit,
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
“Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera seratus kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera seratus kali dan rajam.” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dengan penerapan syariat Islam kaffah oleh negara Khilafah, masyarakat akan tercegah dari berbuat maksiat (termasuk zina)  dan terlindungi dari kejahatan (termasuk pembunuhan). Nyawa manusia dan kehormatan perempuan akan terjaga dalam sistem Islam. Wallahualam bissawab.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT