Oleh : Hikmah Abdul Rahim, S.Pd.
(Aktivis Dakwah Kampus)
Laporan World Bank East Asia and the Pacific Economic Update – October 2025 menunjukkan bahwa di kawasan Asia Timur dan Pasifik, generasi muda menghadapi tantangan besar untuk memasuki dunia kerja. Di Indonesia dan China, sekitar satu dari setiap tujuh anak muda tercatat sebagai pengangguran (finance.detik.com, 2025). Salah satu penyebab utama yang dikemukakan adalah tingginya proporsi pekerjaan di sektor informal dan rendahnya produktivitas tenaga kerja. Kondisi ini menyebabkan kaum muda tetap kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak dan berkelanjutan, meskipun secara agregat tingkat partisipasi kerja terlihat cukup tinggi (kumparan.com, 2025).
Program pemerintah Indonesia kemudian mencoba menjawab persoalan tersebut melalui peluncuran Program Magang Nasional bagi fresh graduate, yang resmi dibuka pada Oktober 2025. Program ini menawarkan skema magang berbayar selama enam bulan dengan upah setara Upah Minimum Regional (UMR), dan diikuti oleh ratusan ribu pendaftar dalam waktu singkat (detik.com, 2025). Namun, sejumlah pakar mengingatkan bahwa meskipun magang ini “berbayar”, terdapat potensi eksploitasi tenaga kerja muda karena minimnya daya tawar bagi lulusan baru. Mereka menegaskan bahwa keikutsertaan dalam program tersebut tidak boleh berhenti pada sekadar memperoleh pengalaman kerja, tetapi harus memastikan keberlanjutan dan perlindungan bagi peserta agar tidak menjadi tenaga kerja murah bagi korporasi (detik.com, 2025).
Krisis Kerja, Krisis Sistem
Satu dari tujuh anak muda di China dan Indonesia kini menganggur. Fakta yang disampaikan dalam World Bank East Asia and The Pacific Economic Update October 2025: Jobs ini bukan sekadar angka statistik, ia adalah potret kegagalan mendasar sistem ekonomi global dalam menjamin hak dasar manusia untuk bekerja dan hidup layak.
Ironisnya, di tengah realitas suram tersebut, pemerintah justru mengeluarkan program “magang berbayar” bagi fresh graduate. Program ini dipromosikan sebagai solusi untuk mengurangi angka pengangguran dan memberikan pengalaman kerja bagi lulusan baru. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan. Ia justru memperlihatkan wajah muram politik ekonomi kapitalisme sistem yang melahirkan kesenjangan, memfasilitasi akumulasi kekayaan pada segelintir elit, dan menempatkan rakyat sebagai roda produksi murah bagi kepentingan pasar.
---
Kapitalisme dan Macetnya Sirkulasi Harta
Pengangguran massal di negeri dengan sumber daya alam melimpah seperti Indonesia bukanlah karena kurangnya potensi ekonomi, melainkan karena kekeliruan paradigma dalam pengelolaan harta. Kapitalisme menempatkan kepemilikan individu di atas segalanya. Harta boleh dikuasai, diprivatisasi, dan dieksploitasi tanpa batas selama memenuhi logika pasar. Akibatnya, kekayaan nasional terkonsentrasi pada tangan segelintir korporasi dan elite politik-ekonomi yang menjadi pelayan kepentingan modal global.
Sementara itu, rakyat kebanyakan hanya menjadi tenaga kerja berupah rendah, buruh kontrak, atau lebih parah lagi pengangguran yang harus bersaing dalam pasar kerja yang semakin sempit. Ketika aktivitas ekonomi macet dan daya beli masyarakat menurun, kapitalisme menjawabnya bukan dengan distribusi kekayaan, tetapi dengan menciptakan “pasar tenaga kerja murah” melalui program seperti magang berbayar.
Inilah ironi sistem kapitalistik: ketika roda ekonomi berhenti berputar, rakyat dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang menyengsarakan mereka. Program magang berbayar hanyalah bentuk “tambal sulam” yang sekilas terlihat solutif, tetapi sebenarnya memperkuat struktur ketimpangan yang ada.
---
Politik Ekonomi Islam: Jalan Distribusi Harta yang Adil
Berbeda dengan kapitalisme yang bertumpu pada akumulasi modal, politik ekonomi Islam bertumpu pada asas distribusi harta yang merata kepada seluruh rakyat. Tujuan utamanya bukan pertumbuhan angka, melainkan pemerataan kesejahteraan yang hakiki. Dalam pandangan Islam, pengangguran bukan sekadar masalah sosial, melainkan tanggung jawab negara untuk diselesaikan.
Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh konkret bagaimana negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki balig agar mampu menafkahi dirinya dan keluarganya. Dalam Islam, bekerja adalah kewajiban moral sekaligus hak ekonomi. Negara bukan hanya “fasilitator”, tetapi juga “penjamin” terpenuhinya hak tersebut.
---
Tiga Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam
Untuk menegakkan distribusi yang adil, Islam membangun sistem ekonomi berdasarkan tiga jenis kepemilikan:
1. Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah)
Individu berhak memiliki harta melalui usaha yang halal seperti bekerja, berdagang, atau mewarisi. Namun, kepemilikan ini tidak absolut. Penggunaannya dibatasi agar tidak menimbulkan kerusakan sosial maupun lingkungan.
2. Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘āmmah)
Inilah konsep yang tidak dikenal dalam kapitalisme. Harta yang menjadi kebutuhan bersama umat seperti air, padang rumput, api (energi), hutan, sungai, laut, dan tambang besar tidak boleh dimiliki individu atau korporasi. Negara wajib mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat.
3. Kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-daulah)
Negara memiliki harta tertentu seperti kharaj, jizyah, fai’, dan ghanimah. Harta ini dikelola untuk kepentingan umum, terutama dalam penyediaan fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Ketiga mekanisme ini menjamin sirkulasi harta tidak berhenti di tangan segelintir orang. Dalam Islam, tidak ada ruang bagi oligarki ekonomi. Harta harus terus berputar di antara seluruh lapisan masyarakat.
---
Peran Negara dalam Menyediakan Lapangan Kerja
Negara dalam sistem Islam tidak boleh lepas tangan terhadap problem pengangguran. Rasulullah ﷺ mengajarkan mekanisme yang sangat konkret dalam menyediakan pekerjaan. Salah satunya melalui kebijakan iqtha’ pemberian lahan atau modal kepada rakyat yang membutuhkan pekerjaan.
Apabila rakyat memiliki kemampuan, mereka bisa mengelola lahan pertanian, perikanan, atau kehutanan secara mandiri. Negara wajib memberikan dukungan berupa akses lahan, alat, dan pelatihan. Sedangkan tambang besar yang membutuhkan teknologi tinggi dikelola langsung oleh negara, dan rakyat bisa bekerja sebagai tenaga ahli, teknisi, atau pekerja di sektor tersebut.
Adapun tambang kecil yang jumlahnya terbatas boleh dikelola individu atau kelompok masyarakat dengan pengawasan negara agar tidak menimbulkan kerusakan. Hasil pengelolaan harta milik umum menjadi salah satu sumber utama pemasukan negara. Dengan begitu, negara mampu membiayai pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan publik tanpa harus bergantung pada pajak rakyat atau utang luar negeri.
Inilah politik ekonomi yang bukan hanya produktif, tetapi juga adil. Setiap rakyat memiliki akses terhadap sumber daya alam bukan sekadar melalui upah, tetapi melalui kepemilikan fungsional yang diatur oleh syariat.
---
Magang Berbayar: Solusi Palsu dari Sistem yang Rusak
Program magang berbayar sebenarnya hanyalah wajah baru dari eksploitasi tenaga kerja muda. Di balik embel-embel “pelatihan dan pengalaman kerja”, tersembunyi realitas bahwa para fresh graduate dipaksa bekerja dengan upah rendah tanpa jaminan keberlanjutan karier.
Sistem ini tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah pengangguran karena ia tidak menyentuh akar distribusi harta. Justru sebaliknya, ia memperluas jurang ketimpangan. Perusahaan besar mendapatkan tenaga kerja murah, sementara negara merasa telah “berperan aktif” dalam membuka lapangan kerja, padahal yang terjadi hanyalah reproduksi ketidakadilan.
Dalam Islam, tidak ada konsep “pekerjaan tanpa nilai hidup”. Bekerja adalah ibadah, bukan sekadar aktivitas ekonomi. Karenanya, negara wajib memastikan setiap individu memiliki kesempatan untuk bekerja secara bermartabat, bukan sekadar dijadikan roda gigi dalam mesin kapitalisme global.
---
Kembali kepada Sistem Ilahi
Krisis ekonomi dan pengangguran yang kita hadapi hari ini bukanlah krisis teknis, melainkan krisis sistemik. Kapitalisme telah gagal menciptakan pemerataan dan keadilan. Ia melahirkan generasi muda yang terjebak dalam lingkaran magang, kontrak, dan pekerjaan tanpa masa depan.
Sudah saatnya arah kebijakan ekonomi bangsa ini berpaling dari logika pasar menuju logika syariat. Islam tidak menafikan pembangunan ekonomi, tetapi menempatkannya dalam kerangka keadilan distribusi. Ketika negara menegakkan sistem kepemilikan sebagaimana diajarkan Rasulullah ﷺ, maka harta akan kembali berputar di tengah umat, membuka lapangan kerja, dan menutup celah kesenjangan sosial.
Politik ekonomi Islam bukan utopia, tetapi realitas yang pernah hidup dan membawa peradaban emas selama berabad-abad. Dari Madinah hingga Baghdad, dari Andalusia hingga Aceh, sistem ini telah membuktikan diri sebagai sistem yang memuliakan manusia dan menyejahterakan masyarakat.
---
Khatimah
Magang berbayar bagi fresh graduate hanyalah gambaran kecil dari wajah suram politik ekonomi kapitalisme. Ia menunjukkan bahwa dalam sistem ini, manusia dipandang bukan sebagai makhluk mulia yang harus dijamin kesejahteraannya, tetapi sebagai instrumen ekonomi yang bisa digerakkan dan dihentikan sesuai kebutuhan pasar.
Islam menawarkan paradigma yang sepenuhnya berbeda. Ia memuliakan manusia, menegakkan keadilan distribusi, dan menempatkan negara sebagai penjamin kehidupan, bukan sekadar regulator ekonomi. Karena itu, solusi sejati bagi pengangguran dan ketimpangan bukan terletak pada program-program tambal sulam, melainkan pada perubahan sistemik menuju politik ekonomi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Kita harus berani mengakui bahwa akar masalah ini bukan sekadar lemahnya kebijakan, melainkan rusaknya fondasi sistem yang melandasi kebijakan itu. Kapitalisme telah membentuk cara pandang yang menuhankan pasar, mengorbankan nilai kemanusiaan demi pertumbuhan ekonomi semu. Ia menjadikan kesejahteraan ilusi yang hanya dapat dirasakan segelintir orang, sementara jutaan lainnya harus berjuang di bawah bayang-bayang “kesempatan kerja” yang sebenarnya hanyalah bentuk modern dari eksploitasi.
Maka, sudah saatnya generasi muda terutama para intelektual dan pemimpin masa depan membangun kesadaran ideologis. Bahwa tugas kita bukan hanya menyesuaikan diri dengan sistem yang ada, tetapi mengubahnya dengan sistem yang benar. Sistem yang bersumber dari wahyu, bukan dari nafsu. Sistem yang menempatkan Allah sebagai Al-Mālik (Pemilik), manusia sebagai khalifah, dan negara sebagai pelayan umat.
Sebab, selama ekonomi diatur dengan logika pasar, bukan logika syariat, maka ketimpangan akan terus berulang. Pengangguran akan tetap ada, kemiskinan akan terus diwariskan, dan martabat manusia akan terus tergadaikan.
Namun, bila umat ini kembali kepada aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam ekonomi dan politiknya, maka janji Allah akan nyata:
"Seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (Q.S Al A'raf [7]: 96)"
Ayat ini bukan sekadar janji spiritual, tetapi fondasi politik ekonomi Islam yang menjanjikan kesejahteraan sejati. Keadilan tidak lahir dari mekanisme pasar, melainkan dari penerapan syariat secara menyeluruh.
Inilah saatnya kita menyadari: pengangguran bukan takdir, tetapi konsekuensi dari sistem yang salah. Dan perubahan sejati tidak lahir dari program pemerintah, melainkan dari keberanian umat untuk kembali kepada hukum Allah.
Karena sesungguhnya, di balik setiap krisis ekonomi, selalu ada panggilan untuk kembali kepada Rabbul ‘Alamin, Dzat yang telah menurunkan sistem yang paling adil, paling sempurna, dan paling manusiawi: Islam.
Kini, panggilan itu tertuju kepada generasi muda para fresh graduate yang sedang berjuang mencari arah hidup di tengah pusaran sistem yang menindas. Wahai pemuda Muslim, jangan biarkan idealismemu mati di bawah meja korporasi yang hanya menghitung untung dan rugi. Engkau bukan alat produksi, engkau adalah penerus peradaban. Jangan puas menjadi tenaga magang dalam sistem yang merampas keringatmu, tapi jadilah pejuang yang menegakkan sistem yang memuliakanmu.
Bangkitlah, wahai generasi yang beriman! Jadilah barisan yang berani menolak logika kapitalisme dan menegakkan logika langit , logika yang diturunkan oleh Allah untuk mengatur bumi. Karena hanya dengan kembali kepada politik ekonomi Islam, umat ini akan terbebas dari kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Jalan ini mungkin panjang, tapi inilah jalan para nabi dan orang-orang saleh yang menegakkan keadilan di muka bumi. Maka genggamlah idealisme itu erat, kobarkan semangat perubahan, dan jadikan Islam bukan sekadar keyakinan di hati, tapi sistem hidup yang menuntun langkah dan perjuanganmu.
Karena sejatinya, masa depan bukan milik mereka yang tunduk pada sistem batil, tetapi milik mereka yang berani memperjuangkan kebenaran. Dan kebenaran itu hanyalah Islam, yang diturunkan untuk menebar rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bis-sawab.