Angka Perceraian Tinggi, Apa Akar Masalah Sebenarnya?


author photo

15 Nov 2025 - 18.15 WIB



(Oleh : Juliana Najma, Pegiat Literasi)

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2023, perceraian karena digugat maupun talak berada diangka 408.340 kasus, sementara pada 2024 jumlahnya naik menjadi 466.359 kasus. Perceraian tidak hanya terjadi di antara pasangan muda tetapi juga pada pasangan lansia (grey divorce). Pernikahan yang telah dibangun selama puluhan tahun itu pun tak luput dari tragedi perceraian yang saat ini menjadi tren di Indonesia.

Kata kunci “cerai” mencapai puncak pencarian tertinggi dan terpopuler di mesin pencarian Google sejak akhir Agustus 2025. Fenomena ini dipicu oleh berita publik mengenai kasus perceraian selebritis atau tokoh publik yang viral hingga banyak dibicarakan oleh masyarakat. Khalayak pun beramai-ramai menyoroti perceraian itu untuk mengetahui alasan dibaliknya. Pasalnya beberapa dari mereka sejak awal dianggap sebagai pasangan ideal yang dipuja-puja oleh banyak netizen dunia maya. Tak ada yang menyangka jika akhirnya pasangan tersebut bisa mengakhiri pernikahannya.

Ironisnya ditengah kasus perceraian yang semakin tinggi, angka pernikahan di Indonesia justru terus menunjukkan penurunan yang signifikan. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dikjen Bimas Islam) Kementerian Agama (Kemenag), Abu Rokhmad mengungkap angka pernikahan pada 2019 ada sebanyak 2.110.776 pernikahan. Pada 2024 angka itu turun drastis menjadi 1.478.302 pernikahan. 

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair, Prof. Dr. Bagong Suyanto, M.Si., menyebut penyebab turunnya angka pernikahan disebabkan oleh banyak faktor seperti perempuan yang telah memiliki peluang besar untuk sekolah dan bekerja, sehingga ketergantungan perempuan semakin menurun. Sementara di lain sisi, tidak banyak laki-laki dalam kondisi ekonomi yang mapan dikarenakan pekerjaan yang semakin sulit ditemukan.

Adapun faktor lain mengapa seseorang memilih tetap melajang ialah karena ketidaksiapan individu secara mental, kondisi ini bisa terjadi karena munculnya persepsi negatif terhadap pernikahan akibat banyaknya kasus KDRT, maraknya kasus perselingkuhan, dan tingginya angka perceraian yang terjadi di masyakarat. Fenomena “marriage is scary” nyata di kalangan Gen-Z.

Dalam satu dekade, jumlah pernikahan di Indonesia turun sekitar 30 persen dan perceraian naik lebih dari 9 persen. Jika dibiarkan terus menerus kondisi ini dapat menyebabkan penurunan angka kelahiran jangka panjang, meningkatnya jumlah anak yang mengalami dampak negatif dari perceraian orang tua, dan perubahan struktur sosial karena meningkatnya jumlah keluarga yang tidak utuh.

Perceraian Tinggi: Bukan Sekadar Ketidakcocokan Hati Tapi Juga Ketidakcocokan Sistem

Menurut data BPS tahun 2023, perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus adalah penyebab utama perceraian di Indonesia. Sementara faktor finansial menjadi penyebab kedua tertinggi secara nasional. Faktor penyebab lainnya yang sering ditemukan dalam perceraian adalah perselingkuhan, KDRT, dan ketidakhadiran pasangan secara fisik dan emosional dalam pernikahan.  

Tragisnya, tidak banyak yang memahami bahwa faktor tersebut hanya sebagian kecil dari persoalan yang muncul akibat situasi lain yang merupakan akar masalah sebenarnya. Dialah biang dari berbagai penderitaan dan kesengsaraan umat. Sebuah sistem kufur yang telah dipaksakan atas setiap kaum muslimin, yaitu sistem kapitalisme dengan asas sekulerisme. Sistem ini telah meracuni kaum muslimin untuk memisahkan agama dari kehidupan. Seolah Islam hanya tentang ibadah ritual. Akibatnya kaum muslimin semakin jauh dari ketakwaan karena hukum syariat yang seharusnya mengatur seluruh aspek kehidupan telah dipinggirkan. 

Inilah akar masalah sebenarnya yang telah menggeser nilai-nilai suci dalam ikatan pernikahan. Perempuan yang tidak menutup aurat, laki-laki dan perempuan bukan mahram bebas berinteraksi tanpa kepentingan yang dibolehkan syariat, hingga mudahnya khalwat. Semua itu dianggap sebagai kebebasan individu di dalam sistem kufur yang hari ini dijalankan dalam kehidupan umat. Laki-laki dan perempuan bebas melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa mempertimbangkan halal dan haram. Maka tidak heran jika saat ini perselingkuhan menjamur dalam pernikahan, bukan hanya suami bahkan istri pun sering menyimpan pria idaman lain. Naudzubillahimindzalik.

Sistem ini juga telah menjadikan kaum muslimin jauh dari pemahaman Islam yang benar sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah di dalam Al- Qur’an dan Sunnahnya. Yang terjadi kemudian adalah banyak suami yang tidak paham kewajibannya dalam menafkahi istri dan anak-anak, melakukan kekerasan terhadap istri, berpoligami secara tidak adil, dan berbagai kezaliman lainnya yang menyalahi syarak. 

Tak hanya itu, ekonomi dalam sistem kapitalisme telah menciptakan standar kebahagiaan yang diukur dari materi. Paham ini telah melahirkan berbagai krisis multidimensi dan tekanan hidup yang tinggi. Rumah mewah, makanan enak, perhiasan mahal, dan berbagai barang sesuai trend mode kekinian, hingga jalan-jalan dijadikan “kebutuhan hidup”. Ketika keinginan yang dianggap kebutuhan ini tidak terpenuhi, individu akan merasa kurang bahagia dan munculah berbagai konflik dalam rumah tangga.

Sistem ekonomi kapitalisme juga menjadi biang yang telah menciptakan jurang kesenjangan antara “si kaya dan si miskin”. Di dalam kapitalisme, sumber daya alam (SDA) hanya bisa diakses oleh pihak-pihak yang bermodal. Sementara rakyat kecil, harus bergelut dengan pekerjaan serabutan di bawah tekanan kehidupan yang menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai ladang bisnis yang begitu mahal. Akibatnya banyak istri begitu mudah mengambil keputusan yang singkat. Pergi dari suami untuk bekerja, menjadi TKW di luar negeri, atau berpaling ke laki-laki lain yang dianggap lebih mapan. 

Itulah mengapa saat ini menalak istri atau menggugat cerai suami sangat mudah terjadi di dalam pernikahan. Masalahnya bukan sekadar karena ketidakcocokan hati lebih dari itu masalah ini terjadi akibat ketidakcocok sistem yang terus dipaksakan atas kehidupan kaum muslimin. Habibat hidup kaum muslimin adalah di bawah aturan yang bersumber dari Allah swt saja. Maka jika ada aturan lain yang diambil untuk mengatur kehidupannya, sama saja seperti keadaan seekor ikan yang memaksa hidup di daratan padahal habitatnya adalah di air. Lama kelamaan ia akan tersiksa dan mati perlahan-lahan, sungguh malang bukan?

Mekanisme Islam dalam Memelihara Ketahanan Keluarga

Penguatan ketahanan keluarga yang saat ini digaungkan pemerintah untuk mengatasi berbagai isu krusial dalam kehidupan berkeluarga nyatanya tidak bisa menjadi solusi. Seperti faktor ekonomi yang diperkuat dengan melibatkan perempuan untuk mendapat penghasilan. Ketika para ibu disibukkan dengan aktivitas menambah penghasilan keluarga, maka pengurusan terhadap anak-anak menjadi terabaikan.

Begitu juga dengan pencegahan pernikahan dini yang dianggap meningkatkan resiko perceraian. Padahal masalahnya bukanlah pada usia berapa seseorang menikah, melainkan pada pembentukan kepribadian dan pendidikan seperti apa yang dapat mencetak pribadi dengan kematangan emosi dan ketakwaan individu yang berlandaskan keimanan di bawah pemahaman yang benar. Hal inilah yang telah lama hilang dari pendidikan yang seharusnya di dapatkan anak-anak baik di rumah maupun di sekolah.

Apa yang menimpa umat dan membuatnya terpuruk tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Segala penderitaan dan kesengsaraan umat akibat penerapan sistem kapitalisme harus disudahi dengan jalan kembali kepada Islam kaffah, sistem kehidupan yang datang dari Allah swt. Keluarga muslim, terutama ibu dan ayah, harus kembali berfungsi sebagai benteng yang kokoh, yang siap melahirkan generasi terbaik dan individu-individu yang bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah yang mengemban misi kekhalifahan di muka bumi.

Sistem islam sesungguhnya memberikan perhatian yang serius terhadap keluarga melalui aturan syariat yang terperinci. Ketahanan keluarga dalam sistem Islam didasarkan pada pernikahan syar’i dan dibangun di atas pondasi keimanan, kasih sayang dan tanggung jawab. Dalam sistem Islam, sekalipun negara tidak mencampuri urusan privasi sebuah keluarga, tetapi negara akan memastikan setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. 

Negara dalam sistem Islam mewajibkan suami dan/atau para wali untuk mencari nafkah. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 233 yang artinya “...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara ma'ruf...” dan Q.S An-Nisa ayat 34 yang artinya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..”.

Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaum laki-laki agar mereka mampu menafkahi keluarganya. Memberikan pendidikan dan pelatihan, bahkan jika diperlukan negara akan memberikan bantuan modal. Suami yang lalai dari tanggung jawabnya dalam menafkahi istri akan ditindak oleh negara, melalui keputusan khalifah. 

Negara dalam sistem Islam akan menjamin pemenuhan hak-hak dasar setiap anak sampai mereka tumbuh dewasa menjadi “manusia sempurna”. Ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun keselamatan diri dan jiwa semua menjadi tanggung jawab negara. Di dalam sistem Islam peran negara adalah untuk melayani dan megurusi urusan umat.

Inilah perbedaan mendasar antara sistem Islam dan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme menempatkan negara sebagai pihak yang tidak bisa berbuat apa-apa selain membuat regulasi. Karena ekonomi kapitalisme menciptakan korporatokrasi yakni pemerintahan yang dikuasi oleh pemilik modal. Regulasi yang ditetapkan pengendaliannya berada pada pemilik modal. Sehingga kemaslahatan rakyat tidak menjadi prioritas bagi penguasa.

Islam pun telah menetapkan hubungan di antara suami dan istri sebagai hubungan persahabatan. Keduanya berhak mendapatkan ketentraman dan ketenangan dalam pernikahan. Baik suami maupun istri, masing-masing harus berkomitmen melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan syariat baginya dalam kehidupan berkeluarga. Pelaksanaan hak dan kewajiban inilah yang akan menciptakan mawaddah wa rahmah dalam pernikahan.

Keluarga yang terikat syariat dalam mengarungi bahtera rumah tangga insyaallah akan menjadi cikal bakal yang melahirkan generasi Islam dengan karakter berkualitas yang membentuk peradaban. Sebab peradaban Islam tidak terpisahkan dari kualitas generasi yang terdidik dengan akidah Islam yang kuat dan pemahaman Al-Qur’an yang mendalam. Sehingga terlahirlah generasi gemilang dengan kebesaran jiwa seperti Salahudin Al-Ayyubi, yang kelak dapat menjadi pembebebas Baitul-Maqdis. Generasi setangguh Muhammad Al-Fatih yang kelak menjadi penakluk Persia, atau sekaliber Mush’ab bin Umair, yang kelak menjadi duta Islam yang membumikan pemikiran Islam hingga menembus batas negara. Wallahu a’lam bishshawab.
Bagikan:
KOMENTAR