Lhokseumawe – Keputusan mendadak Wali Kota Lhokseumawe Sayuti Abubakar mencabut rekomendasi konser Dewa 19 memicu gelombang kritik keras dari tokoh masyarakat dan penyelenggara. Langkah ini dianggap ambivalen, membingungkan publik, dan berpotensi menimbulkan ketegangan sosial. Sabtu (8 November 2025).
Ketua YLBH Cakra Lhokseumawe Fakhrurrazi, tokoh masyarakat yang paling vokal, menuding pemerintah kota Lhokseumawe bertindak gegabah dan tidak konsisten. “Sejak awal pemerintah yang memberi rekomendasi, sekarang dicabut tiba-tiba. Ini bukan sekadar salah langkah administratif ini mengacaukan suasana masyarakat,” ujar Fakhrurrazi dengan nada geram.
Lebih lanjut, ketua Cakra Fakhrurrazi menekankan bahwa keputusan publik di Aceh tak bisa lepas dari syariat. “Wali Kota harus duduk dengan MPU sebelum ambil keputusan. Jangan seenaknya menentukan kebijakan yang bisa memancing reaksi keras warga. Ini soal menghormati tradisi dan aturan kita,” tegas Fakhrurrazi.
Ketua Cakra Fakhrurrazi juga menyoroti kinerja pemerintah yang dinilai tidak fokus pada hal-hal esensial. “Jangan sibuk dengan konser, sementara jalan-jalan bolong, program Broeh Jeut Keupeng mangkrak. Jangan tunggu ada korban jiwa baru bergerak. Kota ini butuh perbaikan nyata, bukan kebijakan reaktif yang bikin gaduh,” kritiknya tajam.
Tak hanya itu, pihaknya juga menegur Even Organizer Melofest. “Jangan paksakan kehendak di Lhokseumawe. Aceh bukan daerah biasa. Kalau sudah ditolak, hentikan. Jangan bikin gaduh, jangan ujicoba kesabaran masyarakat. Stop sebelum suasana jadi tidak terkendali,” kata Fakhrurrazi.
Kasus ini membuka wajah lain dari konflik antara pemerintah, penyelenggara hiburan, dan sensitivitas budaya lokal. Ketidakjelasan kebijakan berpotensi menimbulkan perpecahan publik dan memperburuk citra pemerintah kota Lhokseumawe. Publik pun bertanya apakah Wali Kota Lhokseumawe benar-benar memikirkan kepentingan masyarakat Lhokseumawe atau hanya reaktif terhadap tekanan politik dan hiburan semata? (A1)