Bullying; Sekolah Tanpa Ruh, Generasi Tanpa Empati


author photo

15 Nov 2025 - 11.09 WIB


Oleh: Ns. Sarah Ainun, M.Si

Sekolah dan pesantren seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak untuk belajar dan tumbuh. Namun belakangan, keduanya justru berubah menjadi ladang luka. Seorang santri membakar asrama tempatnya mondok karena tak tahan dirundung. Seorang siswa SMA meledakkan sekolahnya sendiri karena tak sanggup lagi menanggung ejekan teman. 

Dua peristiwa yang seolah terpisah ini sesungguhnya berakar pada luka yang sama—pendidikan kita sedang kehilangan ruhnya. Ia mengajarkan rumus, tapi melupakan rasa; mencetak kecerdasan, tapi gagal menumbuhkan empati.

Sebagaimana dilansir KumparanNews (07/11/2025), publik sempat dikejutkan oleh peristiwa tragis di sebuah pesantren di Aceh Besar. Seorang santri nekat membakar asrama tempatnya mondok karena sakit hati setelah menjadi korban bullying. Ia mengaku kerap diejek dan dipermalukan oleh teman-temannya hingga akhirnya tak mampu lagi menahan tekanan.

Tak berselang lama, kasus serupa mengguncang Jakarta. Seorang siswa SMA Negeri 72 diduga melakukan aksi ledakan di sekolah. Dari keterangan para saksi, pelaku dikenal pendiam, tertutup, dan kerap menjadi korban perundungan teman sekelasnya (cnnindonesia, 08/11/2025).

Dua kasus ini bukan sekadar insiden emosional remaja, tetapi cermin buram dari wajah pendidikan kita yang semakin kehilangan ruh kemanusiaan. Fenomena korban bullying yang berubah menjadi pelaku kekerasan bukan sekadar masalah perilaku individu, tetapi gejala sosial yang sistemik dan serius. 

Sekolah dan pesantren, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh dan belajar, kini justru berubah menjadi arena tekanan sosial dan kekerasan terselubung. Bullying tak lagi terjadi diam-diam, tapi menjadi tontonan, bahan tertawaan, bahkan konten hiburan di media sosial. 

Bullying: Gejala Sosial yang Sistemik

Bullying di kalangan pelajar kini bukan fenomena tunggal, tetapi menjelma sebagai problem sistemik dalam dunia pendidikan. Ia muncul di berbagai daerah, di sekolah umum maupun lembaga keagamaan. 

Bentuknya beragam: ejekan fisik, penghinaan verbal, pengucilan sosial, hingga pelecehan yang menimbulkan trauma psikologis. Di balik setiap kasus, selalu ada satu pola yang sama: lemahnya sistem pembinaan karakter dan pengawasan moral di sekolah.

Sekolah seolah kehilangan perannya sebagai lembaga pembentuk manusia berkarakter dan akhlak mulia. Hubungan antar pelajar dibangun di atas kompetisi nilai, gengsi sosial, dan pencitraan diri. Alhasil Sekolah kini mencetak siswa pandai berhitung, tapi gagal membentuk manusia beradab

Ketika solidaritas digantikan oleh persaingan, maka yang kuat akan menindas yang lemah. Inilah wajah dari sistem pendidikan yang mengagungkan pencapaian akademik namun menafikan pembinaan akhlak. Akibatnya, generasi yang tumbuh bukanlah manusia berempati, melainkan individu yang mudah menertawakan penderitaan orang lain.

Media Sosial dan Krisis Adab

Peran media sosial memperburuk keadaan. Platform yang sejatinya diciptakan untuk berjejaring kini menjadi panggung perilaku tidak beradab. Remaja menjadikan bullying sebagai candaan, prank, bahkan ajang eksistensi diri. Konten mempermalukan orang lain di depan kamera dianggap keren dan lucu, tanpa menyadari luka batin yang ditinggalkan pada korban.

Lebih buruk lagi, media sosial juga menjadi tempat pelarian bagi korban bullying — ruang sunyi yang justru memperkuat rasa dendam dan keputusasaan. Dari sana, korban sering kali menemukan inspirasi yang salah: video aksi balas dendam, kekerasan di sekolah luar negeri, hingga komunitas daring yang menormalisasi tindakan ekstrem. Fenomena ini bukan sekadar tragedi individual, tetapi gejala dari krisis adab yang sudah mengakar.

“Krisis adab adalah krisis peradaban; ketika empati hilang, maka manusia kehilangan kemanusiaannya.”

Sistem Pendidikan Sekuler-Kapitalistik yang Gagal

Akar dari semua ini tak lepas dari paradigma sistem pendidikan yang dianut saat ini — sistem sekuler kapitalistik. Sistem ini memisahkan nilai moral dan agama dari proses pembelajaran. 

Pendidikan diposisikan sebagai sarana mencapai sukses material, bukan sarana membentuk kepribadian luhur. Hasilnya, sekolah berlomba mencetak siswa berprestasi secara akademik, tapi gagal menumbuhkan manusia yang beradab.

Guru lebih disibukkan oleh administrasi dan target kurikulum daripada pembinaan moral siswanya. Pelajaran agama dan budi pekerti hanya menjadi pelengkap jam pelajaran, bukan ruh yang menghidupi seluruh proses belajar. 

Budaya konsumerisme dan kompetisi sosial yang ditanamkan sistem kapitalistik membuat anak didik tumbuh dengan mental “siapa kuat dia menang”. Tak heran bila bullying menjadi gejala alami dari pendidikan yang kehilangan orientasi kemanusiaan.

Dalam sistem sekuler, pendidikan tercerabut dari tujuan spiritualnya. Nilai moral dipandang sebagai urusan pribadi, bukan tanggung jawab sosial. Akibatnya, sekolah gagal mencetak generasi berkarakter karena pondasi nilai mereka rapuh. Mereka pandai berhitung, tetapi tidak tahu malu. Cerdas secara logika, tapi kosong secara jiwa.

Islam Menawarkan Paradigma Pendidikan yang Utuh

Islam memandang pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah islamiyyah). Tujuan pendidikan dalam Islam bukan menghasilkan manusia yang sekadar cerdas, tetapi yang berpikir dan bersikap berdasarkan akidah Islam.

Pendidikan harus menanamkan keyakinan bahwa hidup memiliki tujuan mulia: beribadah kepada Allah dan menebar rahmat bagi sesama.

Dalam Islam, pembinaan akhlak menjadi ruh seluruh aktivitas pendidikan. Kurikulum berbasis akidah Islam memastikan setiap ilmu yang diajarkan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai tauhid. Seorang guru bukan hanya pengajar, tetapi juga murabbi — pembimbing spiritual yang membentuk pola pikir (aqliah) dan pola sikap (nafsiyah) siswa.

Dengan cara ini, bullying bukan hanya dilarang secara moral, tapi dipandang sebagai dosa dan pengkhianatan terhadap nilai ukhuwah Islamiyah. 

Seorang muslim tidak akan merendahkan saudaranya, karena memahami bahwa kemuliaan manusia hanya diukur dengan ketakwaan, bukan fisik atau status sosial. Nilai-nilai semacam inilah yang absen dari sistem pendidikan sekuler hari ini.

Negara Sebagai Penjamin Pendidikan dan Moral Generasi

Dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab langsung untuk menjamin terlaksananya pendidikan yang benar. Negara bukan hanya penyedia fasilitas, tetapi juga penjamin moral dan penjaga arah pembinaan generasi.

Melalui sistem pemerintahan Islam, negara wajib menyediakan pendidikan gratis berkualitas yang berorientasi pada pembentukan akidah dan akhlak Islam. 

Negara mengawasi seluruh kurikulum agar selaras dengan nilai tauhid, melatih guru berkepribadian Islam, dan menciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi pembinaan moral.

Negara juga berperan aktif dalam mencegah munculnya budaya kekerasan dan perundungan, bukan dengan pendekatan reaktif berupa hukuman semata, tetapi dengan pembinaan preventif: menumbuhkan ketakwaan individu, memperkuat kontrol sosial, dan mengokohkan tanggung jawab kolektif.

Mengembalikan Ruh Pendidikan

Kasus santri yang membakar asrama dan siswa yang meledakkan sekolah hanyalah puncak gunung es dari kerusakan sistemik dunia pendidikan kita. Mereka bukan monster, melainkan produk dari sistem yang gagal memberi ruang aman dan bimbingan moral. 

Ketika sekolah kehilangan nilai adab, dan ketika agama hanya ditempatkan di ruang seremonial, maka generasi yang lahir adalah generasi yang kehilangan arah — mudah sakit hati, mudah marah, dan mudah tersesat.

Selama pendidikan kita masih diatur oleh paradigma sekuler yang menyingkirkan nilai ilahiah, tragedi semacam ini akan terus berulang. Kita bisa menambah jam pelajaran karakter atau memperbanyak konselor sekolah, tetapi itu semua hanya menambal luka di permukaan. 

Yang kita butuhkan adalah perubahan mendasar — mengembalikan pendidikan kepada tujuan hakikinya: membentuk manusia beradab yang bertakwa kepada Allah.

“Bangsa yang kehilangan adab sesungguhnya sedang berjalan menuju kehancuran.”
Bagikan:
KOMENTAR