Sudan kembali menjadi sorotan dunia. Sejak pecahnya konflik bersenjata antara militer Sudan dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada tahun 2023, penderitaan rakyat seolah tak berkesudahan. Ribuan orang tewas, jutaan lainnya mengungsi. Kota-kota hancur, kelaparan melanda, dan masa depan jutaan anak Sudan suram di tengah perang yang seolah tak punya ujung.
Namun di balik derita itu, tersimpan ironi besar: Sudan sebenarnya adalah negeri yang sangat kaya. Negara ini memiliki cadangan emas yang melimpah, minyak bumi, lahan pertanian subur, serta posisi strategis di tepi Laut Merah. Bahkan Sungai Nil yang legendaris mengalir di sana—sumber kehidupan yang sejak dulu menopang peradaban. Tapi anehnya, rakyat Sudan justru hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Mengapa kekayaan besar ini tidak membuat mereka sejahtera?
Bukan Sekadar Perang Saudara
Jika dilihat lebih dalam, konflik Sudan bukan sekadar perang antarfaksi militer atau perebutan kekuasaan dalam negeri. Di baliknya ada perebutan kepentingan besar antara kekuatan global. Barat, Rusia, dan beberapa negara regional berlomba-lomba mengamankan pengaruh di Sudan, terutama untuk menguasai jalur perdagangan strategis dan sumber daya alamnya—terutama emas.
Banyak laporan menyebutkan bahwa emas Sudan diekspor secara ilegal melalui jaringan perusahaan yang berafiliasi dengan kekuatan asing. Atas nama “bantuan kemanusiaan” dan “stabilitas ekonomi,” negara-negara besar sebenarnya sedang memastikan agar Sudan tetap bergantung pada mereka. Inilah bentuk kolonialisme baru, penjajahan tanpa tentara, tapi lewat kontrol ekonomi, politik, dan keamanan.
Akar masalahnya lebih dalam dari sekadar konflik bersenjata. Sejak zaman kolonial, sistem politik dan ekonomi Sudan dibentuk mengikuti pola Barat yang sekuler dan kapitalistik. Sistem ini memisahkan agama dari urusan negara, sehingga kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah, tetapi sebagai alat untuk menguasai dan memperkaya diri. Akibatnya, kekayaan negeri tidak dikelola untuk rakyat, melainkan untuk elit dan kepentingan asing.
Dalam pandangan Islam, sumber daya alam adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘āmmah) yang harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Pemimpin bukanlah penguasa yang bebas berbuat sesuka hati, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Namun sistem sekuler yang diterapkan di banyak negeri Muslim, termasuk Sudan, meniadakan nilai ini. Ketika kekuasaan dipisahkan dari tuntunan wahyu, maka lahirlah keserakahan, korupsi, dan ketergantungan pada kekuatan asing. Akibatnya, negeri kaya menjadi miskin, dan negeri beriman kehilangan arah.
Dengan kata lain, krisis Sudan bukan hanya krisis politik, tapi krisis paradigma dan krisis nilai yang jauh dari ajaran Islam.
Islam menawarkan solusi yang menyeluruh bagi persoalan ini. Dalam sistem Islam, sumber daya alam dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan segelintir elit atau perusahaan asing. Keuntungan dari emas, minyak, dan hasil bumi digunakan untuk memenuhi kebutuhan publik—pendidikan, kesehatan, dan pembangunan, bukan untuk membayar utang kepada lembaga keuangan internasional.
Selain itu, Islam menegaskan bahwa kepemimpinan harus berlandaskan amanah dan tanggung jawab di hadapan Allah. Pemimpin sejati tidak mencari legitimasi dari negara asing, tetapi dari keadilan yang dirasakan rakyatnya.
Sudan dan negeri-negeri Muslim lainnya juga perlu membangun solidaritas antarnegara Islam—bukan hanya dalam kata, tetapi dalam ekonomi, politik, dan kemanusiaan. Jika umat Islam bersatu dalam mengelola energi, pangan, dan pertahanan, mereka tidak mudah ditekan oleh kepentingan asing.
Keadilan Hanya Akan Terwujud dengan Kembali pada Islam
Selama paradigma materialistik dan kepentingan ekonomi menjadi dasar hubungan internasional, keadilan global akan tetap menjadi utopia. Barat mungkin berbicara tentang demokrasi dan kemanusiaan, tetapi di balik itu sering tersembunyi kepentingan ekonomi dan geopolitik.
Sudan tidak memerlukan belas kasihan dunia. Yang dibutuhkan adalah sistem nilai yang menempatkan manusia di atas materi, amanah di atas kekuasaan, dan keadilan.
Ketika umat Islam kembali menjadikan Islam sebagai pedoman dalam mengatur negara dan sumber daya alam, maka tragedi seperti Sudan tidak akan terulang. Karena hanya dengan Islam, kekayaan menjadi berkah, dan kekuasaan menjadi jalan menuju keadilan sejati.