Oleh Yulia Hastuti (Alumni Magister Ilmu Kebencanaan USK)
Bencana di Sumatera itu datang tanpa banyak jeda, menyapu permukiman dan kehidupan warga dalam hitungan waktu. Kini, yang tersisa adalah reruntuhan bangunan, kayu gelondongan yang berserakan, genangan lumpur pekat, serta beberapa rumah yang masih berdiri dengan luka di sekujur dindingnya. Pemandangan ini bukan sekadar potret duka, melainkan kesaksian bisu atas kerusakan yang lebih dalam, tentang alam yang terus dipaksa menanggung beban, serta kebijakan yang kerap abai terhadap keseimbangan dan keselamatan manusia.
Merujuk data terbaru BNPB per Rabu (17/12), jumlah korban tewas akibat banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai sekitar 1.053 orang, dengan korban luka lebih dari 7.000 jiwa. Angka ini menunjukkan betapa dahsyatnya dampak bencana yang melanda wilayah Sumatera dalam beberapa minggu terakhir.
Kerusakan infrastruktur pun sangat luas. Berdasarkan identifikasi Kementerian PUPR, tercatat sekitar 1.200 fasilitas umum dan publik rusak, meliputi fasilitas kesehatan, sekolah, rumah ibadah, gedung perkantoran, jembatan, serta akses jalan yang terputus. Bahkan, lebih dari 1.666 titik infrastruktur mengalami kerusakan (jpnn.com, 17/12/2025).
Rentetan bencana yang terus berulang ini jelas tidak bisa lagi disederhanakan sebagai “faktor alam”. Banjir, longsor, kekeringan, dan cuaca ekstrem yang kian sering terjadi justru memperlihatkan kegagalan negara dalam mengelola lingkungan secara bertanggung jawab. Tata ruang yang dilanggar, izin tambang dan alih fungsi hutan yang dipermudah, serta pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan adalah bukti nyata bahwa bencana hari ini merupakan akumulasi dari kebijakan yang salah arah.
Sayangnya, negara kerap hadir setelah bencana terjadi, bukan mencegah sebelum kerusakan meluas. Pendekatan yang ditempuh pun sering bersifat reaktif dan teknokratis, sekadar normalisasi sungai, pembangunan tanggul, atau bantuan darurat, tanpa menyentuh akar masalah. Padahal, selama kebijakan pembangunan tetap tunduk pada logika pertumbuhan ekonomi dan kepentingan korporasi, kerusakan lingkungan hanya akan terus direproduksi dalam skala yang lebih besar.
Ideologi sekuler-kapitalistik telah membentuk cara pandang negara yang menempatkan alam sebagai komoditas, bukan amanah. Dalam paradigma ini, keselamatan rakyat kerap dikalahkan oleh target investasi, proyek strategis, dan keuntungan jangka pendek. Regulasi lingkungan pun mudah dilonggarkan, sementara pelanggaran sering dibiarkan atau hanya berujung sanksi administratif yang tidak menimbulkan efek jera. Inilah sebabnya mengapa bencana ekologis terus berulang meski undang-undang dan kebijakan silih berganti.
Islam menawarkan kritik mendasar sekaligus solusi ideologis atas kegagalan ini. Negara tidak boleh netral apalagi permisif terhadap perusakan lingkungan. Sebagai rā‘in (pengurus), negara wajib mencegah kerusakan sejak hulu: menghentikan eksploitasi berlebihan, mencabut izin yang merusak, dan menempatkan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum yang dikelola demi kemaslahatan rakyat, bukan segelintir elite ekonomi.
Dalam perspektif ini, kelalaian negara bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan. Ketika negara gagal melindungi lingkungan, yang dikorbankan bukan hanya alam, melainkan juga nyawa, keselamatan, dan masa depan rakyat. Karena itu, solusi atas bencana ekologis menuntut perubahan cara pandang dan arah kebijakan secara ideologis, bukan sekadar perbaikan prosedural yang berulang kali terbukti gagal.
Di sisi lain, rakyat memiliki hak fundamental atas lingkungan yang bersih, sehat, dan lestari. Hak ini menuntut negara melindungi rakyat dari kebijakan dan praktik yang merusak, serta memastikan pengelolaan alam dilakukan demi kepentingan bersama. Mengabaikan hak ini berarti membiarkan ketidakadilan dan membahayakan kehidupan generasi kini dan mendatang.
Sudah seharusnya manusia kembali ke jalan Allah dengan mengelola bumi secara benar, adil, dan bertanggung jawab sesuai sunatullah dan hukum-hukum-Nya. Alam diciptakan dengan keseimbangan, bukan untuk dieksploitasi demi kepentingan sesaat. Ketika aturan Allah dilanggar melalui keserakahan dan kebijakan yang abai, maka kerusakan dan bencana menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Semoga rangkaian peristiwa ini menyadarkan mereka yang masih diberi akal sehat bahwa sudah saatnya berbenah, memperbaiki arah kebijakan, dan menata ulang hubungan manusia dengan alam sebelum kerusakan yang lebih besar kembali terulang.