Oleh : Khusnul khatimah, A. Md. (Aktivis Islam)
Riset Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menemukan 58 persen Gen Z memanfaatkan pinjaman online (pinjol) untuk kebutuhan gaya hidup serta hiburan. Temuan itu disampaikan Ketua Program Studi Magister dan Doktor Fakultas Ekonomi Unpar, Dr Vera Intanie Dewi. Untuk itu, mahasiswa seharusnya mulai melatih kemampuan mengelola uang sebelum masuk ke dunia kerja. Temuan itu disampaikan Ketua Program Studi Magister dan Doktor Fakultas Ekonomi Unpar, Dr Vera Intanie Dewi. Untuk itu, mahasiswa seharusnya mulai melatih kemampuan mengelola uang sebelum masuk ke dunia kerja.
(Kompas.com)
Riset yang sama mengungkapkan persoalan lain terkait perencanaan keuangan. Sebanyak 61,7 persen usia 17–40 tahun tidak memiliki dana darurat, sementara 67 persen masyarakat Indonesia baru mulai merencanakan dana pensiun lima tahun menjelang masa pensiun.
Bagi gen Z yang lahir dan tumbuh di tengah derasnya arus internet, urusan keuangan kini tak lagi rumit. Hanya dengan beberapa klik di ponsel, mereka bisa meminjam uang, membeli barang, atau bahkan membayar gaya hidup. Tak perlu datang ke bank, tak perlu jaminan. Semua serba cepat, mudah, dan instan.
Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi jebakan halus, yaitu budaya hidup dengan utang digital. Banyak anak muda kini hidup di atas tumpukan tagihan yang tak mereka sadari besarnya. Mereka merasa mampu karena bisa “bayar nanti”, padahal sebenarnya sedang mencicil masa depan.
Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal mentalitas generasi, yaitu generasi yang hidup dalam tekanan sosial, impulsif dalam mengambil keputusan, dan haus validasi digital. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2025, pengguna pinjaman daring berusia antara 19 hingga 34 tahun. Mereka adalah mahasiswa, pekerja muda, dan freelancer yang akrab dengan teknologi, tapi belum cukup matang secara finansial. Fenomena ini seperti dua sisi mata uang, yaitu kemajuan digital di satu sisi, dan krisis kesadaran finansial di sisi lain.
Teknologi keuangan (fintech) memang menjanjikan kemudahan. Prosesnya cepat, tanpa jaminan, cukup KTP dan ponsel. Dalam hitungan menit, uang bisa langsung cair ke rekening. Tak heran jika pinjaman daring dianggap solusi instan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari biaya kuliah, beli gadget baru, liburan, hingga belanja fashion terbaru. Namun, kemudahan yang tidak disertai pemahaman justru menjadi jebakan. (Kompas.com)
Banyak anak muda yang menganggap pinjaman daring seperti “uang tambahan”, bukan utang yang harus dilunasi. Mereka menggeser batas antara kebutuhan dan keinginan. Awalnya meminjam untuk “darurat”, lama-lama untuk “gaya hidup”. Awalnya untuk menolong diri, lama-lama justru menjerat diri. Sifat sekejap dari pinjaman daring di mana uang cepat, tanpa tatap muka, dan tanpa rasa sungkan telah menciptakan jarak emosional antara peminjam dan kewajiban moralnya. Berbeda dengan ketika seseorang meminjam ke teman atau lembaga formal yang melibatkan rasa tanggung jawab sosial. Di sinilah letak bahayanya, yaitu utang menjadi terlalu mudah hingga kehilangan rasa tanggung jawab.
Fenomena pinjaman online (pinjol) ini merupakan era sekuler dan kapitalis dimana memang sulit hidup tanpa uang tapi bukan berarti pinjaman online (pinjol) adalah solusi apalagi ada sistem bunga yang katanya sedikit hanya beberapa persen, tahukah kalian sebenarnya sistem bunga ini adalah sama saja riba atau tambahan uang dari yang di pinjam, yang jelas-jelas di dalam Islam sangat tidak boleh di gunakan termasuk salah satu dari tujuh dosa yang membinasakan (al-mubiqaat) dan Allah SWT mengharamkannya secara tegas dalam Al-Qur'an. Pelaku riba dikategorikan haram, termasuk yang memberi, menerima, penulisnya, dan saksinya, dengan ancaman azab neraka dan hilangnya keberkahan duniawi serta tidak diterimanya sedekah dari harta riba.
Dosa riba juga disamakan dengan dosa besar lainnya seperti pembunuhan dan zina, bahkan ada tingkatan dosa riba yang paling ringan setara dengan berzina dengan ibu sendiri. Selain itu, dosa riba juga setara dengan dosa makan harta anak yatim serta lari dari medan perang.
Dalam hal ini sebenarnya bukan hanya pentingnya kesadaran individu tapi juga di butuhkan kesadaran negara untuk melindungi generasi. Membatasi kegiatan internet, bahkan memberi sanksi pada pengguna riba agar ada efek jera dan masyarakat terlindungi dari kecanduan akan hal ini. Di butuhkan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya (individu per individu), termasuk generasi.
Terutama pendidikan Islam membentuk kepribadian Islam generasi sehingga menyandarkan perbuatannya pada halal-haram, bukan manfaat materi. Infrastruktur digital dalam Khilafah dibangun di atas paradigma Islam, sehingga mampu melindungi generasi dari konten merusak, normalisasi maksiat, dan kriminalitas. Generasi Muslim harus memahami identitasnya sebagai Muslim dan sebagai pembangun peradaban melalui pembinaan Islam dan aktivitas dakwah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.
#Allahu’alam bisshowab
#harampinjol
#GenZ
#Ineedkhilafah