Women March Jakarta 2020 berlangsung di Taman Aspirasi Monas, Jakarta Pusat pada Minggu 8/3/2020. "Ini harus dihentikan: pemerkosaan, pelecehan, kekerasan, pembunuhan, yang korbannya perempuan. Ini bukan salahku. Ini bukan salah tubuhku. Ini bukan salah pakaianku. Ini salah patriarki!", teriak orator penuh semangat sembari menghentakkan kaki ke tanah dan mengepal tinju ke langit, seruan itu di ikuti oleh massa aksi.
Patriarki, betapa bosannya saya mendengar kata ini. Saluran-saluran feminis di seluruh dunia masih saja menjajakan tuduhan manipulatif ini sebagai biang kerok nestapa perempuan di dunia. Sampai-sampai nyak-nyak (nenek) dan mak cik di kampung-kampung pun tak habis pikir kok ya segitunya feminis ini ngiklan dan maksain pahamnya.
Apa sih patriarki? untuk kesekian kali, karena telah begitu banyak tulisan yang ditulis untuk meluruskan paham patriarki dalam paradigma feminis ini, saya nambahin dah. Patiarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda (wikipedia.org).
Berangkat dari doktrin kebencian terhadap laki-laki ini, feminisme telah meracuni perempuan di seluruh dunia, terutama muslimah. Feminisme adalah alat bagi kafir Barat untuk menghancurkan perempuan muslim karena ide feminis ini menjadikan seorang muslimah menghinakan agamanya sendiri. Feminis memandang sinis pada Islam, mencibir syariatnya setiap waktu, merekayasa sejumlah tuduhan manipulatif untuk menghancurkan keluarga muslim.
Feminis yang penuh dengki pada Islam, menggiring kaum muslim memandang keluarga dari sudut pandang kelas, dengan persfektif atasan dan bawahan serta merampas hak perempuan. Racun pamungkasnya dari dulu tidak berubah, yakni bahwa ketergantungan ekonomi pada suami tidak kompetibel dengan gagasan pembebasan perempuan. Peran domestik perempuan sebagai istri, ibu dan manajer rumah tangga di pandang melemahkan perempuan, menyia-nyiakan bakat mereka bahkan menjauhkan mereka dari hak-hak perempuan yang sesungguhnya.
Separah apa dampak yang ditimbulkan feminisme? Mengerikan. Daya rusak feminisme luar biasa dan sangat serius terhadap pernikahan, peran keibuan dan keharmonisan keluarga. Semuanya tak lagi bernilai sakral yang harus dijaga, bahkan justru dijauhi. Kabar buruknya, hubungan di luar pernikahan justru menjamur! Iya, perempuan berhak penuh tuh katanya atas kontrol reproduksinya. My body my authority. Maka mereka bersuara tinggi ketika foto bugil Tara Basro di hujat masyarakat tempo hari. Bagi mereka Bugil itu hak, aspirasi, seni, prestasi dalam rangka menjalankan body positivy. Naudzubillah.
Feminisme mengajak perempuan meninggalkan habitatnya, untuk kemudian membanjiri dunia kerja, sampai-sampai para lelaki terpinggirkan dan kalah bersaing. Innalillahi. Perempuan ditekan untuk masuk ke dunia kerja. Efeknya luar biasa hingga bahkan sebuah pernikahan ditangguhkan, dan hak-hak anak beserta hak suami diabaikan. Konflik rumah tangga bermunculan, berakhir pada tingginya tren perceraian. Sementara para suami, para wali dan sebagian besar lelaki yang juga tak luput menelan racun ini semakin ringan melepas tanggung jawab mereka. Toh perempuan juga tak mau di urusi, sempurnalah kerusakan ini.
Ide feminis disebarkan secara sistemik, massif dan sporadis. Bagaimana bisa? Ya bisa karena ada berbagai lembaga moneter global yang menopang mega proyek tersebut. Siapa? Siapa lagi jika bukan mereka yang Allah sebut dalam firman-Nya; "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah; "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah:120).
Feminisme adalah sebuah tafsir kebencian terhadap Islam yang tidak lepas dari pengaruh feminisme di barat yang dibawa oleh intelektual kita yang belajar di Barat maupun melalui persebarannya melalui media massa dan literatur. Tafsir Alquran pun turut menjadi sasaran rekonstruksi. Dikatakan bahwa, ajaran agama telah menyebarkan pandangan inferior yang mengukuhkan posisi lemahnya perempuan terhadap laki-laki.
Beberapa tokoh yang disebut sebagai pembaharu memandang perlunya penafsiran atau interpretasi ulang terhadap ajaran dasar-dasar Islam agar sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Kepemimpinan, waris, persaksian dalam Islam menjadi sasaran tembak untuk ditafsir ulang. Hal ini karena dianggap tidak adil untuk perempuan. Mereka melihat penerapan sebagian dari aturan Islam dalam kerangka hidup sistem hidup sekuler liberal.
Ambil contoh permasalahan waris, dalam Islam perempuan mendapatkan separuh bagian laki-laki. Secara jumlah memang lebih kecil, namun itu diiringi oleh kewajiban nafkah pada laki-laki dan tidak pada perempuan. Lalu penggiat gender akan berteriak bahwa hari ini baik perempuan maupun laki-laki memiliki beban ekonomi yang sama, maka pembagian waris dengan porsi 2:1 tidak lagi relevan dalam konteks kekinian.
Jika kita cermati dengan akal sehat, fakta terbebaninya perempuan oleh ekonomi justru menjadi bukti bahwa sekulerisme beserta turunannya, kapitalisme liberalisme telah mengeksploitasi hak-hak perempuan hingga mereka hingga mereka harus menanggung beban ekonomi sebagaimana laki-laki.
Islam tidak pernah melarang perempuan untuk berpartisipasi dalam ruang publik, ikut berkontribusi dalam pembangunan ekonomi. Namun yang perlu dicatat bahwa, semua itu dilakukan perempuan dengan dasar kerelaan, bukan keterpaksaan sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Coba tanya perempuan yang ikut Aceh Women`s March 2020 kemarin di Blang Padang, betul tidak ?
Tanya pula pada perempuan-perempuan yang harus meninggalkan anak dan suami demi bekerja menjadi TKW ke negara-negara yang jauh dan keras kehidupannya. Pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang kasar demi menjemput sejumlah penghasilan, apakah mereka melakukannya karena kesenangan atau keterpaksaan? Maka bukan Islam yang menindas perempuan, mengukuhkan kekerasan seksual, tapi kapitalisme liberalisme lah yang telah merampas kemuliaan perempuan!
Ketika Islam membagi peran publik yang lebih besar kepada laki-laki dan peran domestik yang lebih dominan bagi perempuan, bukan berarti laki-laki lebih mulia dibanding perempuan. Pun ketika perempuan tergantung secara ekonomi kepada laki-laki bukan berarti laki-laki bisa semena-mena kepada perempuan.
Nah menjadi jelas bahwa ketertindasan perempuan bukan disebabkan oleh apa yang disebut mereka sebagai "patriarkis" ditengah masyarakat yang juga ikut dilabelkan kepada agama Islam. Ketertindasan perempuan terjadi justru ketika laki-laki tidak melaksanakan kewajibannya sebagai pelindung perempuan sebagaimana yang telah Islam syariatkan.
Seorang guru menyampaikan bahwa syariat secara bahasa bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber air. Kebutuhan kita akan syariat sebagaimana kebutuhan kita akan air, yang tidak akan berhenti selama kita hidup. Oleh karenanya kita harus memperhatikan adab kita sebagai seorang hamba ketika berhadapan dengan sumber syariat.
Memahami atau menafsirkan Alquran harus dimulai dengan keyakinan dan keimanan bukan dengan kacamata keraguan dan skeptisisme akut akan kesempurnaannya. Akal harus ditundukkan pada makna yang ditunjukkan oleh nash, bukan sebaliknya memaksakan logika manusia kepada nash. Dengan demikian, kita menempatkan diri kita sebagai hamba yang siap taklif, bukan justru bersikap pongah dan sombong.
Mengapa saya menyebut perjuangan feminisme adalah upaya cet langet? (melukis langit). Karena telah jelas bahwa feminisme mengembangkan pandangan yang cacat terhadap pernikahan, peran keibuan, dan unit keluarga sebagai struktur patriarki. Mereka menjadikan laki-laki dan struktur keluarga tradisional menjadi sasaran kemarahan dan kebencian. Laki-laki senantiasa dipandang dengan kecurigaan dan dianggap musuh, yang menunggu untuk mengambil hak-hak mereka. Feminisme adalah konsep yang cacat dan tidak masuk akal.
Kini, seabad penuh perjuangan feminisme telah berlangsung, namun para feminis belum mampu mengembalikan urusan perempuan kepada yang seharusnya. Mereka juga tidak mampu memberikan kepada perempuan hak-hak mereka seperti yang sudah mereka klaim. Malah keberadaan mereka menjadi kambing hitam bagi begitu banyak masalah yang dialami perempuan dunia, termasuk nasib perempuan di pusat peradaban liberal di Barat.