Menyoal Akar Masalah Hamil diluar Nikah


author photo

28 Jan 2023 - 11.02 WIB



Oleh: Rahmawati, S.Pd

Dewasa ini public cukup dibuat ramai dengan adanya berita dijagat social tentang permohonan dispensasi pernikahan ke Pengadilan Agama (PA) setempat yang dilakukan oleh ratusan pelajar usia sekolah, tepatnya di Ponorogo, Jatim. Fenomena ini juga terjadi dibeberapa kota/kabupaten lainnya seperti yang terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).  Banyak anak-anak usia 14 tahun yang menikah siri. Informasi ratusan anak menikah dini tersebut terjadi pada setahun terakhir ini, seperti pernyataan Nurkaidah, kepala Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak dan Perempuan (PPHAP), Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) PPU, kemarin, memantik keprihatinan sejumlah pihak.

Merespon fenomena tersebut pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pendewasaan usia perkawinan (PUP). Dalam kebijakan tersebut, usia ideal perkawinan adalah minimal 20 tahun bagi Wanita, dan minimal 25 tahun bagi laki-laki. Berbagai alasan ilmiah pun turut andil dalam kebijakan PUP tersebut. Seperti factor biologis, Kesehatan mental, social ekonomi, dll yang dinilai berpengaruh pada usia perkawinan. Pemerintah juga melakukan program Pendidikan Seks dengan harapan pelajar bisa lebih paham terkait masalah seksualitas. 

Menanggapi kebijakan tersebut, sejatinya Pendidikan seks bukanlah solusi yang tepat mengingat akar masalah dalam kasus maraknya pelajar hamil diluar nikah ini bukanlah karena mereka minim Pendidikan seks, melainkan pergaulan bebas. Tidak adanya batasan antara laki-laki dan perempuan, sanksi tegas bagi para penonton, penyebar, hingga pelaku perzinahaan mendorong para pelajar semakin bebas melampiaskan naluri seksual. Persoalan besarnya stimulus yang mempengaruhi syahwat seolah hilang dalam perhatian. 

Di era serba digital saat ini, sangat mudah sekali bagi para remaja untuk mengakses konten berbau pornografi dan pornoaksi. Konten negatif seperti umbar kemesraan bersama lawan jenis, campur baur antara laki-laki dan perempuan seperti party, hingga hubungan sesama jenis dibiarkan begitu saja di media social dengan alasan kebebasan berekpresi. Padahal konten-konten non edukatif tersebut merupakan salah satu bentuk stimulus yang tentu akan memberikan dorongan untuk para pelajar melakukan hubungan perzinahan. Nau’dzubillah

Dalam paradigma sistem kapitalisme, adanya naluri berhubungan seks dengan lawan jenis merupakan sesuatu yang dianggap sebagai kebutuhan, sehingga harus dipenuhi. Tidak heran bagi sistem pemuja kebebasan konten-konten porno justru diberi dukungan bahkan dengan mudah mendapat izin industry yang kemudian dijual atau ditayangkan ke para remaja.

Pandangan Islam

Adanya syahwat -dorongan berhubungan seks- merupakan sesuatu yang fitrah dalam islam yaitu bagian dari naluri (Gharizah an-naw’) atau naluri melestarikan keturunan. Islam tidak pernah mempersoalkan batas usia tertentu dalam melangsungkan ikatan pernikahan. Ketika seorang Muslim/Muslimah telah baligh dan telah sanggup memikul Amanah dan tanggung jawab pernikahan makai a diperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan tersebut. Namun, bagi yang telah baligh tetapi belum mampu melaksanakan amanah tersebut maka islam memerintahkan untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. 

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alaih).

Gharizah an-naw’ ini, telah diatur dalam Islam agar tidak menimbulkan kerusakan dan kekacauan di  masyarakat seperti yang kita hadapi saat ini. Dalam Islam, hukum asal laki-laki dan perempuan adalah terpisah. Karenanya, Islam memberikan batasan-batasan tertentu dalam mengatur interaksi antar lawan jenis tersebut. Islam melarang adanya khalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahram) atau ikhtilat (bercampur baur laki-laki dan perempuan) tanpa keperluan dan kepentingan yang dibenarkan oleh Syariat. 

Pengaturan semacam ini, tentu bukan dengan tujuan memberikan batasan atau bentuk pengekangan terutama bagi para perempuan seperti yang sering diungkapkan oleh kaum Feminime tentang Islam. Justru adanya pengaturan semacam ini, menimalisir bahkan mencegah adanya praktik hubungan yang tidak halal seperti pacaran, hubungan seks hingga berujung hamil diluar nikah. 

Keluarga akan memaksimalkan pola pengasuhan sesuai jenis kelamin anak. Keluarga akan mendidik seorang anak laki-laki untuk menjadi pemimpin (qawwam) dan anak perempuan sebagai seorang calon ibu. Pola ini akan membentuk pemahaman mengenai konsekuensi hukum pada setiap fase usia manusia, mulai dari usia dini, mumayiz, prabalig, balig, hingga menikah.

Pendidikan ini didukung kurikulum pendidikan yang negara terapkan secara formal. Selain membentuk kepribadian yang mampu mengharmonisasikan pola pikir dan pola sikap, kurikulum di pendidikan formal juga bermuatan skill bagi penguatan karakter pemimpin pada laki-laki dan karakter keibuan pada perempuan. Pada masa kekhalifahan Islam, sekolah-sekolah menerapkan hal ini untuk mendukung kesiapan para pemuda memasuki jenjang usia pernikahan.

Pengontrolan semacam ini tentu memerlukan peran orangtua, masyarakat, dan yang terpenting ialah peran negara. Karena hanya negara yang mampu memberikan regulasi secara sistemik dan hanya negara pula yang mampu memberi sanski tegas bagi industry atau siapapun yang dengan sengaja mengumbar konten-konten yang tidak edukatif bahkan merusak generasi muslim.  Suasana seperti ini hanya bisa kita dapatkan dalam sistem yang menerapkan syariat Islam secara Kaffah. 

Wallahu’alam bis shawab
Bagikan:
KOMENTAR