Sejarah Masjid Besar Bujang Salem


author photo

26 Apr 2024 - 13.48 WIB


Dan Akan Melakukan Renovasi Dua Kubah

Gelora Perang Aceh melawan kolonial Belanda terjadi tahun 1873. Dalam berkecamuknya perang yang digelorakan melalui semangat perang sabil banyak wilayah di Aceh mendirikan masjid. Masjid di Aceh saat itu disamping sebagai tempat ibadah dan pendidikan juga sebagai tempat menyusun strategi perang melawan penjajah kolonial.

Banyak cerita kalau mesjid di Aceh merupakan benteng pertahahan, salah satunya masjid Bujang Salem di Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara yang didirikan pada tahun 1923. Sebagaimana masjid masjid lain di Aceh, masjid Bujang Salem juga memiliki sejarah penting pada masa penjajahan Belanda.

Beberapa orang pemerhati sejarah Dewantara diantaranya Nyak Matsyah dan Mandor Gadeng keduanya sudah almarhum pernah menceritakan tentang

riwayat kecamatan Dewantara yang ketika itu membawahi lima Mukim yaitu, Mukim Krueng Geukueh, Cot Murong, Lhokweng, Keude Amplah dan Mukim Blang Dalam.


Adalah Tgk Rhi Bujang Bin Rhi Mahmud panggilan Bujang Salem atau Bujang Selamat (1891 –1959), seorang pahlawan rakyat yang merintis pembangunan masjid ini yang kemudian dinamakan masjid Bujang Salem sebagai mengenang kepahlawanan beliau.

“Masjid ini memang dirintis pembangunannya masa penjajahan Belanda oleh Tgk Rhi Bujang atau Bujang Selamat. Dia merupakan seorang tokoh, ulama dan pejuang sekaligus yang mengobarkan perlawanan kepada Belanda
hingga kemudian beliau dibuang ke Van Digul, Papua dan diasingkan ke Australia,” kata Nyak Matsyah dan ikut diiyakan oleh Mandor Gadeng.

Menurut Nyak Matsyah, sejarahnya demikian. Yang dibangun tidak saja masjid Bujang Salem, masjid di Nisam dan Lhok Weng juga, pembangunannya diprakarsai Tgk. Bujang Selamat dan sama fungsinya yaitu untuk menyusun strategi perang melawan kolonial, selain untuk melaksanakan ibadah, pendidikan dan musyawarah.

Diceritakan, masjid Bujang Salem pada saat pertama dibangun hanya pondasi lantai dan dindingnya yang beton sementara lainnya dari kayu. Lantai dan dindingnya menggunakan beton campuran pasir, batu kapur dan telur ayam sebagai zat perekat.

Masjid yang terlihat sekarang cukup megah di Aceh Utara ini, saat pertama dibangun luasnya disebutkan cuma12 x 12 meter persegi. Masjid ini telah beberapa kali mengalami renovasi. Renovasi perluasan pertama dilakukan pada tahun 1946 dilanjutkan lagi tahun 1974. Renovasi tahun 1974 mesjid ini diperluas dengan menambah teras di depan serta samping kiri dan samping kanan hingga berukuran 50 x 30 meter.

Selesai renovasi tahap II lalu oleh Mukim Krueng Geukueh ketika itu yang juga Imam Besar masjid ini, Tgk H. Adamy Puteh bersama Tgk H Agani, Ketua Pelaksana Renovasi, Lalu Bujang Salem diabadikan menjadi nama resmi masjid ini. Seterusnya renovasi kembali dilakukan pada tahun 1986 yang dimotori beberapa tokoh kecamatan Dewantara dan Nisam.

Camat Dewantara saat itu, Drs Marzuki Muhammad Amin menjadi Ketua Umum Renovasi. Ketua Pelaksa Renovasi, Tgk H Abubakar Nisam Jaya, (almarhum). Marzuki M Amin hingga menjabat Walikota Lhokseumawe masih tetap menjadi Ketua Umum Renovasi Masjid Bujang Salem.


Yang membanggakan dalam pembangunan renovasi ke tiga masjid Bujang Salem sumber dana sepenuhnya melalui partisipasi dan sumbangan perorangan, Pimpinan Proyek vital dan karyawan seperti, PT AAF, PIM, PT Arun dan PT KKA, PNS, Pegawai BUMN, swasta dan instansi pemerintah,bbaik kabupaten maupun provinsi dan pusat.

Dari luas sebelumnya 50 x 30 meter kini menjadi 95 x 80 meter dengan lima buah kubah. Masjid ini juga dilengkapi ruang pertemuan, kantor serta ruangan Radio FM Bujang Salem. Disampingnya berdiri bangunan Serba Guna, dua lantai. Lantai dasar sebagai tempat wudhuk
dan lantai dua sebagai ruangan pertemuan dengan kapasitas 500 orang.

Ruangan ini untuk pertama kali digunakan sebagai tempat pertemuan Mubahasah Ulama se-Aceh yang berlangsung awal Agustus 2009. Masjid termegah di Aceh Utara saat ini telah menghabiskan biaya hampir Rp. 20 miliar termasuk sebuah menara induk setinggi 50 meter didepannya.

Selama berdiri, mesjid ini sudah sering dijadikan sebagai tempat pertemuan penting para ulama dan umara baik level daerah maupun nasional. Sebut saja dalam peringatan Israk Mikraj tahun 2004 yang dihadiri Susilo Bambang Yudoyono, Presiden ke 6 Republik Indonesia yang didampingi Surya Paloh.

Penghargaan.

Masjid Besar Bujang Salim meraih penghargaan sebagai juara satu lomba masjid percontohan kategori Ri’ayah (pembangunan/pemeliharaan) tingkat nasional tahun 2016 yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) RI. Pada
awal 2016, Masjid Besar Bujang Salim terpilih menjadi masjid besar percontohan di Aceh, menjadikannya sebagai wakil provinsi Aceh untuk mengikuti lomba masjid tingkat nasional yang diadakan Kementerian Agama RI melalui
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

Proses penilaian diawali dengan verifikasi oleh tim Kemenag RI pada September 2016.
Tim yang turun langsung ke lokasi masjid ini, menilai idarah (manajemen), imarah
(kemakmurah/peribadatan), dan ri’ayah. Aspek penilaian bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga sarana dan kegiatan di masjid. Hasil verifikasi lapangan ini diperiksa kembali dalam sidang yang melibatkan Dewan Majelis Indonesia (DMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), panitia lomba, serta organisasi masyarakat Islam.

Sementara rencana selanjutnya diatas lahan bekas SD Negeri 3 Dewantara yang telah dihibbah oleh Pemkab Aceh Utara melalui bupati H Muhammad Thaeb  menurut Imum Syik Tgk Zainuddin Basyah kini sudah dibangun enam pintu pertokoan dan sudah disewakan yang sebelumnya dijadikan sebagai areal parkir kenderaan roda dua. “Kadang juga disewakan kepada siapa yang meminta untuk tempat pesta”,sebut Tgk Zainuddin Basyah. 

Sementara Tgk H Jalaluddin H Ibrahim atau Waled Jala dalam pertemuan dengan Media ini Kamis ( 25 April 2024 menjelaskan, segera akan melakukan renovasi dua kubah belakang yang saat ini masih terlihat dalam kondisi darurat. “ Mudah mudahan bila rencana ini telaksana bentuk Masjid Besar Bujang Salem tambah mengagumkan (Catatan: Usman Cut Raja)
Bagikan:
KOMENTAR