STOP Bullying Oleh Anak!


author photo

8 Apr 2024 - 08.37 WIB



Oleh : Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)

Kasus bullying atau perundungan saat ini menjadi kian marak. Kaum ibu dibuat khawatir dengan merebaknya video ataupun tayangan kekerasan di media sosial. Ketakutan menghampiri manakala anak-anak mereka bisa saja menjadi korban atau bahkan  pelaku kekerasan. 

Seperti halnya yang belakangan terjadi. Video berisi tayangan pengeroyokan siswa salah satu SMPN di Balikpapan Timur yang menjadi viral di media sosial. Motif pengeroyokan tersebut dipicu oleh tindakan korban yang terlebih dahulu mengirimkan gambar asusila kepada keluarga pelaku. Sehingga menimbulkan kemarahan dan melampiaskannya dengan melakukan aksi pengeroyokan. 

Pihak sekolah bersama Polresta Balikpapan membantu melakukan mediasi dengan pihak-pihak terkait. Kasi Humas Polresta Balikpapan, Ipda Sangidun, mengatakan bahwa mediasi yang dilakukan berhasil dan tidak ada tuntutan atau keberatan yang diajukan oleh pihak korban. Namun sebagai bentuk pembinaan dan edukasi, para pelaku pengeroyokan dikenakan wajib lapor selama 3 bulan dan pendampingan psikologis. Pihak sekolah juga berjanji akan memperketat pengawasan terhadap siswa siswi mereka. 

Contoh kasus ini seolah membukakan mata kita bahwa kasus bullying begitu sangat dekat. Ini hanya satu dari sekian banyak kasus yang mencuat ke media sosial. Belum lagi dengan kasus serupa yang tidak terlapor dan terdata.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Samarinda mendata sebanyak 240 kasus terjadi di Ibu Kota Provinsi Kaltim itu, disusul Bontang dengan 106 kasus dan Balikpapan dengan jumlah 66 kasus. Kondisi ini mendesak Disdikbud untuk segera mengambil langkah serius. Oleh karenanya  di bentuk Tim Pencegahan dan Penanganan (PPK) di sekolah-sekolah dan Tim Satuan Tugas di kabupaten, kota, provinsi. Setiap satgas TPPK dibentuk dari tiga orang (minimal) yang terdiri dari guru, orang tua murid atau komite sekolah, serta masyarakat.

Namun, adanya edukasi, pengawasan ketat oleh pihak sekolah ditambah dengan dibentuknya satgas TPPK nyatanya tidak mengurangi angka kasus bullying. Bahkan ini menjadi salah satu  PR besar bagi pemerintah yang harus segera diselesaikan. 

Cara Pandang yang Salah

Semakin maraknya kasus bullying ditambah semakin mudanya usia pelaku menandakan bahwa mekanisme yang telah dilakukan tidak menyentuh akar permasalahan. Tentu harus jeli melihat penyebab utama dari permasalahan ini.
 
Sebagai mana kita ketahui, Indonesia dengan sistem kehidupan yang dianutnya, yakni kapitalisme sekularisme menjadikan standar berbuat adalah kebebasan termasuk berekspresi dan berpendapat. Artinya tidak boleh ada pelarangan bagaimana mengekspresikan tingkah laku seseorang. Setiap individu diberikan kebebasan sekalipun dapat merugikan orang lain, melanggar norma bahkan agama sekalipun. 

Sebaliknya agama yang harusnya menjadi rambu kehidupan, menjadi ukuran dan standar perbuatan di tempatkan hanya dalam porsi kecil yakni ibadah. Inilah asal muasal dari rusaknya perilaku generasi saat ini. Kenakalan remaja seperti narkoba, miras, ngelem, tawuran, pergaulan bebas, pelecahan seksual termasuk bullying bermuara dari satu sumber yakni sistem hidup yang bathil, sistem kapitalisme sekularisme

Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk di cermati ialah terkait hukum yang ada. Tidak ada penurunan angka kasus bullying dikarenakan hukum dan sanksi yang tidak tegas bahkan lempem dalam menindak pelaku. Apalagi hukum di Indonesia menetapkan batas usia dewasa adalah 18 tahun sehingga dibawah usia tersebut dikategorikan anak-anak. Sehingga pelaku bullying usia sekolah mendapat perlindungan hukum sekalipun dampak yang ia lakukan sedemikian parah hingga menyebabkan kematian.

Syariat Mengatasi Bullying

Apa pun bentuknya, Islam melarang perundungan atau pembullyan. Dalam Islam, perundungan adalah perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Larangan ini tertulis dalam Al-Qur’an.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujurat: 11).

Dari aspek hukum positif terkait perlindungan anak telah diatur dalam UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan “anak” adalah ‘seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan’.
Namun dalam Islam, tidak ada istilah anak di bawah umur. Ketika anak sudah balig, ia menjadi mukkalaf. Artinya, mereka sudah menanggung segala konsekuensi taklif atau beban hukum yang berlaku dalam syariat Islam. 

Dalam syariat Islam, siapa pun yang sudah terbebani hukum syariat, jika melanggar ketentuan syariat, ia harus menanggung sanksi yang diberikan. Namun, dalam pandangan kapitalisme sekularisme, anak yang sudah balig, jika masih di bawah usia 18 tahun, tetap diperlakukan layaknya anak-anak. 

Pemahaman semacam inilah yang membuat anak kurang bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Kedewasaan dirinya tidak terbentuk karena selalu dianggap sebagai anak-anak. Sedangkan ketika Islam menjadi landasan aturan kehidupan, dilingkungan keluarga anak akan mendapat pemahaman saat memasuki usia balig terkait tanggung jawab, taklif hukum, serta konsekuensi setiap perbuatannya.

Ditambah lagi dengan adanya sinergi dari sistem pendidikan yang akan menyesuaikan kurikulum yang ada dengan syariat. Sehingga anak akan semakin terbentuk menjadi pribadi yang bersyaksiah Islam. Pola pikir dan pola sikapnya akan sesuai dengan tuntunan syara. Alhasil anak generasi kita akan jauh dari perilaku kriminal dan fokus dengan beramal shalih. 

Selain itu, tidak lupa kontrol dan pengawasan masyarakat dengan dakwah amar nahi mungkar. Jika peran masyarakat berfungsi optimal, tidak akan ada kemaksiatan atau pelanggaran yang ditoleransi karena masyarakat membiasakan diri untuk peduli dan saling menasihati. 

Selanjutnya fungsi negara sebagai penjaga dan pelindung generasi dari berbagai kerusakan harus menyeluruh dan terdepan. Negara harus melarang dan menyortir segala hal yang merusak, seperti tontonan berbau sekuler dan liberal, media porno, kekerasan dan hal-hal lain yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kemaksiatan seperti perilaku bullying.  Selain itu negara akan memberlakukan sanksi tegas terhadap pelaku berupa hukum takzir yang akan ditetapkan oleh khalifah sesuai dengan kadar kemudharatan yang dilakukan. Wallahu a’lam bishawab
Bagikan:
KOMENTAR