Oleh : Halimatus sa'diah S.Pd
Permasalahan stunting di Indonesia masih hangat di perbincangkan di tengah- tengah masyarakat. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kenaikan masalah stunting seakan tidak ada habisnya. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi stunting di antaranya: Memberikan makanan tambahan, Pendidikan gizi untuk ibu, Perbaikan sanitasi, Program sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi pada seribu hari pertama kehidupan anak, Peningkatan akses ke layanan kesehatan.
Dari kilasberita (26/11/24) SAMARINDA, Bukan gerakan biasa melainkan Gerakan Masyarakat Makan Ikan yang berlangsung di Jalan Pelabuhan Lama, Kelurahan Rawa Makmur, Palaran, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, pada Selasa (26/11/2024) pagi tadi. Event garapan Dinas Perikanan Kota Samarinda ini sebagai dukungan kreasi masyarakat melalui lomba kreasi masakan dari olahan ikan dengan berbagai kategori.
Mengingat sambung protein yang terkandung didalam ikan sendiri memberikan kontribusi terbesar dalam kelompok sumber protein hewani yaitu 51,7% disamping daging, susu dan telur. Wakil Walikota Samarinda Dr. H Rusmadi hadir dalam kesempatan itu sekaligus menggaungkan kepada masyarakat untuk gemar makan ikan. Menurutnya, salah satu perkembangan stunting adalah kurangnya asupan gizi ikan. Gerakan gemar makan ikan jelas membantu pemerintah dalam menekan angka kasus stunting yang ada di Kota Samarinda.
Pada tahun 2023, angka stunting di Indonesia tercatat sebesar 21,5 persen, turun dari 30,8% pada tahun 2018. Target yang ingin dicapai adalah 14% pada 2024. Angka stunting memang sudah menunjukkan penurunan tetapi bukan berati tidak ada. Inilah realitas solusi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat akan tetapi bagaimana mau gemar makan ikan jika masyarakat tak mampu menjangkaunya. Selain itu perlindungan keamanan ikan dari zat berbahaya pun minim. Ini juga menggambarkan seakan pemerintah bingung melakukan upaya untuk penurunan angka stunting sehingga hal konyol pragmatis dilakukan yang penting progam dan dana jalan.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak. Selain ditandai dengan tubuh pendek atau kerdil, stunting juga ditandai dengan terganggunya perkembangan otak. Penyebab stunting karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani. Menurut Prof. dr. Endang, L. Achadi, Ph. D hampir 50 persen kasus stunting tercipta dari kehamilan.
Jika dilihat dari latar belakang munculnya kasus stunting, dapat kita tarik garis kesimpulan bahwa stunting disebabkan kurangnya gizi, yang berkait erat dengan kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya kasus stunting di negara-negara miskin semisal Afrika. Sedangkan kemiskinan tercipta oleh sistem kapitalisme. Karena dalam sistem ini, ekonomi sebagai basis kesejahteraan dijalankan berdasar hukum rimba, yang kuat menguasai yang lemah. Sehingga yang terjadi, segelintir orang kaya yakni para kapital, menguasai masyarakat luas. Ketergantungan masyarakat pada para kapital (pengusaha) begitu tinggi, lewat upah kerja yang diberikan. Terciptalah disparitas yang begitu tinggi antara si kaya dan si miskin.
Oxfam, sebuah organisasi nirlaba Inggris, melaporkan jumlah miliarder dunia meningkat sebanyak dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. Sementara itu, harta milik 2.153 orang terkaya di dunia jika diakumulasikan, sepadan dengan uang yang dimiliki oleh 4,6 miliar orang termiskin di seluruh negara dunia pada 2019. Di Indonesia, tahun 2017 Oxfam menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 40% penduduk miskin, atau 100 juta orang termiskin. Dari gambaran ini terlihat jelas bagaimana kapitalisme telah menciptakan kemiskinan secara sistemik.
Adapun solusi stunting dengan perbaikan gizi keluarga dan pendampingan keluarga beresiko sebagaimana diprogramkan oleh BKKBN, nyatanya tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, terlebih di masa pandemi, membuat jutaan keluarga tidak mampu mengakses makanan bergizi. Kondisi ini diperparah dengan tingginya impor bahan pokok yang membuat harga kebutuhan tidak stabil, cenderung mengikuti permainan pasar. Di sisi lain, ekspor barang-barang konsumsi tetap berjalan tanpa memprioritaskan kecukupan kebutuhan dalam negeri. Aksi ekspor-impor dimainkan oleh para pengusaha. Penguasa tidak berbuat banyak untuk mengendalikan, karena tata kelola negara bercorak kapitalisme tentu lebih berpihak pada kepentingan para kapital. Muaranya, masyarakat kembali menjadi korban.
Maka bagaimanapun program penanganan stunting digiatkan, selama kapitalisme masih menjadi sistem kehidupan, stunting tidak akan mampu terselesaikan. Karena persoalan stunting bukan semata karena kurangnya akses makanan bergizi, melainkan sistem yang menaungi kehidupan itulah yang telah menciptakan kemiskinan sistemik.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam justru secara alami mampu menciptakan kesejahteraan. Islam menjamin sandang pangan papan masyarakat, selain itu jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan sehingga masyarakat terpenuhi kebutuhannya dan sejahtera. Lewat penerapan ekonomi Islam, meniscayakan pengurusan umat dilakukan secara berkualitas dan maksimal. Negara Islam memiliki pos-pos pendapatan yang telah ditetapkan syara’, tersimpan di baitul mal dan dipergunakan sesuai dengan pos-pos pengeluaran dalam rangka memberikan pelayanan pada umat.
Negara Islam juga tidak akan membiarkan terjadinya monopoli ekonomi oleh segelintir individu. Karena syariah telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Harta milik umum semisal sumber daya alam akan dikelola oleh negara dan dipergunakan dalam pembiayaan pengurusan masyarakat. Dengan kuatnya anggaran yang ada, kesejahteraan bukan sesuatu yang sulit untuk diwujudkan.
Adapun impor dan ekspor maka negara Islam akan melaksanakannya berdasar ketetapan syara terkait jenis komoditi, dengan tetap memprioritaskan kecukupan dalam negeri. Tidak akan menyerahkan aktifitas ini kepada pihak swasta untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan masyarakat.
Islam tidak memandang kesejahteraan dengan tercapainya deretan angka dalam data pendapatan perkapita penduduk, sebagaimana pandangan kapitalisme. Namun Islam memandang kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar individu per individu. Dari landasan syara inilah, Khalifah sebagai pemimpin negara Islam akan berusaha keras merealisasikan kesejahteraan bagi seluruh individu masyarakat.
Tercermin dalam kisah mahsyur tentang Khalifah Umar bin Khattab yang memikul dengan kedua tangannya sekarung gandum untuk diberikan pada keluarga wanita miskin yang memasak batu untuk anak-anaknya. Sang khalifah menolak tawaran dari pengawal untuk sekedar membawakan karung gandum, demi memenuhi kewajibannya meriayah (mengurusi) kebutuhan per individu rakyat.
Maka jelaslah, penerapan sistem Islam lewat sistem ekonominya akan mampu menciptakan kesejahteraan. Masyarakat mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan juga kebutuhan dasar lainnya hingga ketenangan hidup dapat dirasakan. Kondisi ini pernah berlangsung saat sistem Islam tegak selama kurang lebih 13 abad. Tentu kita sangat rindu kondisi demikian dapat kita rasakan hari ini.
Menjadi jelas pula, problem stunting yang mendunia hanya bisa diatasi dengan penerapan sistem Islam yang mensejahterakan. Sistem kapitalisme jelas gagal mengatasi stunting, karena justru sistem inilah yang menjadi akar persoalan. Suport sistem dalam Islam cegah stunting, generasi tidak hanya sehat fisiknya tetapi juga berkualitas.
Wallahu alam bisshowwab