IKN: Megaproyek Fisik yang Mengabaikan Moral Sosial


author photo

11 Mei 2025 - 08.29 WIB



Oleh : Lili Agustiani

Satpol PP Penajam Paser Utara (PPU) mengungkapkan maraknya praktik prostitusi online di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), khususnya di Desa Bumi Harapan, yang dilakukan melalui aplikasi seperti MiChat dan beroperasi di guest house karena biaya sewa yang lebih murah dibanding hotel.
Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Satpol PP PPU, Rakhmadi, mengatakan bahwa meskipun pihaknya telah dua kali melakukan penggerebekan dan memulangkan para pekerja seks ke daerah asal mereka, praktik ini tetap marak dengan tarif layanan Rp300.000–Rp500.000 per transaksi. Ia menjelaskan bahwa sebagian besar PSK yang terlibat berasal dari luar daerah, seperti Makassar, Surabaya, dan Bandung, dan mereka menyasar pekerja IKN yang jauh dari keluarga.
Rakhmadi menegaskan bahwa masalah ini tidak hanya berdampak pada hukum, tetapi juga mengancam moral, sosial, dan kesehatan masyarakat, sehingga dibutuhkan kerja sama dari pemerintah, RT, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta edukasi lewat media dan lembaga keagamaan untuk penanganan yang lebih komprehensif.
Maraknya prostitusi online di kawasan IKN tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menjadi dasar pembangunan. Dalam sistem ini, pembangunan hanya diukur dari aspek materi dan pertumbuhan ekonomi. Penataan sosial, budaya, dan akhlak dianggap bukan prioritas. Wajar jika pembangunan fisik IKN digenjot habis-habisan, sementara kerusakan sosial seperti prostitusi justru makin menggurita.
Kapitalisme mendorong negara untuk menarik investasi sebesar-besarnya, bahkan dengan membuka lebar liberalisasi gaya hidup. Pekerja dari luar daerah yang datang tanpa keluarga, tanpa kontrol sosial, menjadi target empuk industri maksiat. Ini bukan sekadar penyimpangan individu, tetapi produk sistem yang memperbolehkan eksploitasi tubuh demi keuntungan ekonomi.
Sekulerisme semakin memperparah keadaan. Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan publik dan hanya ditempatkan di ranah pribadi. Ini membuat nilai-nilai moral tidak menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan pembangunan. Tak ada lagi pertimbangan halal-haram atau maslahat umat. Akhirnya, negara hanya fokus pada infrastruktur, bukan peradaban.
Liberalisme menambah kompleksitas kerusakan. Dengan menjunjung kebebasan individu tanpa batas, setiap orang merasa berhak melakukan apa saja selama tidak “mengganggu” orang lain secara langsung. Prostitusi, sekalipun merusak moral dan menyebarkan penyakit sosial, dianggap sekadar pilihan hidup. Negara pun ragu menindak tegas karena khawatir dianggap melanggar hak asasi.
Ketiga sistem ini bekerja secara sistemik dari hulu ke hilir. Dari perencanaan pembangunan, penataan ruang, sistem pendidikan, hingga kontrol sosial—semuanya diwarnai oleh nilai-nilai sekuler liberal. Tidak ada penguatan ketakwaan individu sejak dini, tidak ada kontrol masyarakat berbasis akidah, dan tidak ada negara yang bertanggung jawab menegakkan syariat secara menyeluruh.
Pembangunan IKN hari ini tampak megah dari luar, namun rapuh di dalam. Ia seperti rumah besar tanpa fondasi akhlak dan aturan hidup yang benar. Ketika fondasi ini tak dibangun dari awal, maka yang terjadi bukan kota masa depan, tapi kota yang menyimpan bara kehancuran sosial di masa depan.
Islam tidak membiarkan masyarakat hidup dalam kebebasan tanpa arah seperti dalam sistem liberal-sekuler. Islam membangun masyarakat secara menyeluruh, mulai dari individu, keluarga, masyarakat hingga negara, dengan fondasi akidah Islam. Dalam pandangan Islam, pembangunan tidak hanya soal fisik dan ekonomi, tetapi juga ruhiyah dan moralitas. Ketika Rasulullah ﷺ membangun Madinah, yang pertama ditata adalah peradaban, bukan beton. Masjid, aturan pergaulan, ukhuwah Islamiyah, dan pendidikan keimanan menjadi dasar tatanan masyarakat.
Islam menyelesaikan masalah prostitusi tidak dengan pendekatan tambal sulam atau seremonial, melainkan dengan sistem yang kokoh. Pertama, individu dibina agar memiliki ketakwaan, sehingga memiliki kontrol diri yang kuat terhadap dorongan hawa nafsu. Pendidikan Islam bukan sekadar hafalan, tapi pembentukan pola pikir dan pola sikap yang bersandar pada halal-haram, bukan manfaat semata. Dengan ini, lahirlah generasi yang malu berbuat dosa meski dalam kesendirian.
Kedua, masyarakat dibentuk agar menjalankan fungsi kontrol sosial yang aktif. Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban kolektif, bukan sekadar anjuran. Masyarakat yang Islami tidak akan diam saat kemungkaran menyebar. Mereka akan menegur, memperingatkan, dan mengingatkan sesama dengan adab dan tanggung jawab. Tak hanya tokoh agama, tapi seluruh komponen masyarakat memiliki peran sosial untuk menjaga lingkungannya dari kemaksiatan.
Ketiga, negara dalam Islam memiliki peran krusial sebagai pelindung moral masyarakat. Negara Islam (khilafah) tidak hanya mengatur urusan administrasi dan infrastruktur, tetapi menjadi penjaga akidah dan pelaksana syariat. Dalam konteks prostitusi, negara menutup semua pintu yang mengarah pada zina: dari ikhtilat, khalwat, pornografi, hingga media-media yang menggiring pada syahwat. Ini adalah tindakan preventif yang tidak dilakukan negara sekuler saat ini.
Keempat, Islam juga mengatur sistem ekonomi agar setiap orang bisa mencukupi kebutuhannya tanpa menjual kehormatan. Prostitusi sering kali muncul karena tekanan ekonomi, dan sistem kapitalisme yang timpang menyuburkannya. Dalam Islam, negara menjamin kebutuhan dasar setiap warga—sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan—dengan sistem distribusi kekayaan yang adil. Dengan ini, perempuan tidak perlu menjadikan tubuhnya sebagai komoditas. Wallahu a’lam bishowab
Bagikan:
KOMENTAR