"

Ketimpangan Pendidikan, Konsekuensi Logis Tatanan Kehidupan


author photo

9 Mei 2025 - 08.38 WIB




Oleh: Zuliana

Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Namun, hingga hari ini, banyak anak bangsa yang belum menikmati hak tersebut secara adil dan merata. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menjadi pengingat keras bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan.


Dari total penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas, hanya 30,85% yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga SMA/sederajat. Lebih rendah lagi, hanya 10,20% yang mampu menuntaskan pendidikan tinggi. Sebaliknya, 24,72% penduduk hanya tamat SD, dan 22,79% hanya sampai SMP. (kompas.com)

Artinya, hampir setengah dari populasi dewasa kita masih terjebak dalam pendidikan dasar dan menengah pertama.


Yang lebih mencemaskan, ketimpangan pendidikan antar wilayah terlihat sangat tajam. Provinsi DKI Jakarta mencatat rata-rata lama sekolah tertinggi, yaitu 11,5 tahun—hampir lulus SMA. Sementara di Papua Pegunungan, rata-rata lama sekolah hanya 5,1 tahun. Ini berarti banyak warga di sana belum menyelesaikan SD.

Ketimpangan seperti ini tidak hanya menjadi masalah pendidikan, tetapi juga masalah keadilan sosial dan pembangunan jangka panjang.


Ekonom dan pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Alika Wahid, pernah mengatakan bahwa “pendidikan adalah prasyarat utama bagi pembangunan berkelanjutan.” Tanpa pemerataan akses pendidikan, ketimpangan sosial dan ekonomi akan terus melebar.

Ketimpangan ini tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari beragam hambatan struktural: keterbatasan infrastruktur, jumlah dan kualitas guru yang tidak merata, serta sulitnya akses pendidikan di wilayah terpencil. Anak-anak di desa atau daerah pegunungan harus menempuh jarak yang jauh untuk mencapai sekolah, kadang tanpa transportasi memadai.


Faktor sosial dan ekonomi juga memperburuk keadaan. Banyak keluarga miskin yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Di beberapa wilayah, anak-anak justru lebih diprioritaskan untuk membantu pekerjaan orang tua ketimbang duduk di bangku sekolah.

Pemerintah memang telah mengeluarkan berbagai program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun efektivitas program-program ini belum merata, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).


Sistem pendidikan kapitalisme ini menjadikan peran negara dalam mengurusi urusan rakyatnya “setengah hati” karena yang dipikirkan adalah keuntungan materi yang akan diperoleh penguasa dan pendukungnya.

Padahal, sarana dan prasarana pendidikan ini seharusnya menjadi tanggung jawab penuh negara. 


Pemerintah juga bukan tidak tahu dengan kondisi ini, bahkan sudah membuat kebijakan sebagai solusi. Namun, alih-alih menyolusi, kebijakan pemerintah justru melanggengkan praktik pendidikan mahal.

Kapitalisasi pendidikan tinggi merupakan hal lumrah di dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Di dalam sistem ini, pendidikan adalah komoditas yang bisa dibisniskan sebagaimana komoditas ekonomi lainnya. Hal ini berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) yang memosisikan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia.

Khilafah menyediakan pendidikan secara gratis bagi rakyat, termasuk pendidikan tinggi. Hal ini tertuang dalam Muqaddimah Dustur pasal 173 (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani), “Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yakni pendidikan dasar dan pendidikan menengah. 

Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara gratis

Ketersediaan dana yang kuat menjadi landasan utama untuk mewujudkan hal ini. Anggaran pendidikan bersumber dari Baitul Mal, khususnya dari pendapatan fai’, kharaj, dan aset milik umum. Pemerintah Khilafah mengelola sektor pendidikan secara langsung, tanpa melibatkan pihak swasta agar tetap terjaga arah dan tujuannya sesuai syariat.


Inilah jaminan pendidikan tinggi dalam Islam. Dengan kebijakan ini, wajar Khilafah dahulu pernah menjadi negara adidaya. Kini, agenda utama umat Islam adalah mewujudkan kembali negara yang menjamin pendidikan rakyatnya.
Bagikan:
KOMENTAR