Aceh — Hutan lebat Gayo Lues seluas 1.400 hektar terancam disulap menjadi lahan tambang emas oleh perusahaan raksasa milik Bakrie Grup. Aroma kepentingan korporasi mulai terasa menyengat, sementara para petani kopi Arabika Gayo—yang selama ini menjaga ekosistem kawasan itu—mulai menjerit.
Rencana eksploitasi ini memantik gelombang kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk mantan anggota DPD RI dua periode, Fachrul Razi. Dengan nada geram, ia menyatakan bahwa Aceh kembali “dirampok di atas kertas.”
“Aceh dapat apa? Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari tambang emas ini? Rakyat jelas tidak. Petani tidak. Lingkungan hancur. Yang menikmati hasil hanya segelintir elit dan konglomerat,” tegas Fachrul.
Fakta bahwa kawasan Gayo Lues selama ini menjadi penyangga ekosistem dan produsen kopi premium dunia, tampaknya tidak cukup kuat untuk membendung nafsu investasi tambang. Padahal, keberadaan tambang di wilayah hutan lindung tak hanya berisiko pada kerusakan lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan ribuan warga yang menggantungkan hidup dari hasil bumi.
Di tengah sorotan publik soal deforestasi dan krisis iklim, langkah pemerintah memberi izin pada tambang justru dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap masa depan Aceh. Aktivis lingkungan, akademisi, dan tokoh masyarakat pun menyerukan perlawanan.
“Ini bukan sekadar tambang emas, ini bom ekologis berdetak di jantung Gayo,” ujar seorang pemerhati lingkungan.
Pertanyaannya kini menggelinding: apakah uang dan emas lebih berharga daripada hutan, air, dan kehidupan masyarakat lokal? (A1)