Oleh : Purwanti, S.Pd (Guru BK SMP Samarinda)
Pendahuluan
Kasus penyebaran konten asusila oleh seorang remaja berinisial NK (18) terhadap mantan pacarnya ANP di Balikpapan menjadi sorotan publik. NK nekat menyebarkan konten asusila tersebut di media sosial dan melakukan pengancaman, yang akhirnya berujung pada penangkapan oleh Polresta Balikpapan. Kasus ini bukan hanya persoalan individu, melainkan juga cermin dari masalah sosial yang lebih luas terkait moralitas remaja, peran orang tua, masyarakat, dan negara dalam mengawasi dan membina generasi saat ini.
Fakta Kasus dan Tindakan Penegak Hukum
Pada 26 Mei 2025, NK dilaporkan ke Polresta Balikpapan atas dugaan penyebaran konten asusila dan ancaman melalui media sosial. (https://www.gerbangkaltim.com/sebarkan-konten-porno-mantan-pacar-remaja-di-balikpapan-diringkus-polisi/). Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Satreskrim Polresta Balikpapan melakukan penyelidikan dan mengamankan NK sebagai pelaku. Kasus ini menunjukkan bahwa tindakan penyebaran konten asusila, terutama yang dilakukan dengan motif ancaman, merupakan pelanggaran serius yang dapat dikenai sanksi hukum.
Secara hukum, penyebaran konten asusila di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat (1) dan (3), yang melarang pembuatan dan penyebaran informasi elektronik bermuatan asusila. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai hukuman pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga 1 miliar rupiah. Selain itu, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga dapat dijadikan dasar hukum untuk menjerat pelaku penyebaran konten asusila sebagai bentuk kekerasan seksual berbasis digital.
Polri dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan komitmen serius dalam menindak kasus penyebaran konten asusila di media sosial, termasuk penangkapan pelaku dan pemblokiran konten negatif . Hal ini menegaskan bahwa negara memiliki mekanisme penegakan hukum yang cukup kuat untuk menindak pelaku kejahatan digital semacam ini. (https://www.antaranews.com/berita/4854701/polri-kembali-bongkar-kasus-konten-asusila-di-grup-media-sosial)
Realitas ini seharusnya membuat kita merenung. Bagaimana dengan masa depan anak-anak kita selanjutnya ? Usia mereka yang seharusnya bersiap menghadapi masa produktif justru digempur dengan konten negatif yang merusak. Akal mereka bahkan belum bisa mencerna jenis dan isi tontonan yang sedang mereka konsumsi. Namun parah, pebisnis kotor tidak hanya membajak produktivitas generasi, tetapi juga sedang merusak masa depan penerus bangsa.
Apakah kejadian ini terjadi akibat tidak adanya payung hukum atau sistem sanksi yang tidak setimpal dan berefek jera? Mengapa seruan-seruan moral tidak mampu mereduksi kasus-kasus serupa di negeri ini?
Akar Masalah dari Persoalan ini
Siapapun kita baik peran kita sebagai orangtua di rumah, peran kita sebagai guru di sekolah, ataupun peran kita sebagai masyarakat, harus mengakui bahwa anak-anak saat ini tumbuh dalam lingkungan yang tidak ideal. Sekeras apapun orang tua membuat proteksi, gaya hidup yang mendewa-dewakan syahwat tetap ada dan selalu hadir di sekeliling kita.
Kondisi ini tidak lepas dari prinsip hidup sekuler yang mengadopsi nilai-nilai kebebasan, salah satunya kebebasan berperilaku. Individu dalam sistem sekuler ini meletakkan segala sesuatunya menurut standar duniawi yang sifatnya sesaat.
Dalam sistem ini, prinsip-prinsip ketuhanan bukannya tidak diakui. Hanya saja, prinsip tersebut hanya hadir sekadar dalam ritual peribadatan saja. Secara langsung, sistem ini berkontribusi besar mengikis keimanan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Bahkan, keimanan tidak menjadi kontrol dalam kehidupan secara utuh.
Sistem sekulerisme yang saat ini dianut oleh banyak negara, termasuk Indonesia, terbukti gagal menjaga kesehatan mental dan moral generasi muda. Dalam kerangka sekuler, agama diposisikan hanya sebagai urusan privat dan tidak menjadi landasan utama dalam kehidupan publik dan pengambilan kebijakan. Akibatnya, nilai-nilai spiritual dan moral yang menjadi fondasi jiwa manusia menjadi terpinggirkan, sehingga generasi muda kehilangan arah dan kekuatan batin untuk menghadapi tantangan hidup.
Sekularisme membuahkan derivat prinsip hidup yang menghalalkan segala cara demi memperoleh sesuatu, termasuk dalam memperoleh cuan. Hal ini mendorong terciptanya bisnis yang bergelimang syahwat, tanpa memedulikan nilai moralitas, alih-alih nilai spiritual.
Dalam kehidupan sekuler, gelimang materi adalah standar hakiki kebahagiaan. Halal haram bukan timbangan. Atas dasar ini, wajar jika seruan moral selalu mentah meski selalu disuarakan ketika kasus amoral terjadi. Masyarakat tetap saja bebas mengakses pornografi, bebas menggunakan aplikasi kencan, juga bebas melakukan apapun untuk memuaskan syahwat.
Di sisi lain, sekularisme negara juga menciptakan sistem hukum yang menjamin prinsip kebebasan bagi individu. Negara beranggapan bahwa perannya semata memastikan bahwa setiap individu memperoleh kebebasan sebagaimana yang dijamin dalam demokrasi yakni bebas berpendapat, bebas berperilaku/berekspresi, bebas untuk memiliki sesuatu hingga bebas untuk menentukan agama yang dianutnya.
Sekilas dengan adanya jaminan ini manusia akan hidup tenang dan bahagia. Nyatanya, jaminan kebebasan ini justru menimbulkan banyak problematika di masyarakat. Bahkan tanpa sadar, jaminan inilah yang justru memandulkan peran negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyatnya. Menjadi pelindung arti semestinya adalah menciptakan sistem hukum yang bersifat preventif, sekaligus menerapkan sistem hukum yang mampu membuat jera para pelaku.
Namun, negara seolah-olah setengah hati melindungi rakyat. Di satu sisi negara memastikan jaminan kebebasan bagi individu, di sisi lainnya negara mengabaikan jaminan hak hidup anak yang layak menikmati sistem sosial yang sehat serta jauh dari virus syahwat yang merusak masa depan.
Demikianlah hidup dalam sistem sekuler. Negara cenderung berada di wilayah abu-abu. Walhasil, hukuman yang diberikan kepada para pelaku pun tidak mampu meredam potensi munculnya kasus serupa.
Peran Media
Kemajuan teknologi dan digitalisasi media membuat industri pornografi berkembang berkali-kali lipat dari sebelumnya. Apalagi saat ini banyak aplikasi yang dapat digunakan secara bebas oleh semua kalangan. Anak-anak yang terlahir aktif di dunia digital dengan mudah berselancar di dunia maya. Bisa jadi, awalnya mereka tidak memahami konten-konten negatif. Hanya saja, lingkaran pertemanan beserta aktivitas mereka di dunia digital yang tanpa batas membuat paparan konten pornografi begitu dekat.
Kondisi ini kian parah dengan sistem keamanan digital yang tidak memproteksi konten tidak senonoh. Meski konten berkonotasi seksual dilabeli 18+ atau sejenisnya, kondisi anak-anak yang mulai kecanduan pornografi jelas tidak mampu mentoleransi peringatan tersebut. Sungguh menyedihkan membaca fakta yang menyuguhkan bukti bahwa rata-rata usia termuda anak-anak pengakses pornografi adalah 11 tahun (setara dengan anak kelas 4-5 SD). Hati dan pikiran mereka dikontrol konten negatif dan seolah berada dalam penjara pornografi.
Kondisi ini sesungguhnya menunjukkan terjajahnya naluri seksual anak-anak sejak dini. Kondisi prabalig yang bisa jadi orang tua pun belum memberikan penjelasan mengenai fitrah yang melekat sejak lahir ini telah dibajak oleh gaya hidup liberal yang berefek candu. Hati mereka menjadi cenderung pada kemaksiatan, sementara pikiran mereka kian tidak produktif karena stimulus seksual yang meneror keseharian mereka.
Sungguh, negara tidak bisa abai atas masalah ini. Orang tua juga tidak boleh sekadar pasrah melihat kriminalitas ini. Jika hukum dan sistem sanksi sudah ada namun masalah masih saja terus berulang, penting seluruh elemen untuk membahas akar masalahnya.
Lingkaran bisnis syahwat sejatinya berawal dari sistem sosial yang “sakit”. Ia hadir di tengah konsumen yang tidak peduli akan standar halal dan haram bagi perbuatan. Di sisi lain, ada pebisnis yang hanya memikirkan hidupnya aman meski harus mengeksploitasi anak-anak di bawah umur.
Media pun harus dibenahi. Saat ini, media secara langsung telah menjadi sarana pembangkit syahwat dengan berbagai unsur erotik baik melalui visualisasi, syair, dan sejenisnya, sekaligus menjadi alat untuk menjajakan bisnis syahwat. Akibat sistem sekuler dan liberalisasi media, penayangan konten porno dibiaran saja untuk meraup keuntungan, tanpa memedulikan masa depan dan kualitas generasi.
Solusi Islam Dalam Menjaga Generasi dari Paparan Pornografi
Islam menjamin hak hidup manusia melalui terwujudnya tujuan-tujuan penerapan syariat (maqashid syariah) yakni memelihara agama (hifzh al-din), memelihara jiwa (hifzh al-nafs), memelihara akal (hifzh al-aql), memelihara keturunan (hifzh al-nasl), dan memelihara harta (hifzh al-mal). Melalui jaminan pemeliharaan ini, negara melaksakan perannya dalam melindungi dan menyelamatkan generasi dari paparan pornografi.
Islam memberikan jaminan pemeliharaan akal kepada anak-anak agar mereka tumbuh dan memahami fitrah mereka sebagaimana layaknya manusia. Islam menggariskan sejumlah aturan umum yang secara langsung berperan dalam menjaga kebersihan dan sehatnya sistem sosial di masyarakat antara lain sebagai berikut.
Pertama, aturan Islam yang meliputi aturan pergaulan seperti menutup aurat laki-laki dan perempuan, menjaga pandangan juga memerintahkan untuk menjaga interaksi dengan lawan jenis dalam kehidupan sosial. Negara Khilafah menerapkan aturan pergaulan yang sangat ketat antara laki-laki dan perempuan berdasarkan syariat Islam. Tidak ada konsep pacaran atau interaksi bebas antara lawan jenis yang dapat membuka peluang terjadinya perbuatan asusila. Interaksi laki-laki dan perempuan dibatasi hanya untuk hal-hal yang dibenarkan syariat seperti muamalah (transaksi), pendidikan, dan kesehatan, tanpa adanya percampuran bebas atau berduaan tanpa mahram. Aurat dijaga dengan ketat, sehingga mencegah kemunculan perilaku dan konten yang melanggar kesucian dan kehormatan individu.
Dengan demikian, potensi terjadinya zina, asusila, dan penyebaran konten negatif dapat dicegah sejak akar permasalahan, yaitu dari pola pergaulan yang benar dan terjaga.
Di sisi lain, dalam upaya membentuk karakter Islam dan individu yang bertakwa, Islam menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang akan menguatkan keimanan yang akan berperan sebagai alarm agar manusia terus berupaya menjauhi perbuatan maksiat. Ini akan sangat dibutuhkan sebagai proteksi bagi siapapun untuk menjauh dari godaan untuk mengakses konten pornografi.
Dengan keimanan yang kuat ini, siapapun akan senantiasa menghadirkan Allah dalam detak langkah hidupnya. Ia akan senantiasa merasakan adanya pengawasan Allah hingga menjadikannya takut untuk berbuat maksiat dan menjadi budak syahwat.
Kedua, membenahi media agar tetap berjalan sesuai prinsip-prinsip syariat. Keimanan yang mampu mewujudkan proteksi pada setiap individu tentu membutuhkan dukungan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh sebab itu, dalam negara Islam, keberadaan media sebagai salah satu bagian yang tidak lepas dalam kehidupan masyrakat harus tegak atas prinsip-prinsip media ala Islam yang bebas dari konten asusila, baik secara langsung maupun sekadar visual, syair, candaan, atau sejenisnya. Negara harus memahami bahwa saat ini media sosial sudah menjadi referensi masyarakat dalam membentuk realitas sosial. Negara pun semestinya memastikan media sosial bersih dari konten pornografi sekecil apapun.
Ketiga, negara akan membangun sistem keamanan digital sebagai upaya negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan menjauhkan generasi dari pemikiran konten rusak dan merusak. Sistem keamanan ini tidak akan memberi celah sedikit pun bagi individu untuk memproduksi dan menyebarkan konten-konten negatif yang akan mengganggu stabilitas sosial masyarakat.
Keempat, negara akan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku. Hal ini bertujuan agar kasus serupa tidak terulang. Kasus pornografi terkategori kasus takzir dalam syariat Islam. Khalifah memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Jenis hukuman bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Jika kasus pornografi ini berkaitan dengan kasus perzinaan, akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Bagi pelaku yang belum pernah menikah (ghairu muhsan), sanksinya adalah 100 kali cambuk, sedangkan yang sudah pernah menikah (muhsan) sanksinya berupa hukuman rajam. Anak-anak yang terlibat dalam kasus ini akan diselidiki sudah memasuki usia balig atau belum. Ini bertujuan untuk mengkaji kondisi seseorang yang sudah terbebani hukum (mukallaf) atau tidak.
Kelima, agar generasi memahami fase usia yang mereka lalui (dari masa kanak-kanak, mumayiz, prabalig, hingga balig) dengan konsekuensinya masing-masing, penting bagi negara untuk menyelenggarakan pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk berkepribadian Islam pada generasi. Pendidikan memiliki peran yang sangat vital untuk menempa kepribadian para generasi. Dengan sistem pendidikan yang fokus memahat kepribadian Islam yang kukuh, negara wajib mewujudkan generasi bertakwa yang mumpuni dalam ilmu, sekaligus besar ketakutannya kepada Sang Khalik.
Inilah mekanisme Islam dalam melindungi generasi dari paparan pornografi. Dengan demikian, jelas bahwa hanya Islam kafah yang memiliki konsep jelas dalam melindungi generasi sekaligus menjamin hak hidup mereka dalam sistem sosial yang sehat, bebas dari konten negatif yang membajak produktivitas di usia muda.
Wallahualam bisshowab.