Kisruh Haji, di Mana Tanggung Jawab Negara?


author photo

11 Jun 2025 - 14.55 WIB


Penulis : Maryanti (guru di Berau)

Kisruh penyelenggaraan haji tahun ini tentu tak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam mengurus ibadah. Salah satu contoh, pembatalan sepihak terhadap visa seorang calon haji bernama Heri. Dia berangkat bersama istri, ayah, dan ibunya yang lansia, total empat orang, dari Bandara Kertajati (KJT) Kloter 27 pada Jumat (30/5/2025) pukul 14.00 WIB-19.45 WIB dengan pesawat Saudia Airlines.Semua dokumen lengkap, termasuk visa, paspor, ID jamaah, tiket pulang-pergi, dan uang untuk living cost. Bahkan, nama Heri dan keluarganya tercatat sebagai jamaah yang akan menerima fasilitas hotel di Makkah. Singkatnya ketika pemeriksaan dokumen,  dalam sistem imigrasi Arab Saudi, statusnya 'No Visa' dan tercatat ada pihak yang mengajukan pembatalan pada 22 Mei 2025. Padahal, e-visa Heri telah aktif sejak 6 Mei 2025. (khazanah.republika.co.id). Anggota Tim Pengawas Haji DPR Adies Kadir berpendapat Kementerian Agama kurang melakukan antisipasi dan evaluasi dalam pelaksanaan ibadah haji 2025. Adies menyatakan hal ini setelah meninjau situasi penyelenggaraan haji dan kondisi jamaah di lapangan. (TEMPO.CO, Jakarta). Demikianlah beberapa hal yang tidak diurus dengan baik sehingga muncul banyak kekacauan terutama saat Armuzna.
Kebijakan baru pemerintah Saudi dituding sebagai penyebab kekacauan ini.  Namun sejatinya, berbagai hal ini terkait dengan pengurusan haji di Indonesia.  Maka kesalahannya bukan sekedar teknis tapi paradigmatis.
Sepertinya, semua masalah yang dialami jamaah haji tahun ini berakar pada kebijakan pengetatan haji oleh Pemerintah Arab Saudi yang bertujuan untuk menertibkan penyelenggaraan haji dan menekan jumlah jemaah non-resmi. Bagi Pemerintah Indonesia, tantangannya adalah menyesuaikan diri dengan kebijakan baru Saudi, memperketat pengawasan terhadap travel haji non-resmi, dan meningkatkan koordinasi serta komunikasi dengan jamaah dan pihak berwenang Arab Saudi untuk meminimalkan dampak negatif terhadap jemaah haji Indonesia.
Semua berpangkal dari kapitalisasi ibadah haji dan lepasnya tanggung jawab negara atas  hal ini. Ada indikasi bahwa penyelenggaraan haji semakin dikomersialisasi, dimana biro-biro perjalanan lebih fokus pada keuntungan, sementara pengawasan pemerintah masih lemah. Negara, dalam hal ini Kementerian Agama dan lembaga terkait, memang memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin penyelenggaraan ibadah haji yang adil, transparan, dan tidak diskriminatif, termasuk dalam pengaturan kuota dan pengawasan travel.
Namun, perlu juga diakui bahwa kompleksitas pelaksanaan haji sangat tinggi dan melibatkan kerja sama internasional dengan pemerintah Arab Saudi, serta kesiapan biro haji swasta yang seringkali tidak memenuhi standar.

Islam menetapkan haji sebagai rukun islam, yang diwajibkan atas muslim yang mampu, mampu secara lahir dan batin. Mampu secara lahir dan batin maksudnya sehat secara fisik, memiliki kecukupan biaya untuk akomodasi dan didampingi oleh mahram kandung seperti suami, kakak laki-laki, anak laki-laki yang sudah baligh (bagi muslimah) dan tentu saja tidak sedang menderita gangguan kejiwaan.
Penyelenggaraan ibadah haji sudah seharusnya memudahkan jamaah dalam beribadah, juga dalam penyediaan fasilitas selama menjalankan ibadah haji seperti penyediaan penginapan, pengadaan tenda dan berbagai kebutuhan di  Armuzna, layanan transportasi , kebutuhan konsumsi, dsb. Semua ini adalah salah satu tanggung jawab negara karena dalam Islam penguasa adalah raa’in yang wajib mengurus semua urusan rakyat dengan baik termasuk dalam ibadah haji. 
Dalam Islam, penguasa (atau negara) memang berkewajiban menjadi ra’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) atas urusan umat, termasuk urusan ibadah seperti haji. Oleh karena itu, negara harus hadir secara aktif, bukan hanya sebagai regulator atau fasilitator, tetapi juga sebagai pelindung dan penjamin pelayanan terbaik bagi jemaah.
Penyelenggaraan ibadah haji memang seharusnya difokuskan pada kemudahan dan kenyamanan jemaah, bukan pada aspek komersialisasi atau kepentingan birokrasi. Fasilitas seperti penginapan, tenda di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armuzna), layanan transportasi, makanan, hingga bimbingan manasik, semuanya menjadi komponen vital yang semestinya dijamin kualitas dan ketercukupannya oleh negara. Ketika negara melepaskan tanggung jawab ini kepada swasta atau biro travel tanpa pengawasan ketat, maka yang terjadi adalah ketimpangan layanan dan potensi eksploitasi terhadap jemaah.
Idealnya, negara harus kembali menempatkan pelayanan haji sebagai bagian dari amanah keagamaan dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar urusan administrasi atau proyek tahunan. Maka sudah sepantasnya kritik ini menjadi pengingat agar arah kebijakan haji di Indonesia dikembalikan kepada asas pelayanan umat dan tanggung jawab negara.
Negara akan menyiapkan mekanisme terbaik, birokrasi terbaik, dan layanan premium bagi para tamu Allah. Seandainya pengurusan diserahkan kepada Haramain pun, itu dalam pengarahan dan pengaturan negara islam, yaitu Khilafah, yang menaungi semua wilayah negeri muslim.
Layanan paripurna ini memang hanya mungkin terjadi jika sistem keuangan negara kuat. Dan ini dimungkinkan ketika negara Khilafah menerapkan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam yang membuat harta Baitul Mal negara akan melimpah ruah dari sumber-sumber pendapatan yang sangat besar dan beragam. Ini tersebab seluruh negeri muslim akan dipersatukan dalam satu kepemimpinan yaitu Khilafah Islamiyyah.
Wallahua’lam.
Bagikan:
KOMENTAR