Putus Sekolah Karena Miskin: Gagalnya Negara Menjamin Pendidikan


author photo

15 Jun 2025 - 14.17 WIB



Oleh: Vivi Novribe

Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Tatang Muttaqin mengatakan faktor ekonomi dan membantu orang tua mencari nafkah menjadi penyumbang terbanyak pada tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia. Angka ATS yang disebabkan oleh faktor ekonomi adalah sebanyak 25,55 persen dan mencari nafkah sebanyak 21,64 persen. “Kalau kita lihat kondisi di faktualnya, faktor ekonomi dan bekerja menjadi penyumbang terbesar dari anak-anak kita yang tidak sekolah,” ujar Tatang dalam Rapat Panja Pendidikan dengan Komisi X DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Senin (19/5/2025). (tirto.id) 

Faktor ekonomi dan mencari nafkah merupakan bukti dari pendidikan sebagai komoditas mahal yang tidak bisa dengan mudah diakses oleh seluruh rakyat.
Pendirian sekolah rakyat bertujuan menghapus kemiskinan sepintas tampak bagus.

Kedepannya sekolah rakyat untuk keluarga miskin ini justru akan meningkatkan tendensi sekolah berkasta, yaitu sekolah yang khusus untuk keluarga si miskin dan si kaya. Sedangkan pendidikan adalah hak dasar setiap anak didik, tanpa memandang dia kaya atau miskin.

Kenyataannya masih sangat banyak kasus yang memperlihatkan ketidakmampuan masyarakat untuk membayar biaya pendidikan.

Mahalnya pendidikan sebenarnya tak hanya di sekolah swasta. Meski ada kebijakan bebas SPP di sekolah negeri, bukan berarti pendidikan diperoleh dengan gratis. Kenyataannya banyak komponen biaya lainnya seperti seragam, buku, transportasi, juga pungutan lainnya.

Angka putus sekolah juga erat kaitannya dengan sistem pendidikan sekuler saat ini. Dalam sistem sekuler kapitalisme, pendidikan dikapitalisasi sehingga tidak heran jika masyarakat menganggap, hanya orang yang berduit saja yang bisa sekolah. 


Mahalnya biaya pendidikan merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan penerapan sistem hidup kapitalisme  yang rusak.  Hal ini karena terkait kebijakan serta tata kelola negara yang kapitalistik, menjadikan pendidikan sebagai sektor jasa yang bisa diperdagangkan, sehingga menjadi komoditas bisnis, pro pasar industri dan mengebiri peran negara yang seharusnya menjadi penanggung jawab pendidikan.

Dalam Islam, masalah pendidikan dipandang sebagai kebutuhan dasar rakyat yang harus terpenuhi secara merata Sehingga negara tidak akan membiarkan anak-anak pelajar putus sekolah. Negara sangat menyadari bahwa pendidikan adalah kebutuhan pokok yang sangat penting untuk mencetak generasi yang beriman, bertakwa serta   memiliki keahlian dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan sains.

Untuk mewujudkan jaminan terpenuhinya pendidikan bagi rakyat Negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan secara gratis, membayar para pengajarnya dengan upah yang tinggi, sehingga para pengajar akan mengajar secara maksimal tanpa harus mencari penghasilan sampingan. Selanjutnya, negara akan membangun dan menyediakan sarana dan prasarana fasilitas pendidikan secara memadai.

Semua fasilitas pendidikan tersebut, dapat diakses oleh setiap warga negara, tanpa membedakan kelas ekonominya sehingga tidak ada istilah pendidikan hanya untuk mereka yang memiliki uang. Karena sesungguhnya, pendidikan adalah hak rakyat yang wajib dijamin oleh negara. Setiap individu rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, serta mampu mengembangkan potensi bakat yang dimiliki. Fasilitas pendidikan yang memadai, gratis dan mudah diakses, serta adil dan merata bagi setiap individu, hanya akan terealisasi secara nyata ketika Islam ditegakkan secara sempurna di seluruh aspek kehidupan.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT