Darurat Pernikahan Dini: Cermin Gagalnya Kapitalisme


author photo

31 Agu 2025 - 20.15 WIB



Oleh: Khaizuran

Kalimantan Selatan (Kalsel) masih masuk dalam 10 besar provinsi dengan angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, remaja diajak menjadi pelopor perubahan melalui Program Generasi Berencana (GenRe). Hal ini menjadi sorotan utama dalam Grand Final Apresiasi Duta GenRe Tingkat Provinsi Kalsel 2025 yang diselenggarakan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN di Gedung K.H. Idham Chalid, Banjarbaru, pada Minggu, 10 Agustus 2025. (garuda.tv)

Acara bergengsi yang diikuti oleh 13 peserta dari seluruh kabupaten dan kota ini menjadi panggung unjuk komitmen remaja dalam pembangunan keluarga dan ketahanan remaja. Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel, Muhammad Syarifuddin, menyampaikan apresiasi tinggi terhadap konsistensi BKKBN dalam mengembangkan Program Generasi Berencana (Genre) sejak 2010. ia juga menyampaikan, angka perkawinan anak di Kalsel pada 2023 sebesar 8,74 persen, turun dari tahun sebelumnya 10,53 persen. Meski demikian, angka ini tetap menempatkan Kalsel dalam 10 besar provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi nasional. (kalselprov.go.id)

Secara nasional, aturan hukum sudah ditegaskan dalam UU No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas minimal usia menikah 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, aturan ini masih menghadapi celah karena adanya dispensasi pernikahan melalui pengadilan agama. Alih-alih menekan praktik pernikahan dini, dispensasi justru mengalami peningkatan setelah revisi UU, sehingga implementasi di lapangan belum efektif. Kondisi ini menimbulkan dampak serius, seperti meningkatnya risiko kesehatan reproduksi, kasus stunting, rendahnya capaian pendidikan, serta munculnya kemiskinan antargenerasi.

Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari sejumlah faktor struktural. Sekularisme yang menyingkirkan agama dari kehidupan publik telah melahirkan gaya hidup hedonis, pacaran, seks bebas, dan pergaulan bebas yang pada akhirnya mendorong lahirnya pernikahan dini sebagai “jalan keluar” setelah terjebak dalam pergaulan salah. 

Di sisi lain, kemiskinan struktural juga memainkan peran besar. Banyak keluarga menikahkan anaknya lebih awal semata-mata untuk meringankan beban ekonomi, karena sistem kapitalisme menelantarkan keluarga miskin tanpa jaminan kesejahteraan. 

Sementara itu, pendidikan nasional yang lebih menekankan pada pembentukan tenaga kerja daripada pembentukan akhlak dan kepribadian Islami membuat generasi muda tumbuh tanpa kendali syariah, sehingga rentan salah jalan.

Dalam Islam, solusi terhadap masalah ini sangat jelas. Sistem pendidikan Islam sejak dini menanamkan aqidah dan syariah, membentuk generasi yang bertakwa dan berkepribadian Islami. Syariah Islam juga mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan dengan tegas, melarang khalwat, ikhtilat, pacaran, dan pornografi. Dengan penerapan aturan ini, seks bebas dan pernikahan dini akibat pergaulan salah dapat dicegah. 

Negara dalam sistem Islam juga berkewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, dan papan—sehingga orang tua tidak perlu menikahkan anak demi mengurangi beban ekonomi. Dalam pandangan Islam, pernikahan bermartabat diperbolehkan jika syarat kedewasaan, kematangan, dan kesiapan terpenuhi, namun pernikahan yang terpaksa karena kemiskinan atau akibat pergaulan bebas ditolak.

Karena itu, penyelesaian mendasar terhadap darurat pernikahan dini hanya bisa terwujud melalui sistem Islam dalam bingkai Khilafah, yang mampu menyatukan pendidikan Islami, aturan syariah yang jelas, serta jaminan kesejahteraan rakyat. Dengan sistem ini, akan lahir generasi muda yang bukan hanya cerdas, tetapi juga bertakwa dan bermartabat.
Wallahu alam bisshowab
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT