Oleh : Hafizah D.A.,S.Si.
Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (DP2KBP3A) bekerja sama dengan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Paser menyalurkan sembako bagi Perempuan Penopang Ekonomi Keluarga (PPEK), Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), dan Organisasi Bawe Paser pada 8 Agustus 2025. Bantuan berupa beras, minyak goreng, telur, dan gula ini diberikan kepada 146 KK dan diharapkan dapat menunjang perekonomian keluarga dalam kerangka program Paser Tuntas (Tangguh, Unggul, Transformatif, Adil, Sejahtera).(mediacenter.paserkab.go.id, 08/08/2025)
PENGARUSAN TERSTRUKTUR
Tidak salah memang program pemberian sembako kepada perempuan kepala keluarga ataupun penopang ekonomi keluarga. Tentu akan sangat membantu mereka yang terpaksa berada dalam kondisi menjalani tanggung jawab ganda agar kehidupan keluarga bisa tetap berlanjut.
Namun, jumlah penerima sangat minim dibanding kebutuhan riil. Di akhir 2024, tercatat 25.280 jiwa (8,63% penduduk Kabupaten Paser) terkategori sebagai masyarakat miskin-termasuk juga di dalamnya laki-laki yang masih berfungsi sebagai tulang punggung keluarga-dengan pendapatan Rp 634 ribu per bulan (infopaser.id, 25/04/2025). Angka yang tak realistis untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi di tengah inflasi.
Ironisnya, sumber pendanaan terbesar pembangunan Paser justru dari dana bagi hasil tambang dan migas, sekitar 70–75%, serta pertanian 13%. (mediacenter.paserkab.go.id, 02/09/2024) Dengan kekayaan SDA ekstraktif, seharusnya rakyat hidup sejahtera. Namun sistem demokrasi kapitalis membuat pemerintah daerah hanya memperoleh serupa dana bagi hasil yang tak seberapa untuk pembangunan. Sudahlah SDAE potensial dikonsesi oleh swasta, disunat pula keuntungannya oleh pusat. Pemerintah daerah dituntut harus kreatif dengan mengalihkan sumber pendapatan ke sektor yang terkesan berkelanjutan-seperti pariwisata-tetapi jelas lebih rendah nilai pemasukannya agar swasta lebih bebas mengambil alih kepemilikan rakyat. Alhasil, lapangan kerja menyempit karena penyerapan tenaga kerja terbatas pada kebutuhan pasar dan industri yang diciptakan oleh swasta pemilik konsesi. Akhirnya, rakyat hanya mampu bermimpi sejahtera.
Program pemberian sembako yang diklaim untuk mengefisiensikan pendapatan perempuan pekerja sejatinya adalah bagian dari agenda global kapitalisme : pengarusan masif program perempuan berdaya. Dengan meningkatnya partisipasi perempuan produktif maka target ekonomi semakin mudah dicapai. Karena semakin banyak tenaga kerja, semakin tinggi produksi-standar khas kemajuan sistem kapitalisme.
Dengan kata lain, program ini mengeksploitasi perempuan agar menjadi penggerek ekonomi dengan ilusi jargon “perempuan berdaya, tangguh dan mandiri.” Padahal nyatanya semakin menambah beban perempuan. Sudahlah lelah dan menemui berbagai hambatan terkait gender saat bekerja di ranah publik, kembali ke rumah harus tetap menjalankan peran utamanya dengan tuntutan prima. Kondisi ini tentu mempengaruhi kesehatan fisik dan mental perempuan. Di sisi lain, peran pengasuhan yang tidak optimal menyebabkan hak generasi terabaikan. Inilah rangkaian efek domino yang mempengaruhi kemajuan bangsa kelak.
SEJAHTERA ALA ISLAM
Perempuan yang berdedikasi, tangguh, dan sejahtera secara hakiki hanya mampu diwujudkan oleh politik ekonomi Islam yang berakar pada penanaman aqidah dan penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai Negara.
Saat SDAE dikembalikan sebagai kepemilikan rakyat dengan tata kelola diamanahkan secara penuh kepada Negara, tentu hasilnya kembali kepada rakyat dalam bentuk pembangunan berbagai fasilitas publik yang bermutu dan gratis.
Peran swasta hanya dalam sistem kontrak kerja. Karena privatisasi hak milik umum adalah haram, membuat kekayaan berputar pada para kapital saja. Dengan demikian dapat mencegah kesenjangan dan stagnasi pembangunan.
Negara akan berfokus pada industrialisasi sektor potensial dan padat karya, sehingga lapangan kerja terbuka luas bagi laki-laki kepala keluarga. Hal ini merupakan realisasi negara atas amanat syariat bahwa laki-laki baligh, sehat, dan mampu wajib untuk bekerja menunaikan nafkah dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pembangunan di sektor riil halal menciptakan kestabilan ekonomi dan harga, yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok hingga tersier tiap individu rakyat.
Selain itu, negara akan mengembangkan investasi halal di sektor riil dengan mengambil alih tanah produktif untuk diserahkan dan dikelola oleh individu rakyat. Strategi ini memperluas kesempatan kerja bagi tenaga terdidik dan terampil.
Rangkaian strategi sistemis ini pada akhirnya mampu menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu.
Jika begitu, dimanakah lagi celah perempuan harus menjadi penopang ekonomi keluarga?
Kalaupun seorang perempuan berstatus janda cerai atau suaminya wafat, negara wajib memastikan nafkahnya terpenuhi dengan layak melalui wali atau, jika tidak ada, negaralah yang menggantikan peran wali melalui mekanisme Baitul Mal.
Dengan jaminan ini, perempuan bisa fokus pada fitrah dan peran hakikinya : mengurus rumah tangga, mendidik anak-anaknya dan generasi sehingga melahirkan para penerus pembangun peradaban Islam yang gemilang.
Maka, apa yang membuat kita menunda untuk bergerak bersama mewujudkannya?
Wallahu’alam.