Dua Ijazah Paket C, Satu Nama: Skandal Pendidikan Atau Malpraktik Administrasi?


author photo

7 Agu 2025 - 13.52 WIB



Aceh Utara |  Dunia pendidikan Aceh kembali tercoreng. Skandal penerbitan dua ijazah Paket C atas nama yang sama namun dengan tahun dan lembaga berbeda menguak potret buram manajemen pendidikan non-formal yang seharusnya menjadi solusi, bukan masalah baru. Kamis ( 7 Agustus 2025).

Ijazah pertama dikeluarkan oleh SKB Kota Lhokseumawe tertanggal 10 November 2012, sementara ijazah kedua muncul kembali dari PKBM Tunas Harapan Aceh Utara tertanggal 13 Mei 2019. Ironisnya, ijazah terakhir justru ditandatangani oleh lembaga lain, yaitu PKBM Budi, yang tak tercantum sebagai penyelenggara ujian nasional.

Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Saifuliman, Kepala PKBM Budi, justru memberikan jawaban yang lebih membingungkan daripada menjelaskan. “Saya tidak paham, kami mengeluarkan ijazah sudah sesuai prosedur,” elaknya singkat.

Lebih lanjut, ia berdalih bahwa data siswa tersebut telah terdaftar dalam aplikasi DAPODIK sejak 2016. “Kalau masuk dilanjutkan, kalau residu atau ganda berarti tidak bisa masuk dapodik. Dan atas data ini, alhamdulillah masuk dan kita daftarkan pada tahun 2016,” kilah Saifuliman seolah menutup ruang klarifikasi.

Namun publik tak sebodoh itu. Pertanyaannya sederhana mengapa satu orang bisa memiliki dua ijazah Paket C dari dua lembaga berbeda, dua wilayah berbeda, dan tahun berbeda, dengan dua penandatangan berbeda, tapi tetap lolos sistem nasional? Siapa yang bermain, dan siapa yang dibodohi?

Lebih mengejutkan, ditemukan bahwa nomor NIP penandatangan kedua ijazah tersebut identik di ujungnya, meski berasal dari dua kabupaten/kota berbeda. Apakah ini kebetulan, kekeliruan, atau modus lama yang terus dijalankan di bawah radar pengawasan?

Kejanggalan ini bukan soal teknis semata. Ini adalah bom waktu tentang integritas dunia pendidikan. Jika ijazah bisa dicetak sesuka hati tanpa audit ketat, maka apa jaminan masa depan anak bangsa tidak dibeli dengan cara pintas?

Sudah saatnya aparat penegak hukum dan Dinas Pendidikan turun tangan. Skandal ini bukan hanya memalukan, tapi juga merusak sendi kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan non-formal.(A1)
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT