Oleh: Qori
Belakangan ini, masyarakat kembali dibuat gelisah oleh satu kenyataan yang sangat mengusik rasa aman yakni rekening milik warga bisa dibekukan begitu saja oleh negara, tanpa proses hukum yang jelas. Bahkan, rekening yang sudah lama tidak aktif (dormant) pun tak luput dari pemblokiran dengan alasan mencegah kejahatan finansial.
Alasan yang digunakan tampaknya terdengar mulia yaitu untuk melindungi masyarakat dari risiko pencucian uang, judi online, dan penyalahgunaan dana. akan tetapi saat kebijakan ini di terapkan di lapangan justru banyak membuat warga bertanya-tanya. apakah ini benar-benar perlindungan, atau justru bentuk pelanggaran atas hak milik pribadi?
Tidak sedikit orang yang terkejut saat tahu bahwa rekeningnya diblokir tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Tidak ada surat resmi, tidak ada penjelasan, apalagi kesempatan untuk membela diri. Uang milik pribadi yang disimpan dengan harapan aman, justru bisa direnggut dengan mudah oleh negara. Jika ini dibiarkan, lalu apa bedanya dengan tindakan sewenang-wenang?
Dalam sistem hari ini, yang dibangun di atas fondasi kapitalisme sekuler, negara punya kuasa besar untuk mengatur dan mengendalikan harta rakyat. Atas nama regulasi, keamanan, atau pencegahan kejahatan, negara bisa masuk ke ranah privat warganya, termasuk membekukan rekening, menarik pajak secara sepihak, bahkan merampas harta dengan alasan teknis yang seringkali tidak transparan.
Sistem ini menjadikan negara hanya sebagai pencari celah, bukan pelindung rakyat. Negara sibuk mencari apa yang bisa diambil dari warganya, bukan apa yang bisa dijaga. Hukum yang seharusnya melindungi kepemilikan pribadi, justru dilemahkan. Padahal, kalau dipikir secara sederhana uang di rekening ya milik pribadi, bukan milik negara. Negara tidak berhak mengutak-atik tanpa dasar hukum yang jelas dan sah.
Berbanding terbalik dengan islam, Islam hadir sebagai sistem yang sangat tegas dalam menjaga kepemilikan individu. Dalam pandangan Islam, tidak boleh ada tindakan apapun yang merugikan harta seseorang kecuali dengan bukti yang sah dan proses hukum yang adil. Prinsip al-bara’ah al-asliyah, atau praduga tak bersalah, dijunjung tinggi. Seseorang tidak bisa dianggap bersalah atau dikenai sanksi hukum hanya karena dicurigai. dalam islam seseorang di anggap bersalah harus dengan bukti dan saksi yang jelas.
Islam juga menetapkan bahwa negara bukanlah pemilik rakyat, tapi sebagai pengurus (raa’in) yang bertanggung jawab penuh atas keamanan, kesejahteraan, dan keadilan. Negara tidak punya wewenang untuk membekukan atau merampas harta rakyat tanpa dasar syar’i yang jelas. Justru negara wajib menjaga agar hak-hak individu tetap aman dan tidak diganggu, apalagi oleh kekuasaan itu sendiri.
Di dalam sistem Khilafah, seluruh hukum Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh). Tidak ada ruang untuk penindasan, tidak ada celah untuk kezaliman. Hukum ditegakkan dengan adil, transparan, dan berdasarkan syariat. Tidak ada rekening yang diblokir hanya karena pasif. Tidak ada harta yang dirampas tanpa hak. Semua keputusan negara wajib berdasarkan dalil syar’i dan bukti yang sahih, bukan hanya dugaan, kecurigaan ataupun aturan administratif.
Inilah perbedaan nyata antara sistem kapitalisme dan Islam. Di bawah kapitalisme sekuler, hak milik bisa diganggu sewaktu-waktu oleh negara yang merasa punya kuasa atas segalanya. Sementara dalam Islam, kepemilikan pribadi adalah sesuatu yang dilindungi secara mutlak dan negara bertanggung jawab menjaga, bukan merampas.
Sudah saatnya kita membuka mata dan hati, bahwa akar dari segala keresahan ini bukan hanya soal kebijakan teknis, tapi sistem yang menaunginya. Selama sistem kapitalisme yang menjadi pijakan, maka potensi kezhaliman akan terus muncul dalam berbagai bentuk.
Islam, dengan sistem Khilafahnya, memberikan solusi hakiki bukan tambal sulam kebijakan, tapi perubahan menyeluruh. Karena hanya dengan Islam, hak rakyat benar-benar dijaga, hukum ditegakkan dengan adil, dan kezaliman tidak punya tempat.
Wallahu’alam bi shawab.