Bank Indonesia (BI) memiliki mandat konstitusional yang jelas: menjaga stabilitas rupiah, mengendalikan inflasi, serta memastikan sistem pembayaran berjalan sehat. Di tingkat daerah, keberadaan kantor perwakilan BI diharapkan menjadi motor pengendalian inflasi lokal dan penggerak literasi keuangan masyarakat. Namun, langkah yang diambil BI Lhokseumawe belakangan justru menimbulkan tanda tanya besar: mengapa sejumlah pelatihan mereka dilaksanakan di Medan, bahkan di hotel mewah, alih-alih di Lhokseumawe sendiri?
Pertanyaan ini bukan sekadar masalah lokasi acara. Ini soal mentalitas, konsistensi, dan keberpihakan lembaga publik terhadap daerah yang menjadi wilayah kerjanya. Apakah hotel-hotel di Lhokseumawe tidak layak menampung kegiatan BI? Ataukah ini hanya alasan untuk mencari kenyamanan lebih di kota besar, meskipun itu berarti "mengalirkan" dana publik ke luar daerah?
Padahal, dalam konteks ekonomi daerah, setiap rupiah yang berputar di Lhokseumawe sangat berarti. Ketika BI memilih Medan sebagai lokasi, otomatis uang yang semestinya menghidupkan hotel lokal, katering lokal, transportasi lokal, dan pekerja harian di kota ini, justru jatuh ke kantong ekonomi Medan. Konsekuensinya jelas: ekonomi Lhokseumawe tetap lesu, sementara masyarakat menghadapi harga-harga yang kian melambung.
Bukankah peran BI seharusnya justru menutup angka inflasi? Bukankah kehadiran mereka di daerah ini dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang, bukan malah membuka ruang kebocoran ekonomi? Keputusan seperti ini ibarat “lari dari tanggung jawab”: BI Lhokseumawe lebih sibuk membangun citra lewat acara mewah di luar kota, sementara realitas di dalam kota menunjukkan wajah lain—pengangguran yang tinggi, UMKM yang kesulitan permodalan, dan inflasi yang terus menghantui dapur masyarakat.
Ironi ini semakin terasa karena inflasi bukanlah angka statistik semata. Ia hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari: dari harga cabai yang naik turun, biaya transportasi yang makin mahal, hingga daya beli yang makin merosot. Jika BI gagal menyalurkan energinya ke dalam perekonomian lokal, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa lembaga ini benar-benar hadir untuk mereka?
Kini, publik berhak menuntut jawaban:
Apakah benar Lhokseumawe tidak memiliki fasilitas yang memadai?
Apakah BI sadar bahwa setiap kegiatan yang dipindahkan ke luar kota sama saja dengan menutup pintu bagi ekonomi lokal untuk berkembang?
Ataukah ini cerminan arogansi lembaga yang mulai kehilangan kedekatan dengan rakyat yang seharusnya mereka lindungi?
Sudah saatnya BI Lhokseumawe bercermin. Pelatihan, seminar, atau program pemberdayaan tidak semestinya menjadi ajang wisata elite ke Medan. Dana publik yang mereka gunakan adalah amanah, yang seharusnya kembali dalam bentuk kontribusi nyata kepada masyarakat lokal. Jika tidak, maka keberadaan BI di daerah ini hanya tinggal papan nama, tanpa denyut kehidupan yang berarti bagi kota Lhokseumawe.
Apalagi, fenomena pelatihan yang dilaksanakan mendadak di Medan menimbulkan kecurigaan lain: jangan-jangan ini hanya cara untuk mengalihkan perhatian publik dari isu yang lebih besar, yakni soal dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan besar yang hingga kini masih gelap alirannya di Lhokseumawe. Publik berhak tahu apakah BI benar-benar berpihak pada ekonomi rakyat, atau justru sibuk bermain di level seremonial dan mengamankan kepentingan elite.
Lhokseumawe tidak butuh simbol kehadiran semu. Kota ini butuh lembaga yang betul-betul berfungsi sebagai penyangga ekonomi. Dan BI, dengan segala kewenangan dan mandatnya, harus memilih: tetap menjadi penjaga stabilitas rakyat, atau sekadar menjadi penonton dari jauh sambil mengalirkan uang ke kota lain.