Matinya Nurani


author photo

5 Sep 2025 - 21.06 WIB




Oleh : Herliana Tri M

Demo besar besaran di beberapa kota besar di penghujung Agustus 2025 menjadi catatan sejarah tak terlupakan. Gelombang besar dari berbagai elemen masyarakat baik pelajar mahasiswa dan masyarakat umum bersuara menunjukkan aspirasinya. Demonstrasi ini dipicu oleh minimnya empati pejabat negara khususnya anggota dewan yang sedang mendapat sorotan publik. Masyarakat yang akhir-akhir ini disuguhi berbagai tekanan ekonomi baik karena angka pengangguran meningkat tajam, minimnya serapan tenaga kerja, naiknya harga kebutuhan pangan, ditambah meningkatnya pajak baik bertambahnya komponen yang terkena pajak dan juga meningkatnya persentase yang harus dibayarkan rakyat, tak memandang miskin ataupun kaya setiap individu masyarakat tak lepas dari pajak yang harus ditunaikan. Alokasi pajak ini tak hanya dipergunakan untuk pembiayaan fasilitas umum bagi rakyat namun juga pembiayaan instansi Negara berikut semua kebutuhannya. 

Kenaikan tajam nilai pajak yang harus ditanggung rakyat dengan kondisi kesejahteraannya yang tak kunjung membaik, berlawanan dengan gaji serta tunjangan anggota dewan yang berkali- kali lipat lebih tinggi dari rakyat. Padahal pejabat negara ini dibiayai dari pajak- pajak rakyat yang terkumpul. Tentu kondisi ini begitu miris. Ditambah lagi, gaya hidup dan ekspresi mereka yang joget joget diatas perasan keringat rakyat, tentu ini menyakitkan nurani. Inilah sebagian pemicu dari maraknya demonstrasi di berbagai wilayah di negeri ini yang berujung ricuh dan perusakan serta pembakaran berbagai fasilitas umum serta gedung. Bahkan kasus penjaharan pada beberapa anggota dewan memperuncing suasana protes masyarakat.

Berbuat Bijak Menggunakan Dana Rakyat.

Mengambil keteladanan dimasa kekhilafahan Islam patut dijadikan sebagai contoh bagaimana penguasa mendapatkan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan sebagai pejabat negara. Kita bisa menemukan berbagai kisah keteladanan yang menyatukan rasa dan cinta antara penguasa dan rakyatnya. Rakyat yang mencintai pejabatnya dan pejabat mengayomi rakyatnya. Tanpa ada kecurigaan dan kecemburuan dalam hal harta. Bagaimana ini bisa terjadi?
Kekhasan dan keunikan sistem Khilafah bahwa jabatan khalifah sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran Islam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Khalifah ditunjuk untuk menjalankan syariah Islam. Konsekwensinya bahwa jabatan tak sekedar urusan pengaturan duniawi semata melainkan ada tanggung jawab besar di akhirat.
Tugas dan kewajiban seorang khalifah adalah menjadi pelayanan seluruh urusan rakyat. Sebagai pelayan umat, maka dia senantiasa hadir dan mencurahkan waktu serta tenaganya 24 jam untuk memenuhi semua kebutuhan warga negara dalam naungannya. 

Oleh karena itu, seseorang yang memangku jabatan khalifah dan menjalankannya dengan baik akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.
Jabatan khalifah adalah pusat dari semua kekuasaan, pelaksanaan wewenang politik serta pusat peredaran uang. Karena itulah, sangat rawan penyelewengan jabatan dan wewenang yang mengarah pada koruspsi. Di sinilah Islam mengatur secara tegas dan jelas bagaimana seorang khalifah memperoleh dan boleh memanfaatkan keuangan negara untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, dan menutup kemungkinan sekecil apapun untuk dipakai memperkaya diri dan keluarganya.

Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al-Khathab mengungkapkan bahwa seorang khalifah bekerja secara penuh menjadi pelayan umat, memenuhi semua kebutuhannya, serta menyelesaikan problematika dan keresahannya. Karena itu, ia berhak memperoleh tunjangan atas apa yang Ia lakukan. Tatkala Umar memangku jabatan sebagai khalifah setelah Abu Bakar, ia tidak mengambil tunjangan (dalam waktu cukup lama) hingga akhirnya ia merasa membutuh dana untuk memenuhi kebutuhan diri dsn kekuarganya. Apalagi hasil perdagangannya sudah tidak mencukupi kebutuhan hidup karena sibuk menangani urusan dan kepentingan rakyat. Umar lantas bermusyawarah dengan para sahabat mengenai persoalan ini. Kepada mereka Umar menyampaikan, “Aku sangat sibuk menangani tugas-tugas pemerintahan, lantas apa yang boleh saya ambil atas tugas ini?”
“Ambillah dari Baitul Mal untuk keperluan makanmu,” sahabat Umar menyarankan.
Dikemukakan juga oleh Said bin Zaid bin Amr bin Nufail. 
Umar juga bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Bagaimana pendapat Anda tentang masalah ini?”
“Ambillah untuk keperluan makan siang dan makan malam mu!” kata Ali.
Setelah itu Umar mengambil keperluannya dari Baitul Mal. 

Berkaitan dengan tunjangan yang di ambil dari Baitul Mal, Umar mengatakan, “Aku memposisikan diriku di hadapan harta Allah seperti seorang wali anak yatim. Bila aku sudah merasa cukup maka aku tidak mengambilnya, bila aku membutuhkan maka aku akan makan dengan cara yang makruf".
Hal ini sebagai isyarat bahwa syariah Islam mengatur hanya membolehkan mengambil atau memakai uang negara hanya untuk kebutuhan hidup dia dan keluarganya saja. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Imam Ali menegaskan hanya untuk memenuhi makan siang dan malam saja. Ini sebagai kiasan bahwa uang negara hanya boleh diambil oleh Khalifah untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, sandang dan papan secukupnya. Tidak boleh lebih dari itu.

Terbayang sudah, andai contoh keteladanan seperti ini diterapkan oleh penguasa, tentu rakyat akan menyayanginya serta kesejahteraan akan mampu diraih oleh rakyat. Asal prinsip "penguasa sebagai pelayan rakyat dan ia mengambil harta rakyat sebatas pemenuhan kebutuhan asasinya". Tentu keteladanan ini bukanlah utopis dilakukan karena memang pernah diterapkan oleh penguasa terbaik umat Islam. Apabila masa lalu bisa diterakan, tentu dimasa sekarang juga berlaku hal yang sama dengan syarat ada keberpihakan untuk rakyatnya.
Bagikan:
KOMENTAR