Oleh: Yulia Ekawati, S.Pd. (Aktivis Dakwah Kampus)
Kondisi keluarga di negara kita sedang tidak baik baik saja, bagaimana bisa dilansir dari Godstad Id bahwa Kasus KDRT di Indonesia capai 10.240 perkara per 4 September 2025, dengan lebih dari 1.000 kasus dilaporkan ke polisi tiap bulannya.
Itu adalah jumlah kasus yang dilaporkan enntah berapa kasus kasus yang tidak terlapor. Hal ini mencerminkan lemahnya kondisi keluarga saat ini.
Warga Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat digemparkan dengan kasus pembunuhan yang terjadi di sebuah rumah kontrakan, Jalan Puri Kembangan, Gang Pandan, pada Selasa (23/9/2025) pagi.
Seorang perempuan berinisial S (49) ditemukan tewas di rumahnya. Pelaku tak lain adalah suaminya sendiri, WN (53), yang kemudian menyerahkan diri ke polisi.Kapolsek Kebon Jeruk Polres Metro Jakarta Barat, Kompol Nur Aqsha Ferdianto, menjelaskan
kasus ini berawal dari cekcok rumah tangga. Korban disebut sering mengeluh karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, hingga sempat meninggalkan rumah. Pertengkaran memuncak saat korban berencana pulang ke kampung halamannya di Kendal, Jawa Tengah. Pelaku yang takut ditinggalkan istrinya kehilangan kendali emosi, lalu menganiaya korban dengan tali tas hingga tewas.
Seusai menghabisi istrinya, WN mengunci rumah kontrakan lalu mendatangi Polsek Kebon Jeruk untuk menyerahkan diri dan mengakui perbuatannya.
Polisi yang datang ke lokasi menemukan korban sudah tak bernyawa di ruang tamu. Barang bukti berupa pakaian korban dan tali tas turut diamankan, sedangkan jenazah dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Atas perbuatannya, WN dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Polisi masih mendalami keterangan keluarga dan tetangga untuk mengungkap lebih detail motif dan dinamika rumah tangga pasangan ini.(BERITASATU/24/5/2025)
Kasus ini menambah panjang daftar tragedi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berakhir fatal. Lalu pakah ada dari kita yang bersyukur bahwa pelaku segera menyerahkan diri, tetapi apa yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan pelaku tetap menjadi seolang suami yang tidak bisa mengontrol emosinya sehingga membunuh istrinya sendiri. KDRT tidak berhenti hanya sampai persoalan suami istri, tapi bisa berakibat pada masa depan anak, karena anak yang berada dalam kondisi keluarga yang kurang harmonis rentan juga terjerat kasus serupa.
Sakit hati disebut cucu pungut, remaja 16 tahun di Pacitan, Jawa Timur, membacok nenek angkatnya. Akibatnya, korban mengalami luka serius dan harus mendapatkan perawatan intensif di RSUD dr. Darsono Pacitan. (BERITASATU/16/10/2025).
Tak hanya antar keluarga, imbas keluarga yang tidak harmonis melahirkan kekerasan remaja yang tidak bisa dibendung kemirisannya.
Seorang pelajar SMP di Grobogan meninggal akibat dikeroyok teman sekolah. Pihak sekolah mengaku tidak tahu pengeroyokan karena terjadi saat jam istirahat. (BERITASATU/15/10/2025).
Kalau ternyata generasi muda kita sudah menjadi pelaku pembunuhan, mau dibawa kemana negara ini nantinya. Bisa kita lihat rentetan kasus ini bukan hanya tentang pengontrolan emosi atau hawa nafsu saja.
Seorang suami atau istri yang menjadi pelaku KDRT tidak paham akan tanggung jawabnya sebagai ayah, pencari nafkah dan pekindung keluarga, atau ibu yang tak paham tugasnya sebagai madrasatul ula yang harusnya mendidik anak anak. Akhirnya anak yang tak terkontrol dari keluarga dengan mudahnya melakukan kekeran baik pada ibu ayahnya sendiri maupun kepada rekan sebayanya.
Tak hanya sampai disitu kebutuhan ekonomi yang tak terpenuhi juga menjadi penyebab kasus kasus ini. Tak jauh dari itu konsep itu materialisme yang hanya mementingkan materi sebagai tujuan hidup rentan merusak kehidupan keluarga yang harmonis.
Belum lagi pendidikan hari ini yang menumbuhkan kebebasan tanpa batas dan sikap individualistik. Ditambah sanksi yang diterapkan tidak menyentuh akar masalah. Jelas sekali negara abai akan masalah ini.
Namun jika hanya fokus pada penyelesaian pendidikan, ekonomi, sikap sosial tapi tak menyentuh akar masalah, maka kasus serupa akan tetap terjadi, masalah yang menajdi penyebab utamanya adalah sistem hari ini yang memisahkan antara agama dan kehidupan yakni sistem sekularisme kapitalisme.
Sistem ini menyebabkan masyarakat keluarga kehilangan landasannya akan taqwa dan moral sehingga tidak harmonis sebagaiamna mestinya.
Maka untuk menyelesaikan segala masalah pada linimasa kehidupan adalah pengubahan sistem. Maka jawabannya adalah menerapkan sistem dari sang pencipta yakni sistem islam yang akan meriayah seluruh masrayakat baik muslim maupun non muslim.
Penerapan sistem islam akan melahirkan pendidikan yang akan membentuk kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia, bukan sekadar orientasi duniawi, tetapi tujuan akhirat yang akan dibentuk dilingkungan keluarga maupun masyarakat.
Penerapan sistem negara dengan asas syariat Islam dalam membangun keluarga akan mengokohkan keluarga, menata peran suami-istri dan mencegah KDRT sejak awal.
Selain dari itu peran negara sebagai pelindung (raa’in) akan menjamin kesejahteraan dan keadilan sehingga keluarga tidak tertekan ekonomi. Tidak hanya itu yang terselesaikan sansi juga diterapkan dengan tegas dan harapan tidak akan terulang kasus yang sama. Hukum sanksi Islam ditegakkan untuk menjerakan pelaku sekaligus mendidik masyarakat agar hidup sesuai dengan syariat Islam.
Bukan kah dengan sistem yang pasti dari Allah maka hidup akan menjadi tenang dan tentram. Begitu indah aturan islam dalam keluarga, dengan penerapannya bisa dibangun keluarga yang berlandaskan pada islam dan menjadikan islam sebagai aturan dan pegangan hidup dalam rumah tangga.
Hal indah itu tak akan terwujud jika kita masih berharap pada sistem buatan manusia.Maka harus diubah dan hanya dengan negaralah kita mampu mengubah sistem ini dan mewujudkan apa yang diidam idamkan yakni hidup dalam sistem yang diridhoi oleh Allah subahanu wa ta'ala. Maka mari kembali pada sistem islam, aturan Allah yang akan menjadikan akidah sebagai asal dalam kehidupan.
Wallahu'alam bissawab.