Jakarta – Demi menjaga transparansi demokrasi dan akuntabilitas hukum, jurnalis dan aktivis hak asasi manusia Indonesia, Wilson Lalengke, mengirimkan surat terbuka berisi proposal resmi kepada United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Association of South-East Asia Nations (ASEAN), dan anggota Parlemen Indonesia. Proposal tersebut dimaksudkan untuk mendesak pembentukan mekanisme penyelesaian kontroversi seputar dugaan ijazah palsu mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo, yang diawasi secara internasional.
Hal itu disampaikan Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, kepada jaringan media se-Indonesia dan luar negeri, melalui pernyataan pers-nya, Senin, 17 November 2025. “Saya prihatin saat mencermati penyelesaian masalah dugaan ijazah palsu Joko Widodo. Sebagai pengampu mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, saya merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu agar penyelesaian kasus ini benar-benar menjunjung tinggi kebenaran berdasarkan fakta-fakta dalam rangka melahirkan keadilan yang berintegritas, bukan kemudian memunculkan kebenaran palsu dan keadilan palsu,” ungkap pria yang merupakan salah satu petisioner dalam konferensi ke-80 di Komite Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa, di New York, Amerika Serikat, Oktober 2025 lalu itu.
Sebagaimana diketahui UNESCO adalah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang mempromosikan perdamaian dan keamanan dengan mendorong kerja sama internasional di bidang pendidikan, sains, budaya, dan komunikasi. UNESCO berupaya membangun dunia yang lebih damai dengan menetapkan standar global, menghasilkan pengetahuan, dan melindungi warisan bersama, dengan tujuan menciptakan kesetaraan dan rasa hormat di antara bangsa-bangsa.
Proposal yang berjudul “Menjaga Legitimasi Demokrasi: Seruan untuk Pengawasan Internasional dalam Tuduhan Ijazah Joko Widodo” ini menguraikan kerangka kerja komprehensif yang didasarkan pada hukum internasional untuk memverifikasi keaslian ijazah akademis mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) ini berpendapat bahwa proses hukum dalam penyelesaian kasus itu di Polda Metro Jaya dan Mabes Polri, meskipun diperlukan, dapat dianggap bermuatan politis dan tidak cukup transparan untuk memulihkan kepercayaan publik.
“Saya sangat prihatin atas konspirasi hukum yang terang-benderang terlihat di institusi Kepolisian Republik Indonesia dalam memporses kasus dugaan ijazah palsu Jokowi itu. Juga, saya sangat menyayangkan adanya sifat dan perilaku yang jauh dari pribadi bermoral yang ditunjukan oleh para pihak, terutama pemilik ijazah yang diduga palsu, yang terkesan sengaja mempermainkan hukum bersama para pedagang hukum di Polri,” ujar Wilson Lalengke sambil menambahkan, “Oleh karena itu kita perlu membawa proses ini ke level internasional agar proses penyelesaiannya lebih transparan, independen, dan berkeadilan karena bebas dari intervensi pihak tertentu.”
Dalam proposalnya Wilson Lalengke merekomendasikan pembentukan Panel Verifikasi Independen yang terdiri dari para ahli akreditasi akademik internasional dan akademisi hukum. Panel ini akan bertugas meninjau ijazah dan dokumen terkait, serta bebas dari pengaruh politik domestik.
Untuk memastikan keadilan prosedural, proposal ini juga meminta pengamat hukum internasional—seperti perwakilan dari Komisi Hukum Internasional atau Komisi Antarpemerintah tentang Hak Asasi Manusia ASEAN—untuk memantau proses tersebut. Selain itu, proposal ini mendorong penggunaan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (MLAT) untuk memfasilitasi kerja sama dengan lembaga asing, khususnya untuk ijazah yang diterbitkan di luar negeri.
Wilson Lalengke selanjutnya menjelaskan bahwa usulannya didasarkan pada beberapa instrumen hukum internasional, yakni pertama: Pasal 10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menjamin hak atas pemeriksaan dan atau persidangan yang adil dan terbuka (the Universal Declaration of Human Rights, Article 10, guarantees the right to a fair and public hearing). Kedua adalah Konvensi Global UNESCO tentang Pengakuan Kualifikasi, yang menyediakan kerangka kerja untuk verifikasi akademik lintas batas (the UNESCO Global Convention provides a framework for academic verification across borders). Juga, Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN, yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum (the ASEAN Human Rights Declaration upholds transparency and accountability).
Kutipkan proposal Wilson Lalengke versi Bahasa Inggris dalam format surat terbuka kepada UNESCO, ASEAN dan Parlemen Indonesia secara lengkap kami tampilkan berikut ini.
------
Open Letter to UNESCO, ASEAN, and Indonesia Lawmakers
By Wilson Lalengke
Safeguarding Democratic Legitimacy: A Call for International Oversight in the Joko Widodo Diploma Allegation
Distinguished global leaders, representatives, and esteemed people around the world,
I am Wilson Lalengke, a journalist and human right activist from Indonesia. I am also a petitioner of the 80th session of the United Nations Fourth Committee 2025 who is now an intense observer of the Joko Widodo Diploma Case.
Today, I stand before you to address a matter that transcends borders and politics—a matter that speaks to the very heart of democratic integrity and legal transparency.
The recent allegations concerning former Indonesian President Joko Widodo’s academic credentials have sparked intense public debate and legal scrutiny. While domestic institutions are actively engaged, the nature of this case demands a resolution that is not only lawful but universally credible.
I propose an internationally supervised mechanism to verify the authenticity of the diploma in question. This is not a challenge to sovereignty—it is a reaffirmation of Indonesia’s commitment to the rule of law, transparency, and global cooperation.
In resolving the legal case regarding Joko Widodo's alleged fake diploma, we might consider the following points.
• An independent verification panel, composed of international academic and legal experts, can assess the diploma’s legitimacy without political interference.
• Legal observers from respected bodies such as the International Commission of Jurists or ASEAN’s human rights commission can ensure procedural fairness.
• Diplomatic channels and Mutual Legal Assistance Treaties can facilitate cross-border cooperation with the issuing institution.
• A public report, peer-reviewed and accessible, will restore public trust and set a precedent for responsible governance.
This proposal is grounded in international law as follow.
• The Universal Declaration of Human Rights, Article 10, guarantees the right to a fair and public hearing.
• The UNESCO Global Convention provides a framework for academic verification across borders.
• The ASEAN Human Rights Declaration upholds transparency and accountability.
The intention on this matter is nothing except to advocate for an internationally supervised resolution of the Joko Widodo diploma allegation, with the following considerations.
• The case has significant implications for democratic legitimacy and public trust.
• Domestic legal processes may be perceived as politically influenced.
• An international mechanism ensures impartiality and credibility.
To realize this proposal, we need to take the following steps of actions.
• Form an independent panel of international academic and legal experts.
• Invite legal observers from ICJ, ASEAN, or similar bodies.
• Use MLATs to engage foreign institutions for document verification.
• Publish a transparent, peer-reviewed report.
Many positive things will be gained, not only by Indonesia but also by nations at the regional and global levels. Some of the benefits include:
• Restores public confidence.
• Demonstrates Indonesia’s commitment to international legal norms.
• Sets a regional—also global—precedent for resolving high-profile legal disputes.
This is a moment for Indonesia—and for all democracies—to lead by example. By embracing international oversight, we do not weaken our institutions; we strengthen them. We show the world that truth, justice, and integrity are not negotiable.
Let us move forward together, not in division, but in unity—toward a resolution that honours the law and the people it serves.
Thank you.
Jakarta, 17 November 2025
Petitioner of the 80th session of the UN Fourth Committee 2025
Observer of the Joko Widodo Diploma Case
Wilson Lalengke
------
Inisiatif Lalengke telah memicu diskusi di antara para akademisi hukum, kelompok masyarakat sipil, dan pengamat regional. Dengan mengajukan proposal tersebut kepada UNESCO dan ASEAN, ia bertujuan untuk mengangkat isu ini melampaui batas negara dan mendorong peran publik regional untuk menyelesaikan sengketa hukum tingkat tinggi dengan integritas internasional.
Seiring kasus ini terus berkembang, komunitas internasional akan mengamati dengan saksama apakah Indonesia dapat memanfaatkan momen ini untuk memperkuat fondasi demokrasinya—atau berisiko semakin terkikisnya kepercayaan publik. (TIM/Red)