Kebobolan Data Fiktif, Ko Bisa?


author photo

5 Jun 2021 - 16.03 WIB




Ummu Azka

Akhir bulan Mei adalah waktu yang sebelumnya direncanakan untuk pembukaan tes CPNS tahun 2021. Namun, yang santer terdengar adalah kabar tak sedap terkait PNS. Negara mendeteksi ada sebanyak 97 ribu data PNS fiktif. 

Sejumlah PNS fiktif tersebut ditemukan tidak teridentifikasi ketika dilakukan pendataan ulang PNS (PUPNS) pada 2014. Padahal mereka mendapat gaji dan iuran pensiun, namun tidak terverifikasi status kerjanya.
 
Menanggapi hal tersebut,  Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menduga terjadi kolusi terkait 97 ribu pegawai negeri sipil (PNS) fiktif yang menerima gaji dan iuran pensiun.

Sementara itu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) akan menelusuri kemungkinan kolusi atau penyelewengan uang negara dalam pemberian gaji dan iuran pensiun kepada 97 ribu pegawai negeri sipil (PNS) yang datanya sempat ditemukan belum terverifikasi.

Mencuatnya fakta di atas membuktikan bahwa sistem perekrutan tenaga ASN  masih butuh perhatian. Bukan main main, jumlah data fiktif sebesar 100 ribu akan berdampak pada pengurangan keuangan negara setiap bulannya. Sementara , BKN menelusuri bahwa data tersebut tidak terdeteksi sejak pemutakhiran data PNS terakhir pada tahun 2014 silam. Bayangkan selama kurang lebih enam tahun uang negara berkurang tanpa kejelasan untuk membayar gaji hingga uang pensiun. Sementara itu tidak ada kinerja nyata dari mereka yang masuk dalam data.

Terkait dugaan kolusi seperti yang diungkapkan kepala BKN dan Anggota DPR RI fraksi PAN , sesungguhnya bukan hal yang tidak mungkin jika melihat suburnya praktik penyimpangan di negeri ini. 

Korupsi yang semakin subur, dilanggengkan dengan revisi UU KPK serta perombakan hampir sebagian besar SDM di lembaga anti rasuah ini. Sementara praktik bagi bagi kekuasaan makin terlihat jelas pada kasus pemilihan komisaris BUMN belum lama ini.

Secara sistemik,  negeri ini dikuasai oleh korporasi. Duet maut penguasa versus orang yang berkepentingan di belakangnya memungkinkan terjadi berbagai intrik di belakang rakyat. Berapa kali rakyat kecewa melihat kelakuan oknum pejabat yang berkhianat?  Sementara di sisi lain rakyat diminta bersabar meski dalam kondisi lapar. 

Demikianlah sengkarut fakta yang menyelimuti negeri. Permasalahan yang bergulung bak benang kusut meminta penyelesaian tuntas. Tak ada jalan lain selain dari solusi yang islam tawarkan. 
Dalam islam, perekrutan tenaga kerja serta pemberian upah untuk mereka diatur secara jelas.  

" Apabila salah seorang dari kamu mengontrak tenaga seseorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya" (HR Daruquthni)

Pemilihan ajir pun dilakukan atas dasar kelayakan serta kompetensinya dalam bekerja. Kepada mereka diberikan pula pengarahan terkait pekerjaan yang harus dilakukan, sehingga tujuan dari pekerjaan tersebut bisa tercapai. 

Dalam islam, bekerja bukan sekadar untuk mendapatkan upah. Ada dorongan mulia yang melandasi seseorang dalam menunaikan pekerjaannya. Mereka paham bahwa mengurusi urusan saudaranya merupakan hal yang lebih utama, maka tak pernah sedikit pun pegawai dalam Khilafah berpikir akan mengambil hak orang lain. Mereka tahu betul bahwa nafkah yang diperoleh dari hasil usaha sendiri merupakan nafkah yang terbaik.

Sebagaimana hadis Rasul saw.,

"Sungguh sekiranya salah seorang di antara kalian mengambil seutas tali kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, yang dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik bagi dirinya daripada dia meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak memberi." (HR Al-Bukhari)

Dengan modal aqidah serta keimanan yang dimiliki, para pegawai khilafah akan membuat self control dalam dirinya yang akan mencegahnya dari berbuat maksiat dalam pekerjaan. 

Di samping itu , negara melakukan kontrol dan evaluasi ketat yang dilakukan setiap kepala pada masing-masing departemen. Semua terpusat dalam kendali Khalifah. Khalifah tak akan segan-segan memecat siapa pun dari pegawai negara yang melanggar aturan serta menyusahkan urusan rakyatnya.

Tugas pencatatan terkait data kepegawaian dilakukan dengan semestinya. Keberadaan pegawai negara dalam Khilafah benar-benar dirasakan oleh rakyat, mereka bekerja dengan sepenuh hati serta atas dorongan ibadah. 

Lebih dari itu, Khalifah pun tak ragu memberikan gaji dan tunjangan yang menyejahterakan para pegawai negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, menggaji pegawai negaranya sebesar 300 dinar.

Demikianlah islam memberikan solusi terkait persoalan kepegawaian yang kini dihadapi. Semuanya bisa terasa tatkala islam diterapkan dalam semua aspek kehidupan.
Bagikan:
KOMENTAR